Soe Tjen Marching: Pemerintah Harus Akui Pemerkosaan Tionghoa 1965

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 7 Juni 2021 | 10:00 WIB
Setelah peristiwa 30 September 1965, terjadi kekerasan kepada perempuan di Indonesia. Tanpa dasar hukum dan peradilan, mereka menanggung pelecehan seksual hingga penyiksaan berujung kematian. Kabar dusta yang diembuskan penguasa menjadi bagian takdir mereka sampai mati. (Ilustrasi)

 

"Kalau diskriminasi dibalas diskriminasi, ya kapan habisnya?"

Soe Tjen menaruh curiga dengan peristiwa pemerkosaan massal itu kepada pihak militer. Ia menganggap kejadian itu terjadi sistematis bukan dilakukan PKI.

Pemerkosaan pada peristiwa kerusuhan 1998 ini "jelas dilakukan oleh militer. Polisi ini seperti ada perintah dari atas agar tidak bergerak. Polanya kan begini, si pemerkosa ini seolah serentak lalu senyap. Ini seperti ada komando rasanya," paparnya.

"Masa pemerkosanya ratusan, masa enggak keungkap? Sejarah ini harus diungkap oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi. Ini sudah terjadi lagi pada 1998."

Secara politik, Soe Tjen mengakui kalau PKI ada salahnya, sebab semua partai tak lepas dari kesalahan. Tetapi, ia menyebut, jika partai itu benar-benar salah atas kejadian sejarah, pemerintah harus mengakui terlebih dahulu bila peristiwa pelanggaran HAM pada 1965 benar-benar terjadi.

Banyak yang menganggap pemerkosaan ini terjadi sebagai aksi pembalasan terhadap organisasi Gerwani. Berdasarkan narasi Orde Baru, Gerwani menjadi pelaku pembunuh para jenderal pada G30S, dengan memutiasi dan memotong alat kelamin mereka.

Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan

Mahasiswa dengan foto Sukarno yang dijarah dari sebuah toko komunis pada 1965. (Elisabeth Novina)

Soe Tjen mengelak cerita itu, lantaran dalam foto dan bukti museum itu sendiri memberikan gambar bagaimana kondisi mayat para jenderal. 

"Itu bohong. Coba cek sendiri di Museum di Lubang Buaya--yang didirikan sendiri oleh Orde Baru. Mayat-mayatnya para jenderal kan ada fotonya," tantangnya.

"Celana [para jenderal] masih dipakai. Masak mau mutilasi dipakaikan lagi? Masak orang mau repot-repot mengenakannya setelah dipotong? Okelah kalau mau dipakaikan lagi, tapi kan semestinya ada bercak darahnya pada celana mereka."

Ia juga mempertanyakan alasan di balik pemerkosaan ini bila pelakunya adalah Gerwani dan PKI. "Coba masuk akal enggak, dibunuhnya di Jakarta, kok yang diburu itu yang diplosok-plosok--yang bahkan belum ngerti kondisi di Jakarta seperti apa?"

Baca Juga: Bagaimana Komunisme dan Sosialisme Menjadi Hal yang Berbeda?