Lorong Gaza, Simbol Kecerdikan dan Impian Kebebasan Palestina

By National Geographic Indonesia, Senin, 31 Mei 2021 | 21:00 WIB
Seorang pekerja keluar dari salah satu di antara ratusan terowongan penyelundupan yang menghubungkan Jalur Gaza dan Mesir. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Sepertinya semua orang mengalami luka atau gangguan kesehatan. Yussef mengidap pe nyakit pernapasan kronis. Tungkai Khamis patah akibat terowongan runtuh. Rekan kerja mereka Suhail menyingkapkan kemejanya untuk menunjukkan parutan bekas luka di sepanjang tulang punggungnya. Sebuah cenderamata per-manen yang mengingatkan akan langit-langit yang rendah.

Di Jalur Gaza, kini status pahlawan tidak lagi melulu milik orang seperti Yasser Arafat dan Ahmed Yassin. Mereka adalah para almarhum pemimpin Fatah dan Gerakan Perlawanan Islam, yang lebih dikenal dengan Hamas. Atau, milik warga Palestina yang tewas dalam pertempuran yang mengguncang selarik tanah sejak 63 tahun yang lalu. Kini para korban te-rowongan seperti Yussef pun—berusia 28 tahun saat meninggal—dihormati.

MAHASISWA GAZAINI bekerja di terowongan, mengangkut barang demi uang untuk biaya kuliah. Banyak pekerja bekarja 12 jam, enam hari seminggu—atau lebih—di ruangan sempit. Ledakan gas, sengatan listrik, dan serangan udara Israel lumrah terjadi. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

“Semua orang menyayanginya,” kata Samir. Dia “sangat baik.” Di dinding kamar jenazah dadakan itu tergantung beberapa poster ber-tuliskan ayat Quran sebagai ungkapan bela-sungkawa dari pengelola sekolah dasar tempat Yussef menimba ilmu. Juga, dari fungsionaris lawan politik setempat: Fatah, partai yang pernah berkuasa, serta Hamas, kelompok militan yang kini berkuasa di Jalur Gaza. Dunia bawah tanah Rafah bukanlah barang baru. Sejak 1982, sudah ada terowongan pe-nyelundupan di sini, ketika kota dibagi dua setelah berlangsungnya Perjanjian Damai Mesir-Israel pada 1979.

Perjanjian itu mengakibatkan separuh kota berada di wilayah Gaza dan sebagian lagi di Mesir. Saat itu, lubang sumur digali di ruang bawah tanah rumah. Militer Israel, yang mengetahui terowongan itu digunakan untuk menyelundupkan senjata, mulai meng-hancurkan rumah yang di dalamnya ada jalan masuk ke terowongan. Begitu juga orang Palestina yang ingin menjaga agar ekonomi terowongan tetap mereka kendalikan. Ketika tindakan tersebut tidak berhasil mengakhiri penyelundupan, Israel lalu memperluas aksi penghancuran tersebut. Israel membuat zona penyangga antara perbatasan dan kota. Menurut Human Rights Watch, sekitar 1.700 rumah dihancurkan pada 2000-2004.

Masyarakat Israel mulai memperhatikan terowongan Gaza pada 2006. Saat itu, se-kelompok militan yang berafiliasi dengan Hamas muncul di Israel di dekat perbatasan dan menculik Kopral Gilad Shalit. Shalit merupakan perwujudan perang tanpa henti, wajahnya terpampang di papan iklan pinggir jalan, mirip poster kepahlawanan yang menghiasi banyak dinding di Jabalia dan kamp lain. (Akhirnya dia dibebaskan dalam program pertukaran tahanan pada musim gugur 2011.)

Setelah memenangi pemilu pada 2006, Hamas terlibat perang saudara berdarah dengan Fatah. Perseteruan itu dimenangi Hamas pada tahun berikutnya dan mengendalikan Jalur Gaza. Lalu, Israel memberlakukan pemblokadean ekonomi yang kian lama kian mengetat. Pem-blokadean itu menutup pelabuhan masuk dan melarang impor hampir semua komoditas yang memungkinkan masyarakat Gaza hidup di atas garis kehidupan layak. Mesir pun bekerja sama.

PETI BERISI MINYAK GORENG dari Mesir—bahan pokok warga Gaza—ditumpuk di jalan tersembunyi dalam terowongan di Rafah. Bahan bangunan seperti semen, besi beton, dan kerikil merupakan barang impor terbanyak yang didatangkan melalui terowongan. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Sejak tergulingnya Hosni Mubarak pada awal 2011, para pejabat Mesir mengungkapkan penyesalan mereka karena telah bekerja sama dengan Isrel. Mesir membuka kembali penyeberangan perbatasan kecil Rafah, walau-pun masih melarang sebagian penduduk Gaza lewat memasuki kawasan mereka. Presiden barunya, Mohamed Morsi, yang tidak ingin berhubungan erat dengan Hamas, belum menyatakan akan membantu Gaza seperti yang diharapkan oleh sebagian besar penduduk Gaza.

Setelah Israel memberlakukan pemblokadean, penyelundupan menjadi pilihan Gaza. Melalui banyak terowongan di bawah Rafah masuk-lah segala macam barang. Mulai dari bahan bangunan dan makanan sampai obat-obatan dan pakaian. Lalu, dari bahan bakar dan komputer hingga ternak dan mobil. Hamas me-nyelundupkan senjata. Sejumlah terowongan-baru dibangun dalam hitungan hari—tepatnya dalam hitungan jam—dan kekayaan baru pun mengalir masuk. Banyak keluarga menjual harta mereka untuk turut memilikinya.

Saat kegiatan itu mencapai puncaknya, sekitar 15.000 orang bekerja keras di dalam dan di se-kitar terowongan. Terowongan menyediakan lapangan kerja pendukung untuk ribuan orang lagi, mulai insinyur dan sopir truk hingga pe-milik toko. Kini ekonomi bawah tanah Gaza me nangani dua pertiga barang konsumen, dan terowongan begitu lumrahnya sampai-sampai Rafah menampilkannya dalam brosur resmi.

APARTEMEN GAZA CITY menjulang di balik gerbang rusak restoran tepi pantai. Pantai ini pernah dipadati perahu nelayan dan kafe. Namun, pemblokadean oleh angkatan laut Israel, air got, dan kurangnya sumber daya untuk membangun kembali telah menampakkan akibatnya (Paolo Pellegrin/National Geographic)

“Kami tidak memilih untuk menggunakan terowongan,” kata seorang insinyur pemerintah. “Tetapi, terlalu sulit bagi kami untuk berdiam diri saat dikepung sambil dibayang-bayangi perang dan kemiskinan.” Bagi banyak warga Gaza, meskipun mematikan, terowongan itu melambangkan keadaan yang lebih baik: ke-cerdikan alami mereka, kenangan dan impian kebebasan, dan mungkin perasaan bahwa mereka memegang kendali atas tanah tersebut.

Wilayah Gaza sudah lama diperebutkan—dan dilubangi—sejak sebelum Israel mengambil alih kekuasaan dari Mesir pada 1967. Pada 1457 SM, Firaun Thutmose III merebut Gaza ketika menumpas pemberontakan Kanaan. Thutmose diikuti oleh orang Ibrani, Filistin, Persia, Alexander Agung, Romawi, Byzantium, Arab, Tatar, Mamluk, dan Ottoman.

Setelah itu, datanglah Napoleon, Inggris, Mesir lagi, dan Israel. Meskipun demikian, hingga kini terus berlangsung perdebatan tentang apakah Gaza dianggap sebagai bagian dari tanah yang dijanjikan untuk kaum Yahudi oleh Tuhan seperti yang disebutkan Alkitab. Inilah sebagian alasan mengapa Israel yang selalu ingin memperluas wilayahnya lebih memusatkan perhatiannya ke Tepi Barat, bukan ke Gaza. Permukiman Israel terakhir di Gaza dikosongkan pada 2005.

Namun, Gaza adalah jantung perlawanan Palestina. Tempat itu menjadi tempat peluncuran pengerahan massa, yang kini sudah mencapai dasawarsa ketiga. Di situlah terjadi penculikan, bom bunuh diri, dan serangan roket serta mortir terhadap Israel oleh kaum militan Gaza. Sebagian besar tindakan ini direstui oleh Hamas, bahkan mungkin mereka lakukan sendiri.

DI PASAR MINGGU RAFAH YANG RAMAI, para pedagang menjual segala macam barang, mulai dari air sirop dan sayur-mayur hingga harum manis. Banyak barang didatangkan dari Mesir lewat terowongan, tetapi stroberi ranum itu ditanam sendiri oleh penduduk setempat. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Terowongan menyediakan aneka bahan yang digunakan dalam berbagai proyek pekerjaan umum pemerintah. Hamas juga memungut pajak atas semua barang yang masuk melalui terowongan itu, menghentikan operator yang tidak membayar pajak. Pemasukan dari te ro-wongan diperkirakan memberikan ke untungan Rp7 triliun per tahun kepada Hamas. Hamas juga menyelundupkan uang tunai yang berasal dari para pe mimpin dan tokoh pelindung dalam pe ngasingan di Suriah, Iran, dan Qatar agar te-rowongan dapat tetap beroperasi.

Samir bercerita, para pemimpin Hamas dan pejabat yang berbisnis dengan operator te ro-wongan itu melindungi mereka dari hukuman saat ada pekerja mereka yang tewas sia-sia. Dia yakin bahwa korupsi dan suap sudah merajalela.

Pada 2010, setelah pasukan angkatan laut Israel menyerang armada bantuan Turki di kawasan lepas pantai perairan Gaza, Israel me-nyatakan bahwa pihaknya telah melonggarkan pemblokadean. Tetapi, hingga kini hanya ada satu titik akses yang tidak memadai untuk lalu lintas barang, padahal di Tepi Barat titik akses ini lebih banyak. Israel membuat keadaan sa-ngat sulit dan mahal bagi Badan Bantuan PBB (UN Relief and Works Agency) dan berbagai lembaga donor lainnya. Padahal, bantuan itu merupakan sumber kehidupan bagi ribuan dari 1,6 juta penduduk Gaza. Israel juga mem-batasi impor bahan dasar bagi berbagai proyek pembangunan kembali.

Menurut petugas bea cukai Gaza yang saya tanyai, pada musim semi 2011, impor berada pada titik terendah sejak pemblokadean dimulai. Barang yang berhasil masuk pun, katanya, biasa-nya berkualitas buruk: pakaian dan peralatan bekas, junk food, sisa-sisa hasil bumi. Mustahil bisa “memenuhi kebutuhan pokok”, katanya. Dia bersikeras, hesar, istilah bahasa Gaza untuk pengepungan, telah melumpuhkan mereka. Bahkan, beberapa pendukung Israel paling setia pun sependapat. Perdana Menteri Inggris David Cameron menyesali bahwa akibat berada di bawah pemblokiran, Gaza jadi mirip sebuah “kamp penjara.”

WARGA GAZA MEMASANG GEROBAK KELEDAI untuk mengumpulkan gundukan puing peninggalan OperationCast Lead pada 2008-2009, pengerahan pasukan di Gaza yang diluncurkan Israel. Puing-puing ini didaur ulang menjadi kerikil untuk bangunan baru. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

saya dan fotografer paolo pellegrin be-berapa kali mendatangi sejumlah terowongan Rafah. Perjalanan dengan kendaraan dari Gaza City, satu jam ke utara, menyajikan “tamasya” yang memilukan. Kepiluan pascaperang saudara dan serangan Israel yang terakhir ke Jalur Gaza—Operation Cast Lead pada 2008-2009—kentara di mana-mana.

Sambil berkendara ke selatan, kami melewati bekas tempat kediaman Arafat yang dihantam bom dan diseraki kendaraan berkarat. Lalu, kami menyusuri garis pantai. Dulu pantai itu salah satu pantai tercantik di Mediterania, te-tapi kini ditempati bangkai kafe tepi pantai dan kolam renang berbau busuk.