Layar Dewaruci terkembang di Teluk Aden, melaju menuju Djibouti. Namun, tiba-tiba datang topan menghantam kapal sehingga posisinya miring hingga 25 derajat. Alarm menyalak!
“Sementara itu Dewarutji meluntjur seperti anak panah, seluruh lajarnja melembung kentjang, meluntjur sangat miring, semakin miring dan terus miring, sehingga geladak mendjadi sangat tjuram,” Kowaas menggambarkan suasana kapal yang kalut. “... Hampir seluruh anggauta sibuk membantu. Tali temali nampak berserakan seperti benang kusut. Wadjah2 jang putjat pasi.”
Bersiul menjadi perkara tabu sepanjang pelayaran. Bagi pelaut yang meyakininya, bersiul akan memanggil topan dan gelombang.
Seorang sersan mayor dua, yang berusaha menggulung layar, melayang terbawa layar hingga ke arah lambung kiri. Lelaki itu “melintasi tepat di depanku, lalu aku menjambar perutnja, terbawa kedekat tjerobong asap dari dapur jang mendjulang agak tinggi, dan keduanja aku peluk erat2,” catat Kowaas.
Peristiwa badai selama tiga menit, yang nyaris menggulingkan Dewaruci, berhasil diabadikan Sersan Mayor Dua Umboh dengan kamera fotonya, dan menjadi salah satu ilustrasi buku tadi. Setelah itu kapal melaju menuju pesisir Djibouti, Afrika timur.
Bersiul menjadi perkara tabu sepanjang pelayaran. Bagi pelaut yang meyakininya, bersiul akan memanggil topan dan gelombang. Badai memang singgah silih berganti. Kala badai menghantam kapal, barang-barang yangtidak diikat dengan sempurna akan jatuh berantakan. “Beberapa orang jang sedang enak2 mendengkur dibuai alun di langit ketudjuh,” lanjut Kowaas, “tiba2 terbangun dari mimpi dilantai jang lembab bertjampur muntah...”
Siapakah pelaut sejati si empu Dewaruci?
Selepas badai hebat mengempas kapal di Laut Mediterania, dekat Yunani, patung Dewaruci yang berada di cocor depan telah hilang. Apakah Dewaruci diculik dewa-dewa Yunani? Sebagian awaknya, termasuk Kowaas, menganggap pertanda akan datangnya petaka. Namun, dia berupaya meneguhkan hatinya sendiri karena toh patung itu buatan manusia juga.
Ketika Dewaruci hendak menuju Yugoslavia di tepian Laut Adriatik, Letnan Kolonel Albert Frederick Hermann Rosenow menengok keadaan kapal layar itu. Rosenow merupakan komandan pertama Dewaruci, yang berdinas pada 1953 – 1954.
Kowaas bercerita tentang betapa erat hubungan batin antara Rosenow dan Dewaruci. Di suatu tengah malam pada 1953, upacara pemasangan patung Dewaruci digelar di galangan kapal H.C. Stülcken Sohn, Hamburg, Jerman Barat. Rosenow berdoa sambil melukai jarinya sendiri hingga meneteskan darah. Peristiwa itu diulanginya lagi saat upacara pemberangkatan ekspedisi Dewaruci di Jakarta, ungkapnya. “...Pak Roes sangat mentjintai Dewarutji sedemikian rupa sehingga timbul pemeo dikalangan ‘pelaut2’ ALRI,” demikian Kowaas mengungkapkan kenangan, “bahwa Pak Roes adalah ‘Jang Empunja Dewarutji’.”
Mereka memiliki band bernama “Tamtama Merana” yang kerap pentas latihan di geladak. Lirik sajak atau lagu yang dinyanyikan pun temanya tak jauh dari kemeranaan.
Sejatinya, Rosenow merupakan perwira Jerman yang telah berkewarganegaraan Indonesia. Setelah berdinas di ALRI, dia menjadi Syahbandar Pelabuhan Tanjungpriok. Atas wasiatnya, abu jenazah Rosenow ditebar di Teluk Jakarta pada 1966.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR