Nationalgeographic.co.id – “Saya hanya mempunyai satu keinginan sebelum saya mati. Yaitu bertemu keluarga almarhum jenderal-jenderal itu. Saya mau menceritakan kepada mereka, saya bukan pembunuh jenderal apalagi penyayat-nyayat penis mereka,” ungkap Yanti.
Kesaksian itu terungkap dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 yang dihimpun oleh Ita F. Nadia, terbit pada 2007. Kisah ini dinukil dari buku tersebut.
Ketika ditangkap Yanti masih berusia 14 tahun, dan masih duduk di bangku SMP. Yanti lahir tahun 1951 di sebuah kampung di Jakarta Timur. Di luar sekolah Yanti tergabung dalam ormas Pemuda Rakyat di kampungnya. Yanti juga gemar menari, oleh karena itu Yanti mengikuti latihan tari yang diadakan organisasi.
Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
Pada suatu hari, Yanti dan teman-temannya mengikuti latihan sukarelawan di Kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latihan sukarelawan ini memiliki tujuan yaitu membentuk pasukan sukarelawan, untuk mendukung politik konfrimasi terhadap negara boneka Malaysia, sebagai proyek Nekolim Inggris-Amerika Serikat.
Di usia yang sangat muda, Yanti tidak mengerti soal politik. Ia hanya tahu dari orang yang dianggapnya lebih mengerti dan berpengalaman. Selama latihan Yanti tinggal di barak-barak bersama peserta latihan sukwan. Dari pagi sampai petang Yanti terus berlatih, tidak peduli dua atau tiga bulan latihan ini. Di sela-sela latihan yang keras dan disiplin, Yanti mendapat waktu untuk latihan nyanyi dan menari.
Namun, suasana tersebut berubah ketika pasukan tentara bersenjata serentak menggerebek barak-barak penginapan pada waktu pagi buta. Suara-suara dan tembakan gencar membabi buta dihambur-hamburkan ke langit. Suasana menjadi kalang kabut, dan Yanti ketakutan. Tentara tersebut membawa mereka semua untuk keluar dengan mengayun-ayunkan senjata ke kiri dan kanan untuk mencari sasaran tubuh-tubuhnya. Tak hanya itu, beberapa orang yang berjaga di pintu depan dan belakang barak, menghajar mereka semua dengan ditinju atau alat pemukul apa saja.
Baca Juga: Editorial Edisi Agustus 2020: Relik Suram Pascaperang Asia Timur Raya
“Setan! Perempuan-perempuan biadab!,” teriak tentara. “Kamu ya? Yang membunuh dan menyayat-nyayat jenderal-jenderal kami!?,” tambahnya.
Sambil berteriak-teriak tentara itu memukul sekujur tubuh mereka dengan membabi buta. Mereka digiring ke tanah lapang tempat biasa melakukan latihan sehari-hari. Ditempat ini, Yanti dan teman-temannya dipaksa untuk telanjang. Jika menolak, tangan tentara akan membuka paksa dengan membetot lepas dan merobek-robek busana mereka.
Selama dua hari, mereka dijemur tanpa makanan, minuman, dan sehelai pakaian. Siang malam hanya bisa duduk, berbaring, tiduran atau jatuh tertidur di lapangan.Tak peduli siang atau malam, serdadu penjaga mondar-mandir mengamati mereka. Tidak jarang, serdadu melecehkan semua perempuan di sana.
Pada hari ketiga, mereka dibagikan pakaian, lalu digiring ke dalam barak yang kosong. Mereka dikumpulkan dengan alasan pemeriksaan. Namun, alasan pemeriksaan hanyalah dalih belaka. Mereka akan dijadikan pelampiasan nafsu aniaya saja. Beraneka macam bentuk aniaya itu: menyelomoti payudara dengan api-rokok, membakar rambut kemaluan, dan perusakan organ seksual dengan leher botol, tongkat pemukul, laras senjata dan lain-lain.
Penulis | : | Celine Veronica |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR