Pelaut galau
Pelaut juga manusia. Kadangkala, para pelaut Dewarutji yang tampak gagah itu memiliki perasaan yang sungguh melankolis—atau justru galau yang jenaka. Mereka memiliki band bernama “Tamtama Merana” yang kerap pentas latihan di geladak. Lirik sajak atau lagu yang dinyanyikan pun temanya tak jauh dari kemeranaan. Seperti lagu kegemaran mereka selepas singgah di Yugoslavia, Buona Notte. Saya terhasut untuk mencarinya di kanal Youtube. Lagunya begitu lembut, halus, dan menimbulkan rasa rawan—rindu bercampur sedih. Perkara lagu ini Kowaas berkilah, “Bukan karena kami senang kepada lagu2 sedih dan sebangsanja tapi selalu ber-teriak2 dengan lagu2 mars djuga terasa tidak ‘berseni’.”
Baca juga: Penjelajah Temukan Jalur Misterius di Dasar Great Blue Hole Belize
Kegalauan itu hinggap juga di hati mereka, termasuk Kowaas. Belum ada separuh perjalanan, dia mulai risau. “Sanggupkah aku bertahan lebih lama lagi? Kalau kami gagal, bagaimana keluarga jang ditinggal?”
Hampir tiga bulan para awak meninggalkan keluarganya, mereka belum mendapatkan kabar dari keluarga mereka. Padahal di setiap pelabuhan yang disinggahi, para awak Dewaruci senantiasa melayangkan surat ke rumah mereka. “Lalu mulai kuhitung2 hari2 jang telah kami lewati sedjak meninggalkan keluarga [...] Mengapa mereka malas menulis kemari? Bukankah alamat jang djelas sudah kutinggalkan sebelum kami berangkat? [...] Kelambatan poskah?” tulis Kowaas ketika berada di kota pesisir Trogir, Yugoslavia. “Oh betapa hati ini rindu berada ditengah2 keluarga. Betapa hati ini merindukan belaian kasih penuh kemesrahan.”
Penantian pun berakhir. Pada suatu hari, surat dari keluarga mereka akhirnya tiba juga. Kowaas melukiskan suasana awak kapal dengan kata-katanya, “Seluruh kapal Dewarutji bergontjang!” Dia melanjutkan berkisah, “Digeladak atas, dikamar, diruang bawah, digang2 sepandjang kapal terdengar tawa histeris dari seluruh anak buah, tua muda bersorak menggenggam sebuah amplop jang belum dibukanya.”
Saat membuka surat pun menjadi peristiwa yang sungguh mendebarkan layaknya membuka surat lamaran waktu mereka mulai berkenalan dahulu, ungkap Kowaas. Hati pun meluap-luap. Namun, dia menuturkan, setelah membaca surat ternyata isinya biasa-biasa saja: kabar sehat, kelahiran putra, atau sekadar minta oleh-oleh.
Berani mengakui kekurangan diri sendiri
Selera humor Kowaas terperi dalam tulisannya. Dia pun dengan jenaka dan tanpa malu membandingkan kesamaan warna seragam pengemudi bus di Mesir dengan seragam pelaut ALRI. “Uniform sopirnya berwarna biru-tua dengan pet biru-tua pula. Bila berdiri berdekatan orang bisa keliru menjangka dia anggota ALRI,” tulisnya. “Sama2 berpakaian navy-blue, hanja nampaknja kepunjaannja lebih gagah djahitannja dan mentereng...”
Kowas memberikan perbandingan sekaligus sindiran tentang kinerja galangan kapal Tanah Air kita.
Ketika di galangan kapal J.L Mosor di Trogir, Kowas memberikan perbandingan sekaligus sindiran tentang kinerja galangan kapal Tanah Air kita. Sejatinya, luas kompleks galangan di Trogir hanya sepertiga galangan Penataran Angkatan Laut (PAL) di Surabaya. Buruhnya pun hanya 15.000, sementara buruh PAL berpuluh-puluh ribu, ungkap Kowas. Hebatnya lagi, galangan di Trogir mampu menyelesaikan beberapa kapal sekaligus.
“Dan kami masih terkenang akan kesanggupan PAL jang mempunjai fasilitas sekian besar dengan buruh ber-puluh2 ribu,” tulisnya, “tapi dengan hasil jang relatip nil.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR