Nationalgeographic.co.id - 1998 menjadi tahun kelam bagi perempuan--khususnya etnis Tionghoa. Mereka mengalami pemerkosaan saat kondisi Indonesia sedang kacau-kacaunya menjelang Soeharto turun dari jabatan presidennya.
Berbagai bukti tersimpan oleh beberapa pegiat HAM dan anti kekerasan terhadap perempuan, walau mereka sendiri terancam untuk dibungkam, seperti Ita Martadinata Haryono.
Meski demikian, 1998 bukanlah kali pertama pemerkosaan terjadi, tetapi juga pada 1965 yang juga disertai genosida terbesar di masa damai abad ke-20. Hal itu diungkapkan oleh Soe Tjen Marching dalam webinar yang diadakan Suara Peranakan, Jumat (05/06/2021).
Sebelumnya, Soe Tjen melakukan penyelidikan kepada para penyintas pemerkosaan 1965. Kemudian membuatnya sebagai cerita lewat bukunya yang berjudul Dari Dalam Kubur.
Dalam webinar itu, ia mengungkap penelusuran kasus pemerkosaan 1965 adalah hal yang rumit. Lantaran, sebagian terjadi di ruangan tertutup, dan mengenangnya bagai mengingat rasa malu bagi beberapa penyintas. Ia juga membandingkan kerumitan itu dengan 1998.
"98 itu kan dapat bukti dari visum dokter. Kalau 65, jangan mimpilah dapat visum dokter, karena beberapa dari mereka malu [kalau ketahuan] jadi penyintas," ujarnya.
Baca Juga: Mengenang Ita Martadinata dalam Sajian Rujak Pare Sambal Kecombrang
Dari pemerkosaan yang terjadi para pempuan Tionghoa juga terlahir anak-anak. Namun untuk menelusuri pelaku dengan merunut DNA anak-anak hasil pemerkosaan itu, ia berpendapat akan sangat sulit.
Sebab peristiwa itu tak hanya mencoreng perempuan, tetapi juga etnis Tionghoa.
Rasa malu inilah yang membuat etnis Tionghoa berikutnya cenderung eksklusif, bahkan membuat pandangan diskriminasi tandingan. Diskriminasi tandingan itu ia kenang bagaimana orang tuanya menenangkan dirinya saat kecil ketika ia diejek "Cina!"
"Mama bilang, 'kamu jangan khawatir. Cina itu unggul, dan mereka [non-Tionghoa] itu cuma iri'. Dia cuma mau menghibur dengan mendiskriminasi kembali agar gampang, tak perlu repot kepada anak kecil seperti saya," kenangnya.
Baca Juga: Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan
"Kalau diskriminasi dibalas diskriminasi, ya kapan habisnya?"
Soe Tjen menaruh curiga dengan peristiwa pemerkosaan massal itu kepada pihak militer. Ia menganggap kejadian itu terjadi sistematis bukan dilakukan PKI.
Pemerkosaan pada peristiwa kerusuhan 1998 ini "jelas dilakukan oleh militer. Polisi ini seperti ada perintah dari atas agar tidak bergerak. Polanya kan begini, si pemerkosa ini seolah serentak lalu senyap. Ini seperti ada komando rasanya," paparnya.
"Masa pemerkosanya ratusan, masa enggak keungkap? Sejarah ini harus diungkap oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi. Ini sudah terjadi lagi pada 1998."
Secara politik, Soe Tjen mengakui kalau PKI ada salahnya, sebab semua partai tak lepas dari kesalahan. Tetapi, ia menyebut, jika partai itu benar-benar salah atas kejadian sejarah, pemerintah harus mengakui terlebih dahulu bila peristiwa pelanggaran HAM pada 1965 benar-benar terjadi.
Banyak yang menganggap pemerkosaan ini terjadi sebagai aksi pembalasan terhadap organisasi Gerwani. Berdasarkan narasi Orde Baru, Gerwani menjadi pelaku pembunuh para jenderal pada G30S, dengan memutiasi dan memotong alat kelamin mereka.
Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan
Soe Tjen mengelak cerita itu, lantaran dalam foto dan bukti museum itu sendiri memberikan gambar bagaimana kondisi mayat para jenderal.
"Itu bohong. Coba cek sendiri di Museum di Lubang Buaya--yang didirikan sendiri oleh Orde Baru. Mayat-mayatnya para jenderal kan ada fotonya," tantangnya.
"Celana [para jenderal] masih dipakai. Masak mau mutilasi dipakaikan lagi? Masak orang mau repot-repot mengenakannya setelah dipotong? Okelah kalau mau dipakaikan lagi, tapi kan semestinya ada bercak darahnya pada celana mereka."
Ia juga mempertanyakan alasan di balik pemerkosaan ini bila pelakunya adalah Gerwani dan PKI. "Coba masuk akal enggak, dibunuhnya di Jakarta, kok yang diburu itu yang diplosok-plosok--yang bahkan belum ngerti kondisi di Jakarta seperti apa?"
Baca Juga: Bagaimana Komunisme dan Sosialisme Menjadi Hal yang Berbeda?