Terbukti ketika ia ditangkap polisi Amerika Serikat setelah kedatangannya kedua ke sana, dari pers, buruh, mahasiswa, hingga tokoh nasionalis Filipina mendukungnya agar bebas. Ketika bebas, ia melanjutkan pelariannya ke Amoy (kini Xiamen) dan Shanghai.
Ia melanjutkan perjalanannya pada 1932 ke Hong Kong dan tinggal di Kowloon dengan nama palsu Ong Soong Lee. Tetapi di Hong Kong, Tan Malaka juga ditangkap kepolisian Inggris.
Masykur Arif Rahman menulis, bahwa penjajah seperti Inggris, Amerika, dan Belanda, sungguh takut kepada komunisme yang tumbuh di Asia. Keberadaan Tan Malaka sebagai komitern komunis di Asia membuatnya harus ditangkap demi mempertahankan koloninya.
Aktivitas Tan Malaka selanjutnya penuh dengan cerita penangkapan. Meski demikian, ia menuangkan pemikirannya lewat menulis dan membaca buku.
Baca Juga: Bagaimana Komunisme dan Sosialisme Menjadi Hal yang Berbeda?
Dalam Madilog, Tan menulis secara aktivitas singkatnya adalah mengajar dan bekerja serabutan demi mendapatkan uang untuk membeli buku. Ia sendiri mengakui dalam Dari Penjara ke Penajara, bahwa aktivitasnya dipenuhi dengan kesulitan dana.
"Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi," tulisnya.
Kisah perjuangan hidup Tan Malaka meski sempat diredupkan dalam narasi sejarah, ternyata terus menginspirasi pemikiran anak muda dalam pergulatan politik. Tak sedikit ketika saya menjumpai kelompok pergerakan anak muda kini mengutip dan menceritakan kisahnya.
Kisahnya yang abadi sesuai dengan sumpahnya di Penjara ke Penjara, “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”