Sigit Aris Prasetyo, Penulis Buku Bung Karno Dan Revolusi Mental, menceritakan hal menarik pada Kongres Amerika 1956 silam. Soekarno menjelaskan Pancasila dalam bahasa Inggris, yaitu Believe In God, Nasionalism, Humanity, Democracy dan Social Justice. Pada sila kedua, nasionalism, peserta kongres memberikan tepuk tangan yang lambat. Hal ini dikarenakan, Orang Amerika tidak membuat spell nasionalism. Nasionalism dianggap identik dengan communism.
Namun, dalam nasionalism Pancasila, terdapat jiwa gotong royong yang bisa menyatukan bangsa Indonesia. Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menekankan gotong royong adalah jiwa Indonesia.
“Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong ! "Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan", saudara-saudara!”
Namun kemudian, pertanyaan yang menusuk dan menyadarkan diri kembali hadir, yaitu apakah generasi muda memahami Pancasila? Apakah masih terasa getaran nasionalisme di dalam diri generasi muda? Atau mungkin se-simple ini, ingatkah kamu kelima butir Pancasila?
Seorang sejarawan senior Indonesia, Dr. dr. Rusdhy Hoesein, merasa miris melihat pergeseran nilai-nilai Pancasila pada generasi muda. Generasi muda kini mengalami kemunduran dalam memahami dan meresapi makna Pancasila. Pergeseran semakin terasa didukung oleh perkembangan teknologi.
Ketiga tokoh melalui diskusi daring, Rusdhy Hoesein, Sigit Aris Prasetyo, dan Bambang Eryudhawan mengajak generasi muda untuk bisa menjunjung kembali nilai Pancasila di diri setiap insan. Karena dengan Pancasila, Indonesia menjadi bangsa yang bangga.
"Ayo, kita bisa menjadi bangsa yang berisikan 5P seperti gagasan Soekarno, yaitu Pangan, Pakaian, Perumahan, Pergaulan, dan Pendidikan. Indonesia harus kaya akan pangan, memiliki pakaian dan rumah yang layak, pergaulan yang baik serta pendidikan yang mencerdaskan bangsa." Ajak Rusdhy Hoesein seraya menutup webinar malam itu.