Sebelumnya, setidaknya ada lima teori terkemuka yang menjabarkan mengapa mimpi bisa terjadi, yakni:
1. Teori Konsolidasi Memori. Teori ini menganggap mimpi adalah rekaman dari peristiwa masa lalu. Maka, mimpi yang hadir adalah cerminannya.
2. Teori Freud. Sigmund Freud percaya jika mimpi menggambarkan hasrat terselubung kita yang ditekankan, dan terdiri dari hal-hal yang nyata dan tersirat.
3. Teori Sintesis-Aktivasi. Mimpi merupakan serangkaian ingatan acak yang muncul bersamaan.
4. Teori Simulasi. Teori ini menganggap mimpi sebagai mekanisme pertahanan kuno untuk melatih diri kita mengatasi ancaman, dan memberi gambaran realitas untuk melatih keterampilan yang penting.
5. Teori Regulasi Emosi. Mimpi dibangun dari rekam jejak emosional, dan bisa berfungsi untuk membantu proses dan pengaturan emosi.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Cara Komunikasi Lewat Mimpi dengan Orang yang Tidur
Kini, berkat perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), Erik Hoel profesor di Tufts University, menemukan teori terbaru terkait mengapa kita bermimpi. Temuan itu ia publikasikan di jurnal Patterns (Vol.2 Issue.5 Mei 2021).
Teori itu disebut sebagai overfitted brain yang muncul sebagai jawaban alternatif perdebatan para ilmuwan terkait mimpi.
Ia juga menyebut, inspirasinya muncul dari bagaimana kita melatih jaringan saraf dalam kita untuk mengenali pola, membahas pengalaman bermimpi sebagai tujuannya, dan memperkirakan keanehan di dalamnya sebagai sebuah fitur.
Dalam studinya, ia berpendapat bahwa keanehan dalam mimpi kita berfungsi untuk membantu otak kita menggeneralisasi pengalaman sehari-hari kita dengan baik.
"Saya mefokuskan pada teori mimpi yang menganggap mimpi itu sendiri dengan sangat serius—yang menyatakan kalau pengalaman mimpi adalah mengapa kita bermimpi," terang Hoel, dilansir Eurekalert.
Baca Juga: Sering Mengalami Mimpi Buruk? Ini Bahayanya Bagi Kesehatan Kita