"Ini akan melepaskan gas dari magma yang sebanding dengan mengocok botol soda, menghasilkan tekanan dan daya apung tambahan, cukup untuk memecahkan batu di atas magma."
Menurut data dalam laporan studi terbaru yang telah terbit di jurnal Scientific Reports itu, Mauna Loa sudah berada di bawah beban topografi yang "cukup berat". Intrusi magma lebih lanjut akan meningkatkan kemungkinan gempa bumi dan letusan.
Bahkan, intrusi magma lebih lanjut pun tidak diperlukan lagi untuk memicu hal tersebut. Kurangnya pergerakan baru-baru ini di bawah sayap barat gunung berapi tersebut membuat para peneliti berpikir di sinilah gempa mungkin akan terjadi.
Baca Juga: Studi Terbaru: Longsoran Anak Krakatau pada 2018 Mampu Mengubur London
Letusan-letusan terakhir gunung berapi tersebut menekankan betapa pentingnya peringatan dini. Pada tahun 1950, lahar dari letusan Mauna Loa mencapai pantai hanya dalam tiga jam. Letusan tahun 1950 dan letusan besar lainnya pada tahun 1984 sama-sama didahului oleh gempa bumi besar.
Memprediksi waktu letusan adalah tugas yang sangat kompleks, dengan banyak variabel dan perkiraan yang perlu dimasukkan. Namun begitu, strategi pemetaan magma yang cermat seperti yang ada dalam studi terbaru ini dapat memberikan data yang tak ternilai untuk pemodelan masa depan.
"Ini masalah yang menarik," kata Amelung.
"Kami dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa tubuh magma berubah selama enam tahun terakhir. Kami akan terus mengamati dan ini pada akhirnya akan menghasilkan model yang lebih baik untuk meramalkan lokasi letusan berikutnya."
Baca Juga: Erupsi Gunung Kilauea Ciptakan Api Biru di Sekitar Aliran Lava