Kemudian Kowaas juga menambahkan, “Bagaimana dengan kita?” Menurutnya, orang-orang Indonesia bukan pemalas, bukan pula bodoh. “Mungkin dalam pembawaan. Kita terlalu dibiasakan lambat2, alon2, jang hati2, jang halus, biar lambat asal selamaaat...”
Lambaian semesta
Ketika Dewaruci singgah di Port Said, Mesir, ternyata nama Presiden Sukarno telah dikenal hingga para pedagang kelilingnya—mungkin sebagai siasat jitu berdagang. Kowaas mengungkapkan bahwa pemerintah dan rakyat Mesir telah membantu perjuangan Indonesia saat merebut Irian Barat, kini Papua. Setiap kapal Belanda yang hendak ke Irian Barat dilarang untuk melewati Terusan Suez. Buruh pelabuhan pun turut mogok.
Jurnalis dari satu-satunya surat kabar yang terbit di Bermuda, The Royal Gazette, menulis kesannya selama kunjungan Dewaruci ke Pelabuhan Hamilton. Kowaas mengutip paragraf pembukanya, yang mengungkapkan bahwa Dewaruci akan berada di tempat yang istimewa di sanubari rakyat Bermuda yang terkesan dengan keramah-tamahan awak kapal selama mereka berada di sini.
Itu bukan kabar dusta. Kowaas juga menceritakan bahwa empat kadet Dewaruci diangkat anak oleh keluarga Outerbridge. Bahkan, seorang kadet yang menjadi maskot Dewaruci dilamar secara terang-terangan oleh seorang pemudi Bermuda.
Nenek itu berseru takjub kepada sang jurnalis, “My goodness, they walk like God!”
Di Broadway, New York, parade kadet Dewaruci mendapat sambutan di luar dugaan. Kowaas menceritakan, “Pita2 jang seperti ular2 dilemparkan dari gedung2 bertingkat dikanan-kiri djalan, kertas-kertas mengkilat aneka warna berbentuk bulat2 ketjil jang berdjatuhan seperti sedjuta bintang jang sedang gugur dari langit...”
Baca juga: Tempat Tinggal Suku Bajau Si Penjelajah Air yang Tangguh
Banyak warga yang menonton parade bertanya dari mana asal Dewaruci. Pertanyaan itu menjadi perkara yang membuat geram Kowaas. Bagaimana tidak, pada masa itu, ternyata tak semua warga New York mengetahui bendera Indonesia. Namun, Kowaas juga bangga atas laporan dari seorang jurnalis Indonesia tentang komentar seorang nenek yang menyaksikan parade awak Dewaruci di pinggir jalan. Nenek itu berseru takjub kepada sang jurnalis, “My goodness, they walk like God!”—Ya ampun, mereka berjalan laksana Dewa!
Kembali ke pangkuan Pertiwi
Dewaruci kembali ke Jakarta pada 18 Oktober 1964. Bendera Merah-Putih yang telah tercabik-cabik badai angin laut itu ditunjukkan kepada Bung Karno dan semua yang hadir. Dalam sambutan dalam penerbitan buku karya Kowaas, Bung Karno menuliskan ungkapannya yang meledak-ledak, “Prestasi Dewa Rutji ini adalah prestasinja ALRI kita, dan ini hanja mungkin karena ia didjiwai oleh patriotisme dan heroisme jang bersumber kepada Amanat Penderitaan Rakjat kita kepada Amanat Keluhuran nenek-mojang kita.”
Roni Sontani, kawan saya yang juga seorang jurnalis majalah Angkasa, berkesempatan berjumpa Kowaas di Kelapa Gading pada 2011. Kowaas menuturkan kepadanya bahwa segala foto dan catatannya tentang pelayaran Dewaruci telah musnah digulung banjir besar yang mendera kediamannya di Cilincing pada akhir 1980-an. Selepas pensiun dengan pangkat letnan kolonel pada 1988, Kowaas melanjutkan hidupnya di Minahasa, Sulawesi Utara.
Kini, sang angsa betina itu telah menua dan bukan lagi “seorang gadis djelita jang sedang berdjemur diatas pelampung, megah dan angkuh”. Kapal layar ini telah bermuhibah mengelilingi dunia sebanyak dua kali, dan kini berstatus purna tugas. Pada akhir 2016 silam, Menteri Pertahanan meluncurkan kapal pengganti KRI Dewaruci yang bernama KRI Bima Sakti di Galangan Kapal Freire, Spanyol. Kelak, pada pertengahan 2017, kapal layar tipe barque itu telah berada di Indonesia. Kabarnya, Dewaruci akan menikmati hari-hari pensiunnya di dermaga kompleks Komando Armada RI Kawasan Timur di Surabaya.
Kita sungguh bangga dengan jargon bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut ulung yang tak gentar meski badai menghajar. Adrian Horridge, pakar perahu Nusantara dan guru besar emiritus Australian National University, pernah memberikan pemaparan betapa beragamnya perahu yang dimiliki suku-suku pesisir di Indonesia. Dalam bukunya berjudul The Prahu: Traditional Sailingboat of Indonesia, Adrian juga mengendus tergesernya kearifan lokal terkait teknologi perahu yang digantikan oleh teknologi dari luar yang dianggap lebih praktis.
Kita pun sepatutnya mengakui bahwa perkembangan budaya maritim kita belum didukung oleh perkembangan teknologi pembuatan kapal yang mumpuni. Saya sungguh meyakini bahwa semangat bahari telah merasuki sanubari para pelaut kita. Namun, tampaknya kita sebatas mewarisi semangat keberanian melaut dari nenek moyang. Apakah kita yang khilaf, ataukah nenek moyang kita yang terlupa untuk mewariskan teknologi pembuatan kapal kepada kita?
Boleh jadi, benar apa yang pernah Adrian ungkapkan, “Amat jelas terlihat bahwa kebanyakan orang Indonesia telah khilaf tentang keberagaman kebudayaan bahari mereka sendiri.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR