Selidik Kehidupan Sang Pionir Pembaharu Mesir, Firaun Akhenaten

By National Geographic Indonesia, Selasa, 1 Juni 2021 | 18:24 WIB
Wajah Akhenaten, dengan ciri khas yang dilebih-lebihkan, pada karya percobaan pematung yang belum selesai dari Amarna. (The Metropolitan Museum of Art)

Dalam visi sang firaun, agama menjadi diseder-hana-kan secara radikal. Orang-orang Mesir me-muja hingga seribu dewa, tetapi Akhenaten hanya setia kepada satu dewa. Ia dan Nefertiti berfungsi sebagai satu-satunya perantara antara orang-orang dengan Aten, dengan mengambil peran tradisional sebagai pemimpin keagamaan.

Semua ini pastilah mengancam para pemimpin agama dalam tatanan lama, yang melayani Amun. Setelah beberapa tahun di Amarna, sang firaun memerintahkan sejumlah pekerja untuk mencungkil semua gambaran Amun di kuil-kuil kerajaan. Ini adalah sebuah tindakan yang amat sangat berani mati: untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang raja menyerang dewa. Namun, revolusi punya caranya sendiri untuk berbalik melawan pendukung setianya, dan kekerasan ini pada akhirnya akan memangsa ciptaan-ciptaan Akhenaten sendiri.

Saya tiba di situs Kuil Aten Besar pada suatu hari, tepat saat Barry Kemp menemukan pecahan arca Akhenaten. Kemp memimpin Amarna Project, dan dia telah bekerja di situs ini sejak 1977. Ia menghabiskan waktu tahunan tiga kali lipat lebih lama untuk menggali reruntuhan kota ini dibanding lamanya Akhenaten membangunnya.

“Ini dibuat dengan amat indah,” ujarnya sambil mengangkat sepenggal pahatan patung batu, hanya tungkai bawah sang firaun yang terlihat di situ. “Ini bukan rusak tanpa disengaja.” Banyak sekali artefak sengaja dihancurkan setelah sang firaun tiba-tiba wafat pada sekitar 1336 SM. Pewaris takhta dan putra tunggalnya adalah Tutankhaten, usianya tak lebih dari 10 tahun. Ia mengganti “Aten” dalam namanya dengan gelar dewa yang dibenci ayahandanya: Tutankhamun. Ia meninggalkan Amarna, kembali kepada tradisi lama. Tutankhamun wafat tanpa diduga. Tak lama kemudian, sang pemimpin tentara, Horemheb, menyatakan dirinya sebagai firaun—mungkin ini kudeta militer pertama dalam sejarah.

Horemheb dan para penerusnya, termasuk Ramses yang Agung, membongkar kuil dan bangunan kerajaan di Amarna. Mereka menghancurkan arca Akhenaten dan Nefertiti. Mereka juga menghapus nama sang firaun nan bidah beserta keturunannya dari daftar resmi penguasa Mesir. Tindakan ini begitu berhasil sehingga menjadi salah satu alasan mengapa makam Tutankhamun lolos dari perampokan besar. Pada masa firaun, para perampok selama bergenerasi-generasi menyisir makam seperti ini. Namun, makam Tut sebagian besar tak tersentuh. Orang lupa bahwa makam itu ada di sana.

Baca Juga: Sains Menghidupkan Kembali Nebiri, Mumi Mesir Kuno Berusia 3.500 Tahun

Faraoh Akhenaten di pilar sisa-sisa kuil Aton di Karnak. Pemujaan eksklusif Akhenaten terhadap dewa matahari Aton membuat para ahli Mesir kuno mengklaim bahwa dia menciptakan agama monoteistik pertama di dunia. Namun, ilmuwan modern mencatat bahwa kultus Akhenaten berasal dari aspek dewa lain — terutama Harakhte, Shu, dan Maat — dalam imajinasi dan pemujaannya terhadap Aton. (The Egyptian Museum)

Mereka juga melupakan sebagian besar detail kehidupan Amarna. Ekskavasi Kemp baru-baru ini menunjukkan bahwa Kuil Aten Besar dihancurkan dan dibangun kembali pada sekitar tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten. Penggalan patung yang tadi ia tunjukkan kepada saya, berasal dari masa itu—patung ini diremukkan atas perintah dari sang firaun itu sendiri, bukan penerusnya.

“Dari sudut pandang kita, yang mereka lakukan itu ganjil,” tutur Kemp, menjelaskan bahwa Akhenaten menggunakan potongan itu sebagai pondasi kuil baru yang telah diubah. “Patung ini tak diperlukan lagi, jadi mereka memecahkannya menjadi lebih kecil. Kami tak punya informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi.”

Namun, bukti lain sering kali masih sangat utuh. Situs permukiman kuno biasanya ada di Lembah Nil, tempat banjir bermilenium-milenium menghancurkan bangunan asli. Sebaliknya, Amarna terletak di gurun di atas sungai. Inilah mengapa tempat ini tak dihuni sebelum masa Akhenaten, dan inilah juga mengapa tempat ini lalu ditinggalkan orang. Bahkan, kini pun kita masih bisa melihat tembok bata asli rumah-rumah Amarna. Adalah mungkin untuk mengunjungi bangunan berusia 3.300 tahun, tempat patung dada Nefertiti yang berwarna dan terkenal, yang diekskavasi oleh tim arkeolog Jerman pada 1912.

Kemp bercerita bahwa ia awalnya tertarik dengan Amarna karena utuhnya situs kota itu, bukan karena Akhenaten. Seperti halnya kebanyakan cendekiawan masa kini, ia tidak mendeskripsikan Akhenaten sebagai monoteis. Kata ini terlalu ba-nyak dicampuri tradisi religius yang ada setelah-nya. Pada masa kekuasaan Akhenaten, sebagian besar orang Mesir tetap memuja dewa-dewi lain.

Namun demikian, Kemp terkesan dengan pemikiran Akhenaten yang bisa berubah-ubah, dan kemampuannya untuk memaksa pekerja melaksanakan kemauannya yang tiba-tiba. Di Kuil Aten Besar, Kemp menunjukkan sisa beberapa meja persembahan besar dari bata lumpur yang dulunya pasti penuh dengan tumpukan makanan dan dupa. Jumlah meja ini mencengangkan—lebih dari 1.700. “Ini pemikiran yang muncul dalam benaknya, seseorang dengan pikiran yang agak obsesif dan harafiah,” tutur Kemp. Ia pernah menulis: “Bahayanya menjadi seorang penguasa absolut adalah tak ada seorang pun berani mengatakan kepadamu bahwa apa yang baru saja kau putuskan bukanlah gagasan bagus.”

Baca Juga: Singkap Temuan Makam Mesir Kuno Berusia 3.500 Tahun Milik Tukang Emas

Akhenaten, Nefertiti, dan tiga putri di bawah Aten; dari Amarna; Dinasti ke-18; kira-kira 1345 SM. (Museum Pergamon Berlin )

Kurangnya pertanggungjawaban ini agaknya juga mengilhami kebebasan seni. Ray Johnson, dari University of Chicago di Luxor percaya, Akhenaten pastilah memiliki “kreativitas yang liar,” terlepas dari kecenderungan bahwa ia obsesif dan tiran. “Penggambaran seni di Amarna begitu indah, sampai membuat kita menangis,” ujar Johnson. “Mereka menolak gaya berlebih dan penuh tatanan dalam seni Mesir tradisional, mengambil gaya jauh lebih lembut. Penggambaran wanita, terutama, luar biasa sensual.”

Belum lama ini Johnson menyatukan kembali pecahan relief dinding serta patung dari koleksi yang tersebar di dunia. Johnson memperlihatkan saya sebuah “sambungan” virtual. Di situ ia telah memadankan foto sebuah potongan yang berada di Kopenhagen dengan potongan lain di Metropolitan Museum of Art, New York. “Potongan ini terpisah sejauh 6.000 kilometer, tapi saya menyadari bahwa keduanya menyambung,” katanya. Sambungan tersebut mengungkapkan sebuah adegan yang mengejutkan: Akhenaten mengadakan sebuah ritual bukan dengan Nefertiti, melainkan dengan Kiya, istri lainnya, yang tidak memiliki status sebagai ratu.

Cendekiawan yang terlibat dalam kerja semacam ini, kelihatannya memiliki pandangan lebih lunak tentang Akhenaten. Barangkali karena kontak yang dekat dengan karya seninya. Ini menjadi warisan sang firaun yang paling langgeng, setidaknya sampai penemuan kembali akan dirinya di masa modern. Kotanya dan tindakan ritualnya memang cepat ditinggalkan. Namun, gaya artistik Amarna memengaruhi periode selanjutnya. Marsha Hill, kurator Metropolitan Museum of Art, memberi tahu saya bahwa menangani pecah-an pahatan Amarna membuatnya merasa lebih positif terhadap Akhenaten.

“Semua orang suka revolusioner pada tahap tertentu,” ujarnya. “Seseorang yang punya sebuah gagasan amat bagus dan kuat yang membuat seolah-olah segala hal akan menjadi lebih baik. Saya tak melihat dirinya sebagai orang yang destruktif. Tentu saja, yang ia buat tidak berhasil. Uap terkumpul di bawah tanah sampai akhirnya meledak, lalu kita harus menyatukannya kembali.”

Revolusi modern mesir membuat arkeolog lebih kesulitan mempelajari bukti yang terpecah belah dari masa kekuasaan Akhenaten. Pada Februari 2011, pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir di Kairo memaksa pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak. Pada 2012, Mesir mengadakan pemilihan presiden yang demokratis untuk pertama kalinya, yang dimenangi Mohammad Morsi, pemimpin Ikhwanul Muslimin. Namun, setelah hanya setahun memangku jabatan, ia digulingkan dengan kudeta militer. Setelah kejadian ini, pasukan keamanan membantai ratusan pendukung Morsi di Kairo. Unjuk rasa pun merebak di seluruh negeri, termasuk di Mallawi, sebuah kota di seberang Amarna yang dipisahkan oleh Sungai Nil. Pada Agustus 2013, segerombol orang setempat pendukung Morsi menyerang gereja Kristen Koptik, kantor pemerintah, dan Museum Mallawi. Dalam kekerasan itu, pemeriksa tiket museum dibunuh dan semua artefak yang bisa dijinjing hilang—semuanya lebih dari seribu buah. Sejak saat itu, polisi mendapatkan kembali sebagian besar benda yang hilang, tetapi butuh tiga tahun bagi museum itu untuk dibuka kembali.