Lorong Gaza, Simbol Kecerdikan dan Impian Kebebasan Palestina

By National Geographic Indonesia, Senin, 31 Mei 2021 | 21:00 WIB
Seorang pekerja keluar dari salah satu di antara ratusan terowongan penyelundupan yang menghubungkan Jalur Gaza dan Mesir. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Setelah berhari-hari menjelajahi sejumlah kantor, kami kembali ke koridor terowongan. Tersiar kabar bahwa seorang wartawan Amerika sedang melakukan penyelidikan, dan bahkan dengan dikawal resmi pun banyak operator menolak kami. Tetapi, beberapa menyambut ke-datangan kami dengan hangat.Yang paling ter-buka adalah Abu Jamil, kakek beruban sekaligus mukhtar (pejabat daerah) tidak resmi koridor Philadelphi. Abu Jamil disebut-sebut sebagai orang pertama yang membuka terowongan 24 jam. Dengan cepat terowongan itu menarik begitu banyak bisnis sehingga tidak terlayani oleh satu sumur, jadi dia menggali parit besar untuk memuat dan membongkar barang. Abu Jamil membuka beberapa terowongan lagi, dan anak lelaki, cucu, kemenakan, dan se pupunya bekerja untuknya.

Tepat pada saat itu seorang pria memasuki tenda dan membisikkan sesuatu ke salah seorang mitra. Dia bukan menginginkan sarden—dia ingin diselundupkan ke Mesir. Ini permintaan yang lumrah. Sejumlah penduduk Gaza pergi ke Rafah di bagian Mesir melalui terowongan untuk berobat. Lainnya, menggunakan terowongan untuk melarikan diri, atau untuk bersenang-senang semalam suntuk. Saya dengar bahkan ada terowongan VIP untuk para pelawat kaya, dilengkapi penyejuk udara dan ponsel.

ANGGOTA KELOMPOK MILITAN Islamic Jihad berpatroli di perbatasan untuk mencegah serangan Pasukan Pertahanan Israel. Sedikitnya lapangan kerja menyebabkan para pemuda yang tidak puas itu tertarik menjadi anggota kelompok ekstremis. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Saat kedua orang itu tawar-menawar, ter-dengar teriakan di luar tenda. Saya bergegas ke luar dan melihat seorang pekerja terowongan nyaris meninju Paolo. Orang itu berteriak tidak ingin dipotret. Setiap kali ada wartawan datang, teriaknya, pasti ada terowongan dibom. Dengan nada keras, dia ingin kami meyakinkannya bahwa kami bukan mata-mata. Saat Ayman berusaha membujuk si operator terowongan agar mau berbicara dengan saya, kata “Mossad” sering diucapkan. Mereka beranggapan bahwa jika Paolo dan saya bukan CIA, kami pasti dari badan mata-mata Israel.

Paranoia pekerja terowongan dapat di-pahami, mengingat pengintaian Israel terhadap Gaza tiada henti, diperkuat oleh dengungan mesin pesawat tanpa awak yang terdengar dari atas. Baru-baru ini saja, pasukan Israel memasuki zona terowongan. Beberapa, seperti yang diberitakan pers Israel, tewas akibat ledakan bom—jebakan yang dipasang oleh pihak Palestina.

Walaupun pengangguran mewabah—tingkat pengangguran di Gaza lebih dari 30 persen—Jalur Gaza dipenuhi calon wirausahawan. Di pantai utara Gaza City, di samping sejumlah kafe yang dibom, peternakan ikan dibangun. Di atap bangunan yang digerogoti peluru senjata mesin, kebun sayuran hidroponik ditanam. Di Rafah, sebelah barat terowongan, tampak pabrik pengolah rumput laut yang sekarang sudah beroperasi, kolamnya dipagari tiang beton yang diambil dari dinding perbatasan.

DI PESTA PERNIKAHAN BADUI di Al Maslakh, desa di selatan Gaza City, gadis penebar bunga, Hassna Abu Wakid (12 tahun) memasuki iring-iringan menuju ke rumah mempelai pria. Pernikahan masih merupakan pesta umum yang bisa berlangsung tiga hari. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Di samping terowongan, ada ekonomi lain yang lahir dari kehancuran. PBB mem-perkirakan Operation Cast Lead menciptakan lebih dari setengah juta ton puing, yang menjadi mata uang tersendiri. Benda itu ada di mana-mana. Para pengumpul puing biasanya kelompok anak-anak yang membawa martil dan palu, memecahkan bongkahan, menyaringnya, memuatnya ke gerobak keledai. Lalu mereka membawanya ke salah satu dari banyak pabrik blok beton. Beginilah cara masyarakat Gaza membangun kembali, tanpa bisa mengimpor bahan bangunan secara legal. Seorang ahli ekonomi pemerintah pernah berkata kepada saya bahwa berkat puing-puing itulah angka pengangguran di Gaza turun sebesar enam persen pada 2010.

Masyarakat Gaza masih berharap bahwa Kebangkitan Dunia Arab dapat mengubah kondisi mereka, walaupun sampai sekarang belum. Ada pembicaraan untuk membuka perbatasan dengan Mesir, tetapi kapan hal itu terlaksana, atau apakah memang akan terjadi, masih belum jelas.

Ekonomi kehancuran menimbulkan per-ubahan yang mungkin membuat Thutmose III gembira: Pada suatu malam, saya dan Paolo menghadiri pesta pernikahan di sebuah lubang bom. Ekonomi kehancuran juga ber-dampak buruk: Menurut wawancara dalam laporan International Crisis Group, “beberapa roket diluncurkan oleh para militan muda. Mereka disewa oleh saudagar setempat, yang ke untungannya bisa berkurang jika penutupan oleh Israel dikendurkan.” Sungguh mengerikan untuk dipercaya, tetapi para militan yang saya temui memikirkan peluang wirausaha dengan cara yang lebih damai.

PEMBLOKADEAN OLEH ANGKATAN LAUT Israel untuk menghentikan penyelundupan senjata dan barang lain ke Jalur Gaza juga membatasi masyarakat Gaza dalam radius tiga mil laut dari pantai. (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Setelah kembali ke Jabalia, saya menanyakan masa depan Samir. “Saya tidak mungkin kembali bekerja di terowongan,” katanya. Saya tanyakan apa yang akan dia kerjakan sebagai penggantinya, dan dia melambaikan tangan ke ruangan tempat kami duduk. Ternyata, Yussef sang kakak telah menandatangani kontrak untuk menyewa tempat ini. Saat tidak bekerja di terowongan, Samir menjelaskan, Yussef belajar menjadi peternak lebah. Dia berencana membuka toko madu di sini. Samir ingin meneruskan usaha Yussef.

Terakhir kali saya mendapat kabar dari Samir, pada bulan September, toko sudah dibuka. Ketika Yussef tewas, istrinya sudah tiga bulan mengandung anak pertama mereka. Tak lama kemudian, dia keguguran. Wanita itu sekarang istri adik bungsu Yussef, Khaled, yang mengelola toko madu itu bersama Samir. Mereka memasang foto Yussef di dinding.