Lewat Kecerdasan Buatan, Temuan Sains Terbaru Bisa Memprediksi Gempa

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 12 Mei 2021 | 08:00 WIB
Gempa Bumi. (Petrovich9/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Di masa lalu, memprediksi gempa adalah hal yang mustahil. Bahkan untuk meramalnya hanya bisa dilakukan secara klenik lewat paranormal, atau melihat tingkah laku hewan yang sensitif.

Perkembangan teknologi kemudian membantu kita memprediksi gempa. Pada 2019 misalnya, kelompok peneliti dari Harvard University mengembangkan kecerdasan buatan atau AI untuk mengetahui gempa susulan.

Kemudian pada 2020, para peneliti dari Universitas Pelita Harapan juga berhasil menemukan sains terbaru untuk memprediksi gempa lewat machine learning. Hal itu diungkap di jurnal Telkomnika Telecommunication, Computing, Electronics and Control (Vol. 18 No. 3).

Baca Juga: Kecerdasan Buatan Melampaui Skor Manusia Memainkan Gim Era 80-an

"Kami membuat perkiraan prediksi jangka menengah hingga jangka panjang lewat algoritma machine learning, yang merupakan regresi logistik multinomial, mendukung mesin vektor, dan Naive Bayes, serta membandingkan kinerjanya," tulis para peneliti.

Meski mendapatkan hasil perbandingan metode dan menemukan cara prediksinya, penelitian yang dilakukan I Made Murwanta dan timnya belum berbentuk purwarupa.

Berbeda dengan para peneliti di Indonesia, kelompok penelitian lain yang dipimpin Daniel Wu dari Stanford University berhasil mengembangkan AI menjadi teknologi yang dapat memprediksi gempa. Mereka mempresentasikan teknologi berbasis machine learning itu pertemuan tahunan Seismological Society of America, Jumat (23/05/2021).

Para peneliti memaparkan bahwa sistem ini akan memberi tahu gempa beberapa detik sebelum guncangan terjadi. Mereka menamai alat itu sebagai DeepShake.

Baca Juga: Peneliti Kembangkan Kecerdasan Buatan yang Bisa Prediksi Gempa Susulan

Pada proses pengembangannya, DeepShake menggunakan jaringan pola yang mendalam seperti machine learning AI pada umumnya. Lewat inilah, alat itu mempelajari bagaimana getaran dari gempa akan merambat untuk diidentifikasi, berdasarkan pola gempa di masa lalu.

Dalam presentasinya, alat itu dilatih dengan memprediksi gerakan tanah di dekat Ridgrest, California. Lokasi itu berada di Zona Geser California timur yang aktif secara seismik, dan memiliki serangkaian gempa bumi pada 2019.

Pemandangan Aceh setelah dihantam gempa bumi dan tsunami pada 2004. (Heri Mardinal/Getty Images)

Wu bersama tim kemudian menggunakan urutannya untuk dipelajari DeepShake dalam memprediksi getaran tanah di daerah itu. Mereka mencatat setidaknya ada 36.000 gempa yang terjadi di Ridgecrest dari Juli hingga September di tahun itu.

Urutan pemasukan datanya, para peneliti mengenalkan bobot pada gempa bumi terlebih dahulu agar dapat bekerja lebih baik sebagai sistem peringatan dini.

Wu berujar dalam LiveScience, Meski tidak memberi informasi tentang lokasi detail dan jenis gempanya, alat ini justru mampu memperingatkan gempa ke stasiun seismik lainnya dalam tiga dan 13 detik sebelum kejadian.

Baca Juga: Mengapa Gempa Malang Menimbulkan Guncangan dan Kerusakan yang Luas?

Danau terbesar kedua di Sumatra ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanik dari sebuah gunung api purba sekitar 74.000 tahun silam. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Pengembangan alat ini masih berlanjut. Tetapi para peneliti yakin lewat sistem baru ini, DeepShake dapat memproses data lebih cepat dan generalisasi yang lebih mudah di berbagai wilayah rawan gempa.

Mereka membandingkan dengan alat prediksi sebelumnya yang menggunakan komputasi tradisional di California bernama ShakeAlert. Pada cara kerja ShakeAlert, alat itu menggunakan metode deteksi gelombang pertama dari gerakan gempa (gelombang P).

Lalu gelombang ini dikalkulasi untuk memprediksi tibanya gelombang besar yang menyebabkan guncangan (gelombang S) yang relatif lebih lambat.

"Saat kami memulai proyek ini, tujuan kami adalah untuk mengalahkan persamaan prediksi pergerakan tanah yang saat ini digunakan (metode yang dipakai ShakeAlert)," terang Avoy Datta, anggota penelitian.

Mengutip LiveScience, Datta menyebut bahwa proses lewat komputasi tradisional itu membutuhkan pemecahan numerik yang dijalankan lewat sebuah komputer super. Dalam proses hingga menemukan hasilnya baru diketahui beberapa menit dan jam setelah terdeteksi.

Baca Juga: Ilmuwan Kembangkan AI yang Dapat Menerjemahkan Isi Otak Menjadi Teks

 

"Jika kami menjalankan 25 model DeepShake, dibutuhkan sekitar 6,1 milidetik pada satu GPU penelitian [unit pemrosesan grafis]," tambahnya. "Prosesnya akan jadi sangat cepat."

Para peneliti menyebut dalam presentasinya, bahwa alat ini bukan berarti menjadi pesaing ShakeAlert, tetapi bisa digunakan untuk melengkapinya dalam memprediksi gempa.

Meski demikian para peneliti mengakui kekurangan DeepShake terhadap ShakeAlert. ShakeAlert unggul karena menggunakan persamaan yang lebih universal.

Sedangkan DeepShake harus dilatih ulang di setiap lokasi alat itu akan digunakan. Maka untuk memperluas pengujian, mereka berharap agar dapat mencobanya ke sesar dan urutan gempa lain.

"Tempat di mana pembelajaran mendalam benar-benar berkembang adalah tempat yang punya banyak data, dan banyak pola yang rumit untuk diungkap," tambah Wu.

Baca Juga: Teknologi Machine Learning Bantu Selamatkan Pelestarian Orangutan