Nationalgeographic.co.id - Awal abad ke-20 merupakan era pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan liberal. Sehingga berbagai golongan masyarakat bisa mengenyam pendidikan modern ala Eropa, dan perlahan membentuk kesadaran nasionalisme.
Sayangnya, masyarakat pada masa itu terpecah-pecah berdasarkan penggolongan warna kulit melalui Regerings Reglement [UU Koloni] 1854. Kebijakan itu seolah membuat tembok pemisah golongan Eropa, Timur Jauh (Tionghoa, Arab, dan India), dan bumiputera, yang berangsur-angsur hingga kini.
Kebijakan itu membuat etnis Tionghoa menjadi minoritas perantara antara pemerintah kulit putih dengan bumiputera untuk mengurusi perekonomian. Posisi ini menjadikan mereka sangat rentan saat ada pertikaian, lemah dalam posisi, dan kerap menjadi kambing hitam. Mereka hanya bisa memohon perlindungan pada kelompok dominan.
Etnis Tionghoa di Hindia Belanda sendiri terfasilitasi dengan baik, dan menjadikan mereka sebagai golongan bergengsi. Didi Kwartanada pegiat budaya Tionghoa menganggap fasilitas itu sebagai upaya meninabobokan Tionghoa oleh pemerintah. Bahkan pemerintah menyediakan sekolah khusus bagi Tionghoa.
Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
“Ini juga muncul sekolahnya karena adanya sekolah Tionghoa berbahasa Inggris di Singapura. Belanda menjadi khawatir kalau Tionghoa nanti-nanti malah pro-Inggris,” terangnya pada webinar Kelas Sejarah dan Budaya Tionghoa yang diadakan Merdeka Belajar.
Karena kemudahannya mengakses pendidikan dan melihat perkembangan di Tiongkok, banyak pemuda Tionghoa yang kemudian sadar akan kondisi mereka. Sehingga di masa pergerakan nasional muncul kelompok Tiong Hoa Hwee Koan (THKK) pada 17 Maret 1900. THKK kemudian menjadi inspirasi berdirinya kelompok lainnya, Boedi Oetomo.
"[THKK] menimbulkan kesan mendalam bagi masyarakat bumiputera, [...] telah menggugah kaum terpelajar Jawa untuk berdaya upaya mempersatukan diri mereka," ucap Wahidin Soedirohoesodo, tokoh Boedi Oetomo, dikutip Didi.
Gebrakan yang dilakukan Tionghoa juga memicu orang Arab—khususnya Hadhrami—untuk bersatu menentukan arahan politik dan identitas mereka. Menurut Huub de Jonge dalam Mencari Identitas Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950), orang Hadhrami terpecah-pecah antara golongan sayid dengan syarif, dan golongan yang menganggap Hindia Timur dan Hadhramaut sebagai tanah air. Selanjutnya berkembang dengan membuat Sarekat Islam dan Persatuan Arab Indonesia (PAI).
Baca Juga: Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda
Didi juga menyebut pengaruh ini tak hanya berdampak dari sisi etnis, tetapi juga gender. Raden Ajeng Kartini yang berkomunikasi dengan masyarakat golongan lain dan mendapat informasi seputar dunia internasional mengamininya. Terbukti dalam Letters of a Javanese Princess by Raden Adjeng Kartini, sebuah kompilasi surat Kartini yang tak pernah terbit di Indonesia:
“Ingin benar saya berkenalan dengan anak-anak Cina yang berani itu! Ingin sekali saya hendak tahu pikiran, cita-cita dan perasaan mereka, jiwa mereka!” tulis Kartini pada 17 Juni 1902 untuk temannya di Belanda. “Selamanya saya ingin mempunyai teman Cina! Saya ingin benar hendak mengetahui hidup kejiwaan anak perempuan Cina semacam itu! Pasti banyak keindahannya!”
Source | : | berbagai sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR