Ekspedisi Ungkap 'Bom Panas' Berbahaya Telah Memasuki Samudra Arktik

By Utomo Priyambodo, Kamis, 6 Mei 2021 | 09:00 WIB
(Scripps Oceanography/YouTube)

Nationalgeographic.co.id—Hasil ekspedisi mengungkap bahwa "bom-bom panas" berbahaya telah memasuki kawasan Samudra Arktik. "Bom-bom panas" ini berasal dari Samudra Pasifik yang memiliki suhu lebih hangat.

Selama beberapa dekade terakhir, air hangat yang merembes ke Samudra Arktik semakin mengancam es laut Arktik. Para ilmuwan memperkirakan bongkahan es bisa hilang seluruhnya di musim panas mulai pertengahan dekade berikutnya.

Para peneliti kini telah menemukan salah satu mekanisme yang mendorong bencana ini, mengidentifikasi bagaimana "bom-bom panas" air hangat dan asin dari Samudra Pasifik mengalir ke Samudra Arktik yang dingin. "Bom-bom panas" ini memanaskan es di atas Samudra Arktik dari bawah selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

"Laju percepatan pencairan es laut di Kutub Utara sulit diprediksi secara akurat, sebagian karena semua umpan balik lokal yang kompleks antara es, laut, dan atmosfer," ujar ahli kelautan fisik Jennifer MacKinnon dari Scripps Institution of Oceanography di UC San Diego.

"Karya (ilmiah) ini menunjukkan peran besar dalam pemanasan yang dimainkan air laut sebagai bagian dari umpan balik tersebut," katanya lagi, dilansir Science Alert.

Pada tahun 2018, MacKinnon mengunjungi Samudra Arktik sebagai kepala ilmuwan ekspedisi penelitian di atas RV Sikuliaq sebagai bagian dari Stratified Ocean Dynamics of the Arctic (SODA). Ini adalah sebuah proyek multi-institusional yang didanai oleh US Office of Naval Research.

Baca Juga: Kejutan Laut Dalam, Peneliti Menemukan Jalur Tak Terduga di Dasar Laut

Salah satu tujuannya adalah untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana aliran air yang lebih hangat dari Samudra Pasifik memasuki Samudra Arktik melalui Selat Bering. Lalu bagaimana air yang lebih hangat ini membawa serta "jumlah panas yang belum pernah terjadi sebelumnya" yang memanjang ratusan kilometer ke Beaufort Gyre, raksasa arus laut di utara pantai Alaska dan Kanada.

"Air yang berasal dari Pasifik ini membawa panas dan sifat biogeokimia yang unik, berkontribusi pada perubahan ekosistem Arktik," tulis para peneliti dalam laporan hasil studi mereka yang terbit di Nature Communications baru-baru ini.

"Namun, kemampuan kami untuk memahami atau meramalkan peran massa air yang masuk ini telah terhambat oleh kurangnya pemahaman tentang proses-proses fisik yang mengendalikan subduksi dan evolusi air hangat ini."

Berkat ekspedisi SODA dan keseluruhan pengukuran ilmiahnya, pemahaman para ilmuwan atas proses-proses fisik itu kini jadi semakin bertambah. Pemahaman atas proses-proses fisik itu juga jadi semakin jelas berkat upaya analisis citra satelit dan berbagai pembacaan di dalam air dari sensor-sensor dan kendaraan-kendaraan bawah laut.

Menurut hasil pengamatan baru tim tersebut, Air Musim Panas Pasifik (Pacific Summer Water/PSW) yang asin dan lebih padat, yang disebut oleh tim itu sebagai "jet hangat di lautan dingin", meluncur di bawah perairan Samudra Arktik yang lebih sejuk dan segar di permukaannya melalui proses subduksi.

Baca Juga: Gunung Es Seluas Pulau Bali dan Seberat 1 Triliun Ton Mencair Hilang

Selain efek pencairan jangka panjang yang diberikan oleh pusaran panas ini ke lapisan es laut di atasnya, masuknya perairan Pasifik juga memasukkan campuran bahan organik dan kimia ke lingkungan Arktik, yang dampaknya masih belum diketahui.

Pengetahuan baru yang didapat di masa depan terkait pengaruh bahan organik dan kimia yang masuk ke Arktik itu mungkin akan membantu kita dalam mengembangkan model yang lebih baik untuk memprediksi proses-proses fisik yang mendasari perubahan jumlah es laut Kutub Utara secara lebih akurat. Namun, dalam hubungan yang paling sederhana, perkiraan jangka pendek terkait mencairnya es kutub itu sebenarnya sudah bisa ditentukan.

"Saat kandungan panas PSW meningkat, kombinasi subduksi PSW, pergerakan lateral, dan pencampuran vertikal ke atas akan menghasilkan pola percepatan pencairan es laut yang menyebar keluar dari aliran Pasifik, seperti yang telah diamati dalam beberapa dekade tulis tim peneliti amenyimpulkan.