Mencari Kembali Peradaban laut dan Jalur Budaya Rempah Nusantara

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 29 Mei 2021 | 09:00 WIB
Nur Al Marege, kapal padewakang ini direkonstruksi dengan desain yang digunakan pelaut-pelaut Makassar pada ratusan tahun silam. Kapal ini memulai pelayaran pada 8 Desember 2019 dan sampai tujuan di pesisir utara Australia pada 28 Januari 2020. (Yusuf Wahil)

Oleh Mohamad Atqa—Alumnus Antropologi Universitas Indonesia; kini bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

 

Nationalgeographic.co.id—Selama berabad-abad, rempah-rempah pernah menjadi komoditas penting yang memengaruhi kondisi ekonomi, politik, maupun sosial budaya dalam skala global. Nusantara menjadi pemain penting dan pemasok utama rempah-rempah dalam perdagangan dunia, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan kolonialisme. Eksplorasi pelayaran demi perniagaan rempah-rempah lantas menciptakan jalur rempah akibat lalu lintas laut yang ramai dari Tiongkok, India, Arab menuju Nusantara, dan sebaliknya. 

Studi-studi sejarah dan arkeologi menunjukkan Nusantara menjadi salah satu pusat peradaban bahari dunia, sebagai penguasa niaga dan politik dengan kebesaran armada maritimnya. Tak heran, karakteristik negara kita disebut archipelagic state, yang diartikan sebagai negara laut utama yang ditaburi pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut. 

Sayangnya, imajinasi bangsa kita tentang kemaritiman sepertinya sudah lama kosong. Meski Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai poros maritim dunia, nampaknya pembangunan kita sudah terlampau mendalam dengan pendekatan kebudayaan agraris atau orientasi kedaratan.

Baca Juga: Misi Jalur Rempah, KRI Dewaruci Akan Kunjungi 13 Titik di Nusantara

Selembar cetkan yang menampilkan kapal layar di Banten berjudul 'Folgen hernacher viererlen Schiff / deren fich die zu Bantam gebrauchen'. Sebuah cetakan hitam dan putih pada awal abad ke-17 karya pengukir dan penjual buku Jerman Theodore De Bry. (Bartele Gallery)

Malah, pendekatan agraris sebagai buah hasil kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-17 justru membuat semangat kebaharian di Nusantara semakin surut, akibat kelanjutan pergeseran nilai-nilai yang semula bercirikan budaya bahari ke daratan.

Kini, kita merasakan akibat terlalu lama ‘memunggungi’ laut. Di daratan telah terjadi kemiskinan, pengangguran, sekaligus seringnya bencana alam akibat “menghilangnya” hutan dan digantikan oleh "lahan-lahan produktif” dan "industri tanaman monokultur" yang terlalu boros akan air dan lahan.

Hilangnya hutan ini bahkan disebut sebagai penyebab pandemi global. Pasalnya, penyakit-penyakit satwa liar—seperti virus Nipah, hepatitis E, Avian Influenza, termasuk Covid-19—tidak lagi terjaga dalam benteng ekologi yang kuat yakni hutan.

Belum lagi konflik yang kerapkali terjadi antara pemilik perusahaan kehutanan, perkebunan, dan golongan kaya dengan masyarakat lokal akibat penguasaan secara besar-besaran atas sumber agraria.

 

Memajukan Peradaban Laut

Sejak lama Indonesia dinilai perlu merevitalisasi peradaban laut sebagai dasar kebudayaan bangsa, yang memang bukan pekerjaan singkat dan mudah. Bahkan, Laksamana Armada Inggris semasa Perang Dunia II, Lord Cunningham pernah menegaskan, “it takes the Navy three years to build a new ship, but it will take 300 years to build a new tradition”.

Satu cara untuk merevitalisasi kekuatan kebaharian bangsa adalah mengumandangkan jalur rempah. Jalur rempah membawa relevansi yang luar biasa di masa kini jika ingin mengubah paradigma pembangunan kita-bahwa fakta geografis dan keindonesian kita terbentuk atas kebahariannya, melahirkan perspektif bio-kultur, membentuk pengetahuan tradisi, kearifan lokal, serta kebhinekaan budaya di laut dan darat.

Maka jalur rempah dapat ditegaskan sebagai visi Indonesia untuk memudahkan realisasinya menjadi poros maritim dunia. Terlebih, jika jalur rempah mendapat pengakuan oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Dan, pengakuan ini terus diupayakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, salah satunya adalah mempromosikan jalur rempah dengan berlayar menyusuri 13 titik jalur rempah Nusantara, mulai 17 Agustus sampai 28 Oktober 2021, menggunakan kapal RI Dewa Ruci.

Baca Juga: Dewaruci dan Khilafnya Negeri Bahari

Gambar litografi kapal dagang yang melewati perairan China dan Asia Tenggara. Dua bendera di kapal menunjukkan hubungan antara Kesultanan Islam di Nusantara dengan Tiongkok. (Jan Huyghen van Linschoten)

Kapal milik TNI Angkatan Laut ini dinobatkan sebagai perintis napak tilas jalur rempah sebagai jalur budaya bahari. Pelayaran ditandai dengan festival jalur rempah di setiap titik, dengan mengangkat kekayaan alam dan budaya yang dirajut dari elemen budaya seperti seni, kriya, kuliner, ramuan, wastra, dan kesejarahan.

Sepertinya, hanya dengan semangat jalur rempah berbagai upaya dapat tumbuh, untuk menjadikan Indonesia sebagai negara terbaik dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi lautnya. Dengan spirit jalur rempah, pemanfaatan potensi laut dikelola dengan serius dengan berbasis pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimana pola pengembangan kekayaan hasil-hasil perikanan, bagaimana energi kelautan dapat dimanfaatkan menanggulangi krisis energi listrik, dan bagaimana bioteknologi kelautan memberikan kontribusi ekonomi bagi penyediaan bahan baku industri farmasi dan kosmetik. Belum lagi potensi kandungan minyak, gas bumi, dan tambang lainnya yang belum termanfaatkan optimal.

Begitu juga potensi besar pengembangan pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, dan pulau-pulau kecil yang masih diabaikan. Padahal semua itu mempunyai dampak berganda yang dapat menyerap tenaga kerja, mendatangkan devisa bagi negara, mendorong konservasi lingkungan, dan tentunya menumbuhkan jiwa dan budaya maritim.

Memadukan Peradaban Laut dan Darat

Peran jalur rempah sebagai jalur budaya, dalam semua dimensinya, menjadikan laut dan darat suatu kesatuan yang saling mendukung dalam arah kebijakan pembangunan berkelanjutan. Laut merupakan sandaran untuk mencapai keunggulan kompetitif, jika negara ingin maju dan rakyat makmur. Produk-produk unggulan di daratan dari setiap daerah didistribusikan ke antarpulau dengan pola yang jitu melalui poros maritim.

Terlepas semua itu, tidak dapat ditawar lagi bahwa pembangunan di darat menekankan pada harmonisnya hubungan manusia dan alam. Pandemi Covid-19 telak memaksa manusia untuk melakukan strategi nyata pada penyembuhan jaringan kehidupan, membangun kembali perekonomian dengan cara menghormati batasan ekologis.

Nilai-nilai budaya, kearifan lokal, dan praktik tradisional pengelolaan lingkungan menjadi sumber daya yang berharga untuk mencapai keberlanjutan ekologi, serta kesehatan dan kebugaran (wellness) manusia itu sendiri.

Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara

Dari Gunung Api Banda, terlihat kedatangan kapal putih. Selain itu, dari sini bisa melihat lanskap Banda Neira, riwayat kepulauan rempah. (Feri Latief)

Maka, dengan modal kekayaan budaya yang berlimpah, kita bisa merebut besarnya kebutuhan pasar wellness economy yang mencapai 4,2 triliun dolar AS atau sekitar Rp 59 kuardiun menurut Global Wellness Institute, 2017. Industri wellness mencakup makan sehat, perawatan dan kecantikan, nutrisi, meditasi, spa, kesehatan, dan pariwisata kesehatan.

Penggunaan rempah-rempah, bumbu-bumbuan dan tumbuh-tumbuhan sudah digunakan secara kebiasaan turun-temurun sebagai bahan kesehatan, penyembuhan, dan relaksasi yang bersifat holistik. Kita juga mempunyai puluhan spa tradisional yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk kesehatan dan kecantikan ke mancanegara dan daya tarik turis.

Bahkan, masyarakat kita sudah memiliki aneka cara dalam merespon wabah atau upaya tolak bala, seperti ritual dan tirakat, ramuan jamu tradisional, ruwatan, mantra, sesaji daun bidara dan janur kuning, Maka sebenarnya, usaha mengatasi wabah adalah dengan memberdayakan keanekaan budaya dalam mencari siasat agar hidup kembali harmonis.

Bagaimanapun, kini, pengembangan semua itu memerlukan riset intensif untuk memetakan kekayaan budaya dan pembangunan yang masih sangat minim.