Memahami Dunia Tionghoa Indonesia, Antara Totok dan Peranakan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 21 Mei 2021 | 10:00 WIB
Perempuan-perempuan peranakan di semarang menggunakan pakaian tradisional Tionghoa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

"Apakah ini jadi totokisasi terhadap peranakan? Tidak demikian, karena mereka di rumah  tetap berdialek lokal," jelasnya Leo "Akan tetapi mereka juga bisa berbahasa tionghoa, Mandarin itu bahasa kedua bagi mereka."

Fenomena totok dan peranakan sendiri sempat membuat resah Liem Koen Hian, pendiri Persatuan Tionghoa Indonesia.

Awalnya, menerima konsep ini, dan menganggap Tionghoa totok lebih berkiblat ke Tiongkok dan tidak menerima nasionalisme Indonesia. Tetapi pada 1950, ia menggagas penghapusan istilah perankan-totok lagi, tetapi menyatukan semuanya sebagai kewarganegaraan Indonesia bila ingin menjadi orang Indonesia.

Gagasan Tionghoa sebagai unsur bangsa Indonesia juga diamini oleh Presiden Sukarno dalam sidang Baperki tahun 1963.

Baca Juga: Ketika Orang Arab dan Tionghoa Membuat Resah Pemerintah Kolonial

Kuli-kuli semasa Hindia Belanda biasanya didatangkan dari Tiongkok langsung. (KITLV)

Tetapi penerimaan unsur ketionghoaan ini kemudian mengalami asimilasi total pada masa orde baru. Bahkan kepresidenan Suharto sendiri mengakhiri tiga pilar kebudayaan Tionghoa di Indonesia, yakni dari organisasi, media massa, dan sekolah mereka, ujar Leo.

"Biarpun peranakan Tionghoa sudah tebal keindonesiaannya, tapi tidak diakui sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Kalau mau diterima di Indonesia, harus menjadi warga negara Indonesia total, harus berasimilasi total, dan mengerti nama dan sebagainya." paparnya.

"Jadi selama 32 tahun itu kita bisa mengatakan bahwa kaum totok Tionghoa Indonesia telah mengalami peranakanisasi."

Meski demikian, gelombang warga negara Tiongkok ke Indonesia selama orde baru tetap berjalan, bahkan hingga kini. Biasanya mereka berasal dari Taiwan dan Singapura, sedangkan dari Tiongkok daratan sendiri baru dijalankan pada akhir abad ke-20 pasca modernisasi di sana.

Warga keturunan Tionghoa beribadah di Kelenteng Tay Kak Sie, di kawasan Pecinan, Semarang. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Istilah untuk migran Tiongkok baru itu dikenal sebagai Xin Yimin, yang biasanya adalah kapitalis, memiliki banyak pemasukan, dan memiliki pendidikan tinggi, ujar Leo. Masyarakat Tionghoa yang datang ini berbeda dengan yang di zaman dulu yang merupakan orang miskin dan migran.

Leo berpendapat, migran Tiongkok baru ini lebih cenderung datang ke negara selain Indonesia. Sekalinya ke Indonesia, mereka hanya menjadikannya sebagai batu loncatan.

Sedangkan dewasa ini dengan isu Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Tiongkok, Leo memperkirakan bahwa yang datang ini tidak akan menetap seperti orang Tionghoa totok terdahulu. Tetapi sangat memungkinkan di masa depan terdapat kalangan totok baru, terutama jumlah kedatangannya yang cukup masif.

"Jika misalnya totok baru terjadi di Indonesia, seakan sejarah terulang," tambahnya.

Baca Juga: Sisik Melik di Balik Aksara Cina di Papan 'Kopi Es Tak Kie' Glodok