Studi Terbaru: Longsoran Anak Krakatau pada 2018 Mampu Mengubur London

By Utomo Priyambodo, Rabu, 19 Mei 2021 | 17:00 WIB
Erupsi Gunung Anak Krakatau yang ditangkap kamera awak Susi Air. (Dok. Istimewa)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa material longsoran yang timbul akibat erupsi Gunung Anak Krakatau pada 2018 lalu ternyata sangat besar dan mampu mengubur ibu kota Inggris.

Studi ini digarap oleh tim peneliti geologi internasional dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta para geolog dari Inggris dan Amerika Serikat.

Kolaborasi para ilmuwan tersebut dilakukan dalam rangka mempelajari endapan bencana longsor-tsunami pulau vulkanik Anak Krakatau segera setelah kejadian lonsor tersebut dengan menggunakan peralatan akustik modern. Tim yang diketuai oleh Dr. James E. Hunt dari National Oceanography Center (NOC) di Inggris itu telah menghasilkan hasil survei lautan pertama dari longsor 22 Desember 2018 yang timbul dari erupsi Gunung Anak Krakatau di Indonesia. Dunia mencatat erupsi ini menciptakan tsunami senyap mematikan yang melanda pesisir selatan Sumatra dan barat Jawa.

"Pada Agustus 2019, tim multinasional lintas disiplin ini memetakan dasar laut di kaldera Krakatau. Survei menggunakan sonar untuk memetakan permukaan dasar laut, sedangkan metode refleksi seismik digunakan untuk melihat ke bawah dasar laut," ujar Dr. Mirzam Abdurrachman, peneliti sekaligus ahli volkanologi dari ITB, seperti dikutip dari laman resmi ITB.

Dia menjelaskan, penelitian ini menunjukkan deposit bawah laut yang besar dari longsor Anak Krakatau 2018 dan struktur internalnya, serta menunjukkan ukuran utuh dan cara bagaimana deposit tersebut terendapkan di dasar laut. Temuan ini telah dipublikasikan di jurnal prestisius Nature Communications pada 14 Mei 2021 dalam sebuah paper berjudul “Megablocks on the seafloor reveal that half of Anak Krakatau island collapsed into the sea to cause the 2018 Sunda Strait tsunami, Indonesia”.

Baca Juga: Mengapa Gunung Anak Krakatau Masih Berbahaya? Ini Penjelasan Peneliti

Awan panas dari Gunung Anak Krakatau. Foto diambil dua tahun lalu. (Zika Zakiya)

Dalam studi ini menganalisis menganalisis citra dan foto satelit untuk mempelajari peristiwa longsor di atas permukaan laut. Dengan menganalisis hasil pencitraan dan foto satelit (terutama dari COSMO-SkyMed), para ilmuwan kemudian dapat menjelaskan tingkat keruntuhan subaerial dari pulau Anak Krakatau itu secara menyeluruh.

Mirzam menuturkan, tim risetnya ini berhasil menghitung bahwa separuh pulau itu telah runtuh. Hasil studi ini menunjukkan bahwa runtuhan yang jatuh ternyata jauh lebih luas atau lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Citra satelit juga menunjukkan pembebanan sisi barat daya Anak Krakatau dengan lava dan ejecta pada bulan-bulan sebelum longsor. Pada saat yang sama, proses terbentuknya deformasi, patahan, dan ventilasi gas ditemukan telah terjadi di pulau tersebut dan menggambarkan perkiraan area yang akan runtuh. Proses-proses ini mungkin juga pada akhirnya berkontribusi pada keruntuhan bagian sayap pada tahap selanjutnya.

 

"Berdasarkan kejadian ini, longsoran yang terjadi cukup besar (sekitar 0,214 kilometer kubik) cukup untuk mengubur Kota London hingga setinggi Katedral St Paul. Blok-blok dari longsoran ini naik hingga 90 meter di atas dasar laut dan menempuh jarak 1,5 kilometer dari Anak Krakatau," papar Mirzam.

Temuan studi ini juga menunjukkan bahwa megablok hasil longsoran tersebut terkikis ke dasar laut dan menghasilkan aliran puing-puing tambahan yang mengalir ke cekungan yang lebih dalam. Namun, yang mengherankan, aliran puing-puing dan bagian-bagian tanah longsor itu kini terkubur di bawah material letusan setinggi 18 meter.

Baca Juga: Dahsyatnya Letusan Vesuvius, Hanya Butuh 15 Menit Musnahkan Pompeii

 

Selain itu, tim menemukan bahwa letusan pascalongsor menghasilkan material untuk membangun kembali tubuh kerucut gunungapinya dengan cepat, dan sebagian besar material yang dihasilkan Anak Krakatau tersebut sebenarnya kembali terendapkan di dasar laut. Hal ini mendukung perlunya survei atas longsoran 2018 itu sesegera mungkin sebelum terkubur oleh material letusan berikutnya atau pun akibat modifikasi lingkungan laut yang dinamis.

“Penelitian ini memungkinkan kami untuk menjelaskan ukuran dan mekanisme kegagalan longsor 2018 di Anak Krakatau. Ini adalah pertama kalinya studi longsor-tsunami pulau vulkanik menggabungkan citra satelit dan pemetaan dasar laut secara mendetail. Peristiwa serupa terakhir adalah bencana longsor-tsunami di Pulau Ritter yang terjadi pada tahun 1888," ujar Mirzam.

“Dengan mengkarakterisasi endapan tanah longsor dan memetakan dasar laut, kami bisa mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kegagalan sisi barat daya Anak Krakatau. Dengan pengetahuan ini, berarti kita dapat memodelkan tsunami yang dihasilkan dengan lebih baik, serta memberikan tolok ukur untuk kejadian serupa. Informasi ini pada gilirannya memungkinkan kami untuk merancang strategi mitigasi bahaya dengan lebih baik,” pungkasnya.

Baca Juga: Syair Lampung Karam: Kesaksian Warga atas Kengerian Letusan Krakatau