Nationalgeographic.co.id— Kapal layar latih KRI Dewaruci, bagi Cornelis Kowaas, laksana “angsa betina jang sedang meluntjur di kolam jang indah.” Atau, di lain kesempatan, dia mengumpamakan pesona kapal itu layaknya “seorang gadis djelita jang sedang berdjemur diatas pelampung, megah dan angkuh.”
Namun demikian, lantaran kapal layar tipe barquentine itu begitu mungil dan anggun, ada saja pihak yang menyangsikan ketangguhannya. Bagaimana mungkin perahu layar seukuran sekoci, demikian cemooh mereka, mampu mengelilingi dunia dan menyintas amukan gelombang samudra.
Kowaas menulis kenangan sepanjang masa ketika republik yang masih belia ini memperkenalkan ketangguhan armada baharinya kepada dunia. Sejak masa kanak-kanak di Minahasa, dia memang sungguh menggemari literatur kebaharian. Kegandrungannya terhadap laut tampaknya diwariskan dari keluarga dan leluhurnya yang terkenal sebagai nelayan ulet. Pada akhirnya, impian masa kanak-kanaknya itu terwujud. Dia mulai berdinas di ALRI pada 1951 dengan pangkat Kelasi-III.
Semesta turut mendukungnya. Pada 1964, Kowaas menjadi salah satu awak kapal latih RI Dewaruci yang mengelilingi Bumi dalam misi “Operasi Sang Saka Djaja”. Saat itu, dia berpangkat sersan mayor satu dalam korps cinematograph. Tugasnya, mengabadikan pelayaran ini lewat film dokumenter. Usianya baru 31 tahun.
Atas restu dari Presiden Sukarno, 102 pelaut Dewarutji resmi memulai pelayarannya dari Pelabuhan Tanjungpriuk, Jakarta, pada 8 Maret 1964. Pelayaran perdana keliling dunia ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Soemantri, yang menjabat sebagai komandan KRI Dewaruci kedelapan.
Bagaimana mungkin perahu layar seukuran sekoci, demikian cemooh mereka, mampu mengelilingi dunia dan menyintas amukan gelombang samudra.
Dalam bentangan 16 layarnya, Dewaruci meluncur ke samudra luas dalam suasana politik yang memanas. Catatan Kowaas menggambarkan latar kecamuk perseteruan dengan negeri tetangga dan tanggapan miring dunia internasional seputar isu komunisme di Indonesia.
Mungkin banyak pelaut Dewaruci yang mencatat riwayat pelayaran ini, namun hanya catatan Kowaas yang diterbitkan menjadi buku. Sang Saka Melanglang Djagad merupakan catatan Kowaas selama perjalanan keliling dunia bersama Dewaruci. Sampul buku berwarna biru dengan kapal Dewaruci warna putih itu dirancang oleh M. Zein Coursany, pelukis di Pusat Penerangan ALRI. Pertama kali diterbitkan oleh Firma Mega Bookstore di Pasar Baru Timur pada 1965. Pada masa Orde Baru, buku itu pernah “ditarik” dari peredaran.
Baca juga: Setelah Ratusan Tahun, Tubuh Penjelajah Ini Ditemukan di Bawah Stasiun
Kowas berhasil mengungkapkan nyawa pelayaran Dewaruci dalam buku itu, kisahnya sungguh hidup. Dia tidak sekedar mencatat kebanggaan Dewaruci sebagai prestasi tengara bahari Indonesia, tetapi juga kisah romantika para pelaut muda yang membangkitkan minat insani bagi pembaca. Saya pun merasa merinding ketika terbawa rasa ketegangan dan keharuan kisahnya, kadang terbit rasa jengkel, atau tiba-tiba tergelak ketika Kowaas menggambarkan anekdot awak Dewaruci.
“Pendeknja, lautan penuh dengan segala pergumulan dan perdjuangan,” demikian Kowaas mengungkapkan gambaran pelayaran itu pada pengantar bukunya. “Pergumulan dan perdjuangan jang penuh dinamika, dialektika dan romantiknja penghidupan. Penuh keuletan, kedjantanan dan keindahan.”
Setelah berangkat dari Jakarta, Dewarutji menyinggahi Sabang dan kota-kota pelabuhan di seantero jagad. Si angsa betina ini mengarungi Samudra Indonesia, Laut Merah, Terusan Suez, Laut Tengah, Laut Adriatic, samudra Atlantik, Laut Karibia, Terusan Panama, dan Samudra Pasifik. Dewarutji juga menyinggahi sederet kota pelabuhan: Colombo, Djibouti, Port Said, Split, Casablanca, Bermuda, New York, Annapolis, Norflok, Panama, Acapulco, San Diego, Pearl Harbor, Midway, dan kembali pelukan Pertiwi lewat Sukarnapura di Papua.
Menerjang badai
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR