Memahami Dunia Tionghoa Indonesia, Antara Totok dan Peranakan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 21 Mei 2021 | 10:00 WIB
Perempuan-perempuan peranakan di semarang menggunakan pakaian tradisional Tionghoa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Tionghoa Indonesia bukanlah masyarakat yang homogen, sehingga memiliki ragam pemikiran dan kelompok sosialnya yang tak bisa disamakan seperti stereotip yang diberikan.

Misal, pandangan bahwa semua orang Tionghoa Indonesia pasti kaya adalah tidak benar, karena ada pula kelas sosial-ekonomi yang lain. Stereotip seperti inilah yang sempat memanaskan isu pada 1998, hingga akhirnya kerusuhan yang mengorbankan orang Tionghoa terjadi.

Selain berdasarkan sosial-ekonominya, mereka memiliki problem perbedaan yang bahkan sempat bergesekan antar sesama Tionghoa itu sendiri, salah satunya masalah totok dan peranakan.

Sejarawan Didi Kwartanada, menceritakan bahwa pergesekan Tionghoa totok dan peranakan kerap terjadi.

"Nenek kami itu kurang suka dengan tetangga yang totok. Jadi ada ketidak cocokan. Intinya orang Tionghoa bukan kelompok homogen, atau bisa disebut Tionghoa itu beragam dalam keberagaman," ujarnya dalam webinar yang diadakan Putra Putri Hakka Jakarta, kumpulan organisasi Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera dan Roemah Bhinneka, Rabu (19/05/2021).

Baca Juga: Selidik Kisah dan Filosofi di Balik Corak Keindahan Batik Lasem

Indonesia ditakdirkan memiliki keragaman budaya dan keyakinan. Di sebuah gang kompleks Karangturi, Lasem, kerukunan senantiasa terpelihara meski mereka berasal dari beragam budaya. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Menurut Leo Suryadinata lewat bukunya, Dilema Minoritas Tionghoa (1984), peranakan Tionghoa adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, dan sudah kehilangan bahasa Tionghoanya.

Lebih rincinya, peranakan Tionghoa biasanya adalah anak dari ayah Tionghoa dan ibu non-Tionghoa.

Sedangkan totok adalah mereka yang lahir di Tiongkok dan masih fasih berbahasa, dan biasanya merupakan migran pasca perang dunia kedua.

Dalam forum yang sama, Leo menyebut bahwa asal-usul Tionghoa di Indonesia sejatinya adalah peranakan. Sebab di masa lalu, banyak Tionghoa dari Fujian dan Guangzhou datang untuk berbagai urusan, tetapi karena masalah budaya dan moda transportasi yang jarang dan lambat, akibatnya mereka kawin dengan orang lokal.

"Mereka itu umumnya laki-laki. Sekalipun sudah menikah juga tidak membawa istri," jelasnya. "Mereka datang ke Hindia Belanda atau ke Nusantara, itu kawin dengan wanita lokal. Kemudian mendirikan rumah tangga sendiri, dan keturunannya membuat masyarakat peranakan Tionghoa."

Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan

Lilie Suratminto, pengajar di Program Studi Belanda FIB UI, menerjemahkan prasasti riwayat hidup Souw Bing Kong. Prasasti ini ditambahkan pada pemugaran pertama oleh Mayor Cina Khouw Kim An pada 1929. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Lambat laun, peranakan ini memiliki ciri yang berlainan dengan ayahnya. Mereka tidak fasih berbahasa Tionghoa, tak bisa mengikuti dialek, dan lebih cenderung menggunakan bahasa Melayu percakapan utama.

"Identitasnya pun berubah," tambahnya "Misalnya, orang Tionghoa itu tidak menunjuk asalnya ke Tiongkok, tapi ke daerah ia dilahirkan, seperti peranakan Surabaya, peranakan Banjarmasin, biarpun keturunan, Hakka, tetapi bilangnya saya ini Bangka Belitung, atau Kalimantan."

Tionghoa totok baru ada ketika Tiongkok membuka pintu untuk merantau pada 1923, termasuk ke Nusantara. Kedatangan mereka membawa keluarga dan istrinya, sehingga kebahasaannya masih Tionghoa asli, dan berkumpul.

Kelompok ini biasanya disebut 'singke', yang cenderung memiliki konotasi yang buruk. Masyarakat totok ini kemudian mendirikan sekolah Tionghoa, yang kemudian membuat peranakan juga turut belajar di sana. 

Baca Juga: Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia

"Apakah ini jadi totokisasi terhadap peranakan? Tidak demikian, karena mereka di rumah  tetap berdialek lokal," jelasnya Leo "Akan tetapi mereka juga bisa berbahasa tionghoa, Mandarin itu bahasa kedua bagi mereka."

Fenomena totok dan peranakan sendiri sempat membuat resah Liem Koen Hian, pendiri Persatuan Tionghoa Indonesia.

Awalnya, menerima konsep ini, dan menganggap Tionghoa totok lebih berkiblat ke Tiongkok dan tidak menerima nasionalisme Indonesia. Tetapi pada 1950, ia menggagas penghapusan istilah perankan-totok lagi, tetapi menyatukan semuanya sebagai kewarganegaraan Indonesia bila ingin menjadi orang Indonesia.

Gagasan Tionghoa sebagai unsur bangsa Indonesia juga diamini oleh Presiden Sukarno dalam sidang Baperki tahun 1963.

Baca Juga: Ketika Orang Arab dan Tionghoa Membuat Resah Pemerintah Kolonial

Kuli-kuli semasa Hindia Belanda biasanya didatangkan dari Tiongkok langsung. (KITLV)

Tetapi penerimaan unsur ketionghoaan ini kemudian mengalami asimilasi total pada masa orde baru. Bahkan kepresidenan Suharto sendiri mengakhiri tiga pilar kebudayaan Tionghoa di Indonesia, yakni dari organisasi, media massa, dan sekolah mereka, ujar Leo.

"Biarpun peranakan Tionghoa sudah tebal keindonesiaannya, tapi tidak diakui sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Kalau mau diterima di Indonesia, harus menjadi warga negara Indonesia total, harus berasimilasi total, dan mengerti nama dan sebagainya." paparnya.

"Jadi selama 32 tahun itu kita bisa mengatakan bahwa kaum totok Tionghoa Indonesia telah mengalami peranakanisasi."

Meski demikian, gelombang warga negara Tiongkok ke Indonesia selama orde baru tetap berjalan, bahkan hingga kini. Biasanya mereka berasal dari Taiwan dan Singapura, sedangkan dari Tiongkok daratan sendiri baru dijalankan pada akhir abad ke-20 pasca modernisasi di sana.

Warga keturunan Tionghoa beribadah di Kelenteng Tay Kak Sie, di kawasan Pecinan, Semarang. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Istilah untuk migran Tiongkok baru itu dikenal sebagai Xin Yimin, yang biasanya adalah kapitalis, memiliki banyak pemasukan, dan memiliki pendidikan tinggi, ujar Leo. Masyarakat Tionghoa yang datang ini berbeda dengan yang di zaman dulu yang merupakan orang miskin dan migran.

Leo berpendapat, migran Tiongkok baru ini lebih cenderung datang ke negara selain Indonesia. Sekalinya ke Indonesia, mereka hanya menjadikannya sebagai batu loncatan.

Sedangkan dewasa ini dengan isu Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Tiongkok, Leo memperkirakan bahwa yang datang ini tidak akan menetap seperti orang Tionghoa totok terdahulu. Tetapi sangat memungkinkan di masa depan terdapat kalangan totok baru, terutama jumlah kedatangannya yang cukup masif.

"Jika misalnya totok baru terjadi di Indonesia, seakan sejarah terulang," tambahnya.

Baca Juga: Sisik Melik di Balik Aksara Cina di Papan 'Kopi Es Tak Kie' Glodok