Mengenang Ita Martadinata dalam Sajian Rujak Pare Sambal Kecombrang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 14 Mei 2021 | 14:00 WIB
Rujak pare dan sambal kecombrang yang disajikan Boen Hian Tong untuk mengenang Tragedi Mei 1998. Pada kesempatan ini digelar upacara peletakan papan arwah atau sinci untuk Ita Martadinata, korban dan aktivis HAM. (Agus Budi Santoso/Boen Hian Tong)

Fatia berpendapat, pembunuhan itu agar Ita bungkam dan tak menjelekkan citra Indonesia di mata dunia.

Tak hanya perjuangan lewat cara hukum, mengenang perjuangan Ita Martadinata pun dilakukan lewat kebudayaan, yakni tradisi makan rujak pare sambal kecombrang. Tradisi ini dilakukan setiap bulan Mei demi perenungan dan pembelajaran agar peristiwa serupa tidak terulang di masa depan.

Tradisi ini digagas Harjanto Halim dari Ketua perkumpulan Boen Hian Tong pada 2008. Inspirasinya datang dari peringatan Mei 1998 yang sekaligus memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Saat itu ia menyaksikan pentas ketoprak "Putri Cina" di klenteng Ta Kak Sie, Semarang, karangan Sindhunata. Kisah itu menggambarkarkan kerusuhan Mei 1998 yang merupakan kritik pemisahan Tionghoa dan Pribumi.

"Kemudian terpecik ide, bagaimana menggunakan simbol kepahitan ini (tragedi Mei 1998) dengan makanan," kenang Harjanto. "Ini kan budaya Jawa dan Tionghoa, ini adalah sesuatu yang mengikat bersama."

Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan

Tempat abu dupa dalam acara penghormatan Boen Hian Tong dengan meletakkan Sinci Ita Martadinata di altar perkumpulan. (Agus Budi Santoso/Boen Hian Tong)

Dalam forum itu, pihak perkumpulan Boen Hian Tong mempertunjukkan tradisi itu. Dimulai dari berdoa bersama untuk perdamaian, persatuan, dan ketenangan bagi arwah Ita Martadinata di alam baka. Kemudian dilanjutkan makan bersama.

Dalam proses pembuatan sajiannya, pare mentah diiris tipis-tipis. Kemudian dicuci bersih, lalu ditaburi es batu. Selanjutnya, ditambahkan sambal rujak dan bunga kecombrang, untuk diulek.

Ketika dimakan, rasanya sangat pahit dan pedas. Harjanto menjelaskan, makanan ini dari penyajian hingga rasanya adalah gambaran untuk mengingat peristiwa itu.

Kepahitan rujak pare menggambarkan betapa pahitnya peristiwa itu dalam sejarah Indonesia. Bunga kecombrang menjadi simbol perempuan Tionghoa, dan sambalnya menggambarkan derita mereka sebagai penyintas pemerkosaan.

Ita Martadinata Haryono yang didoakan dalam tradisi itu merupakan simbol perwakilan untuk semua korban. Asrida Ulinuha, pegiat Boen Hian Tong, mengungkapkan kepada National Geographic Indonesia bahwa Ita merupakan seorang aktivis kemanusiaan yang tewas dibunuh 9 Oktober 1998, jelang rencana kesaksiannya di sidang PBB terkait peristiwa Tragedi Mei 1998.

Baca Juga: 9 Oktober 1740, Pembantaian Warga Cina di Batavia dan Aspek Politiknya

Asrida Ulinuha, warga yang bergiat di Boen Hian Tong, tengah mempersiapkan peranti acara untuk memperingati Tragedi Mei 1998. Acara berlangsung secara daring di kanal Youtube, yang dihadiri tamu undangan terbatas dengan protokol kesehatan. (Agus Budi Santoso/Boen Hian Tong)