Sains Terbaru: Ada Zat Kimia Berbahaya yang Ditemukan di Anak Orca

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 26 Mei 2021 | 20:17 WIB
Paus orca atau paus pembunuh (dpruter)

Nationalgeographic.co.id—2017 lalu bangkai seekor orca berusia 10 hari terdampar dan ditemukan di pesisir Norwegia. Berdasarkan studi baru yang mengotopsi bangkai itu menemukan adanya kandungan kimia berbahaya, bifenil poliklorinasi (PCB).

Laporan terbaru yang dipublikasikan di Environmental Toxicology and Chemistry, Selasa (18/05/2021) menyebut studi ini adalah yang pertama mengungkap zat kimia pada orca berusia anak-anak.

Selain bangkai itu, PCB juga ditemukan pada tujuh dari delapan orca lainnya yang terdampar sejak 2015. PCB sendiri merupakan senyawa klorin organik yang umum digunakan sebagai cairan dielektrik dan pendingin untuk perlatan listrik.

 

Senyawa ini pernah digunakan hingga 1978, hingga dilarang oleh pemerintah Amerika Serikat, dan ditetapkan sebagai polutan organik menetap dalam Perjanjian Stockholm 2001 (Porta & Zumeta. 2002). Tetapi karena daya tahannya yang lama, PCB masih digunakan secara luas hingga kini.

Melihat adanya PCB di anak orca, Eve Jourdain, peneliti utama studi dari Norwegian Orca Survey, memperkirakan kontaminasi ini ditularkan dari induknya melalu susu dan plasentanya.

"PCB masih ditemukan dengan kadar tinggi pada paus pembunuh di Norwegia, meskipun faktanya mereka sudah lama dilarang," kata Jourdain di Live Science.

Para peneliti juga menemukan bahan kimia baru yang belum diregulasikan, seperti penghambat api brominasi (BFR), dan menemukan penghambat pentabromotoluena (PBT), dan heksabromobenzena (HBB), dengan kadar rendah dalam lemak delapan paus, tulis para peneliti dalam makalahnya.

Jourdain menyebut bahwa BFR, PBT, dan HBB adalah bahan kimia itu adalah pengganti PCB, dan memiliki sifat akumulasi yang sama dengan jaringan pada tubuh orca.

Baca Juga: Orca Tipe D, Hewan Langka yang Diduga Spesies Paus Pembunuh Baru

 

Ada pula zat lainnya yang ditemukan berupa perfluoroalkyl (PFAS), dan merkuri tingkat tinggi. PFAS lebih dikenal sebagai zat kimia abadi karena tak bisa terurai di lingkungan normal.

Baik PFAS dan merkuri, meski berbahaya kadar dalam anak orca itu lebih rendah daripada kelompok dewasa. Diperkirakan transfer zat ini kurang efisien dari induk ke anak mereka.

Para peneliti menjelaskan bahwa bahan kimia yang ditemukan seperti BFR, PBT, HBB, dan PFAS, adalah zat yang sangat umum untuk digunakan produk manusia. Bahan kimia itu termasuk kosmetik, lilin untuk papan ski, tekstil, kulit, kertas, dan bahan pemadam api berbasis busa.

"[Zat-zat] Ini sepertinya muncul di laut lewat aliran lokal, air limbah, dan lain-lain. Kemudian muncul ke permukaan tinggi dan terakumulasi dalam rantai makanan, sampai mencapai tingkat tertinggi atau predator puncak seperti orca," papar Jourdain.

Hingga saat ini para ilmuwan belum tahu betapa berbahayanya zat-zat itu pada orca. Tetapi penelitian menemukan menghubungkan sisa kontaminasi seperti PCB terhadap gangguan sistem kekebalan, dan reproduksi paus, terang Jourdain.

Baca Juga: Peneliti Manfaatkan Levitasi untuk Deteksi Air yang Terkontaminasi

 

"Ini berarti paus pembunuh mungkin lebih rentan terhadap patogen dan penyakit, dan kecil kemungkinannya untuk berkembang biak," Jourdain berpendapat.

"Ini mengkhawatirkan karena mereka belum diatur dan karena kita hanya tahu sedikit tentang betapa berbahayanya zat-zat ini bagi satwa liar."

Kontaminasi PCB pada orca bukanlah hal pertama, sebelumnya pada 2016 juga ditemukan pada Lulu di lepas pantai Skotlandia. Konsentrasi PCB-nya adalah 100 kali lebih tinggi daripada kadar yang dianggap aman bagi mamalia laut, menurut para ilmuwan dari Scottish Marine Animal Stranding Scheme at Scotland's Rural College yang menelitinya.

Sebelumnya National Geographic memberitakan bahwa PCB juga sempat ditemukan pada bangkai orca yang terperangkap di bekas tumpahan minyak Exxon Valdex Supertanker. Tumpahan ini terjadi pada 1989.

Baca Juga: Tumpahan Minyak Exxon Valdez Menghancurkan Populasi Paus Pembunuh

Sebelum terjadi tumpahan, setidaknya ada 22 ekor orca yang ditemukan. Tetapi bencana itu membuat sebagian dari mereka hilang dan diperkirakan tewas. Para peneliti memperkirakan kematiannya disebabkan mereka telah menalan atau menghiru minyak mentah.

Selain PCB, dalam lemak paus bangkai orca itu juga ditemukan zat kimia Pestisida DDT. Keduanya adalah zat dari minyak yang tumpah itu.