Misteri Respons Imun Tubuh: Untuk Melindungi Diri atau Minta Bantuan?

By Utomo Priyambodo, Rabu, 19 Mei 2021 | 20:18 WIB
Ilustrasi anatomi tubuh manusia. (Hank Grebe/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Perdebatan besar selama pandemi, dan dalam penelitian penyakit menular secara lebih luas, adalah mengapa orang-orang yang terinfeksi virus atau patogen lain kemudian meninggal. Padahal, seperti makhluk hidup lainnya, tujuan virus menginfeksi manusia atau organisme lainnya hanya untuk bertahan hidup dan berkembang biak.

"Tidak ada virus yang 'ingin' membunuh siapa pun, seperti yang pernah dikatakan seorang ahli epidemiologi kepada saya," kata Jonathan R. Goodman, Kandidat Phd dalam bidang ilmu evolusi manusia, dalam tulisannya di The Conversation.

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa sistem kekebalan manusia —yang menurut penulis sains Ed Yong adalah "tempat intuisi mati"—mungkin sendirilah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang.

Dalam upaya menemukan dan membunuh virus atau kuman patogen lain yang menyerang, tubuh dapat merusak organ-organ utama, termasuk paru-paru dan jantung. Hal ini membuat beberapa dokter berfokus untuk melemahkan respons kekebalan pasien yang terinfeksi virus untuk membantu menyelamatkan mereka.

Ini memunculkan teka-teki evolusi: apa gunanya sistem kekebalan jika terlalu aktif dan malah dapat membunuh orang yang dilindunginya?

"Jawabannya mungkin terletak pada sejarah evolusi umat manusia: kekebalan mungkin tentang komunikasi dan perilaku seperti halnya tentang biologi seluler," papar Goodman dalam tulisannya tersebut.

"Dan sejauh para peneliti dapat memahami asal mula sistem kekebalan yang luas ini, mereka mungkin memiliki posisi yang lebih baik untuk meningkatkan tanggapan terhadapnya (pertanyaan tersebut)."

Baca Juga: Ilmuwan Temukan Bakteri yang Tak Bisa Terdeteksi Sistem Imun Manusia

Dokter Eropa dan Jawa bertugas bersama dalam vaksinasi di sebuah desa di Jawa. (Neville Keasberry)

Konsep sistem kekebalan perilaku bukanlah hal baru. Hampir semua manusia terkadang merasa jijik atau tidak suka—biasanya karena apapun yang membuat kita merasa seperti itu mengancam kesehatan kita.

"Dan kita tidak sendirian dalam reaksi ini. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa hewan menghindari hewan lain yang menunjukkan gejala penyakit," tulis Goodman.

Namun, penelitian teoretis yang lebih baru menunjukkan sesuatu yang lebih. Yakni, manusia, pada khususnya, cenderung menunjukkan belas kasih kepada mereka yang menunjukkan gejala penyakit atau cedera.

Beberapa psikolog berpendapat bahwa ini karena respons imun lebih banyak tentang komunikasi dan pemeliharaan diri. Orang yang menerima perhatian, mungkin cenderung melewati serangan patogen dengan lebih baik daripada mereka yang mencoba bertahan hidup sendiri.

Dalam literatur evolusi yang lebih luas, para peneliti menyebut jenis tampilan ini sebagai "sinyal". Dan seperti banyak sinyal tak terhitung yang kita lihat di seluruh dunia, sinyal terkait kekebalan dapat digunakan—atau dipalsukan—untuk mengeksploitasi dunia di sekitar kita, dan satu sama lain.

Beberapa burung, misalnya, berpura-pura terluka untuk mengalihkan perhatian predator dari sarangnya. Sementara tikus menyembunyikan gejala penyakit sehingga calon pasangan tidak akan mengabaikannya.

Baca Juga: Bakteri dari Luar Angkasa Dapat Mengancam Sistem Kekebalan Tubuh Manusia

 

"Kita juga melihat banyak ilustrasi penggunaan sinyal kekebalan dan penyalahgunaan dalam budaya manusia. Dalam The Adventure of the Dying Detective (1913), misalnya, Sherlock Holmes membuat dirinya kelaparan selama tiga hari untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka pembunuhan. Tersangka mengaku hanya jika dia yakin bahwa usahanya untuk menginfeksi Holmes dengan penyakit langka telah berhasil, karena salah membaca tanda-tanda penyakit Holmes," tulis Goodman.

Ini adalah contoh yang ekstrem, tetapi sebagian orang pernah berpura-pura sakit atau bahkan sakit sepanjang waktu untuk menghindari kewajiban, untuk mendapatkan dukungan dari orang lain, atau bahkan untuk menghindari janji yang telah disepakati. Dan ini adalah elemen penting dari sistem persinyalan apa pun.

Begitu sebuah sinyal, baik itu kerutan atau kulit yang sakit kuning, memunculkan respons dari siapa pun yang melihatnya, respons itu akan mulai mengarahkan bagaimana dan mengapa sinyal itu digunakan.

"Bahkan kuman-kuman menggunakan—dan menyalahgunakan—sinyal kekebalan untuk keuntungan mereka sendiri. Faktanya, beberapa virus benar-benar membajak respons kekebalan kita sendiri, seperti batuk dan bersin, untuk menularkan dirinya ke inang baru, menggunakan fungsi kita yang telah berkembang untuk memajukan kepentingan mereka," tulis Goodman.

"Kuman-kuman lain, seperti SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) dan Yersinia pestis (bakteri penyebab wabah), dapat mencegah sinyal kita kepada orang lain ketika kita sakit dan menularkan dirinya sendiri tanpa ada yang menyadarinya," jelas Goodman lagi.

Baca Juga: Tidur Berperan dalam Menjaga Kekebalan Tubuh, Ini 3 Cara Agar Tidur Nyenyak

Penemu vaksin polio, Jonas Salk. (Wikimedia Commons)

Perspektif kekebalan ini—yang memperhitungkan biologi, perilaku, dan efek sosial dari penyakit—memberikan gambaran yang sangat berbeda dari pandangan yang lebih tradisional tentang sistem kekebalan sebagai kumpulan pertahanan biologis dan kimiawi terhadap penyakit.

Kuman-kuman menggunakan strategi yang berbeda, seperti yang dilakukan hewan, untuk mengeksploitasi sinyal kekebalan untuk tujuan mereka sendiri. Dan mungkin itulah yang membuat COVID-19 yang ditularkan secara asimtomatik begitu merusak: orang-orang tidak dapat mengandalkan membaca sinyal kekebalan orang lain untuk melindungi diri mereka sendiri.

Menurut Goodman, sejauh para dokter dapat memprediksi bagaimana infeksi tertentu—apakah SARS-CoV-2, influenza, malaria atau patogen berikutnya dengan potensi pandemi—akan berinteraksi dengan sistem kekebalan pasien, mereka akan lebih siap untuk menyesuaikan perawatan untuk itu. "Penelitian di masa depan akan membantu kita memilah-milah kuman-kuman yang membajak sinyal kekebalan kita—atau menekannya—untuk tujuan mereka sendiri," sarannya.

"Melihat kekebalan tidak hanya sebagai biologis, tetapi sebagai sistem pensinyalan yang lebih luas, dapat membantu kita untuk memahami hubungan kompleks kita dengan patogen secara lebih efektif," simpulnya.