Selidik Kehidupan Sang Pionir Pembaharu Mesir, Firaun Akhenaten

By National Geographic Indonesia, Selasa, 1 Juni 2021 | 18:24 WIB
Wajah Akhenaten, dengan ciri khas yang dilebih-lebihkan, pada karya percobaan pematung yang belum selesai dari Amarna. (The Metropolitan Museum of Art)

Pada 2015, tim tersebut beralih ke permakaman lain di sebelah utara Amarna. Di sini, mereka mengekskavasi 135 jasad. Anna Stevens, arkeolog Australia yang memimpin kerja lapangan di permakaman itu, bercerita kepada saya bahwa petugas ekskavasi segera melihat adanya hal yang berbeda dengan makam-makam di situ. Banyak jasad yang kelihatannya dimakamkan secara terburu-buru, dalam liang lahat yang nyaris tanpa benda atau objek lain. Tak ada bukti terjadinya kematian akibat kekerasan, tetapi pengelompokan keluarga sepertinya juga tidak terjadi. Dalam banyak kasus, terlihat seperti dua atau tiga orang yang tanpa hubungan keluarga dimasukkan bersama ke dalam satu makam. Mereka masih muda—92 persen individu di pemakaman ini tidak lebih tua dari 25 tahun. Lebih dari setengah meninggal di usia antara tujuh dan 15 tahun.

“Ini jelas bukanlah kurva kematian normal,” ujar Stevens. “Mungkin juga bukan kebetulan bahwa di area ini ada tambang batu kapur sang firaun. Apakah ini kelompok pekerja yang wajib bekerja berdasarkan usia muda—dan secara efektif dipekerjakan sampai mati?” Baginya satu hal sudah jelas: “Ini benar-benar menghilangkan pengetahuan yang masih mengambang bahwa Amarna adalah tempat nyaman untuk hidup.

Bagi Akhenaten, Amarna mewakili suatu hal yang murni dan sungguh-sungguh visioner. “Tidak ada pejabat yang pernah menasihati saya mengenai hal ini,” sang firaun menulis dengan bangga tentang pembangunan ibu kota yang baru olehnya. Ia memilih tempat itu, sebidang luas gurun yang belum terjamah di sebelah atas sisi timur Sungai Nil, karena tempat itu belum tercemari oleh pemujaan dewa mana pun.

Bisa jadi, ia juga termotivasi oleh ayahandanya, Amenhotep III. Dalam sejarah Mesir, ia adalah salah satu pembangun hebat bagi sejumlah monumen, kuil, dan istana. Kedua firaun ini adalah bagian dari wangsa ke-18 yang berkuasa setelah mengalahkan Hyksos, sebuah kelompok yang menginvasi Mesir utara. Nenek moyang wangsa ke-18 bermukim di Mesir selatan. Untuk mengusir Hyksos, mereka mengikutsertakan inovasi utama musuhnya, termasuk kereta kuda dan busur. Tak seperti kebanyakan wangsa pendahulunya, wangsa ke-18 membentuk tentara yang selalu siap sedia saat damai maupun perang.

Baca Juga: Penangkaran Hewan Liar Sudah Dilakukan Semenjak Zaman Mesir Kuno

Meskipun pemerintahan Akhenaten mengalami reformasi agama besar-besaran dan perkembangan artistik tertentu, warisannya hancur di bawah firaun kemudian. Putra Akhenaten, Tutankhaten, mengembalikan Amun yang dipermalukan sebagai raja para dewa, dan dia mengganti nama dirinya menjadi Tutankhamun untuk menghormati Amun. Kultus Aton lenyap. Kendati demikian, warisan artistik Akhenaten bertahan dan memengaruhi karya pengrajin masa depan. (Britannica)

Mereka juga piawai dalam hal diplomasi. Kerajaan itu akhirnya membentang dari Sudan hingga Suriah di masa kini. Orang asing membawa kekayaan dan keterampilan baru bagi istana Mesir. Di bawah Amenhotep III yang berkuasa dari sekitar 1390 sampai 1353 SM, gaya seni kerajaan bergeser kepada naturalistik.

Bahkan, selagi Amenhotep III menerima kedatangan gagasan baru, ia juga melihat jauh ke masa lampau. Ia mempelajari piramida para firaun yang hidup lebih dari seribu tahun sebelumnya dan memasukkan unsur tradisional ke berbagai festival, kuil, dan istana kerajaan. Ia tetap memuja Amun, dewa penjaga kota Thebes. Namun, Amenhotep III juga mulai menekankan Aten, suatu bentuk dewa matahari Re, digambarkan sebagai piringan matahari yang mengingatkan kembali akan pola pemujaan yang lebih tua.

Putra sang firaun naik takhta dengan gelar Amenhotep IV. Namun, pada tahun kelima peme-rintahannya, ia membuat dua keputusan penting. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten—Setia Kepada Aten—dan memindahkan ibu kota ke tempat yang kini dikenal sebagai Amarna. Sang firaun memberi nama kotanya Akhetaten, atau Cakrawala Piringan Matahari. Sebidang gurun kosong ini pun menjadi rumah bagi diperkirakan 30.000 jiwa. Istana dan kuil dibangun dengan cepat, ukurannya pun menakjubkan.

Sementara itu, seni Mesir juga mengalami revolusi. Selama berabad-abad, tradisi yang kaku telah menentukan aturan yang benar untuk bahan baku, proporsi, serta pose lukisan dan pahatan. Di bawah Akhenaten, para perajin menciptakan pemandangan dunia alami yang luwes dan seperti sesungguhnya, dan mulai memperlihatkan Akhenaten dan ratunya, Nefertiti, dalam pose akrab dan alami yang tak seperti biasanya.