Selidik Perayaan Menuju Keabadiaan di Mamasa, Sulawesi Barat

By Utomo Priyambodo, Selasa, 8 Juni 2021 | 10:00 WIB
Keluarga yang memakai bsuana adat sedang mengantar tamu menuju tempat upacara Rambu Solo' di permakaman Sombo, Rarreappalla. Setiap rombongan tamu akan dijemput dan diantar bersama iringan kerbau. (Yusuf Wahil/National Geographic Indonesia)

Terkait jumlah kerbau yang begitu banyak dikorbankan dalam Rambu Solo di Toraja, menurut Kees itu dipengaruhi oleh keinginan "mencari pengakuan status kaya". Jadi sebanyak apa kerbau yang dikurbankan itu tergantung apakah keluarga mendiang tersebut "mau menonjolkan kekayaan keluarga atau tidak".

"Soal mencari status itu menurut saya tidak teralu menonjol di Mamasa," kata Kees.

Namun begitu, Kees menyoroti bahwa kini pemerintah di Mamasa juga mulai hendak menjadikan ritual Rambu Solo di sana sebagai atraksi pariwisata untuk menarik banyak turis seperti yang terjadi di Toraja.

"Pemerintah itu yang juga mendorong orang untuk mengadakan pesta besar. Makin besar, makin banyak turis mau datang. Dan masalah itu sudah mulai sedikit terjadi juga di Mamasa. Pemerintah sudah mencoba juga untuk memperkenalkan pesta kematian itu supaya turis-turis bisa ditarik juga ke daerah Mamasa," tutur Kees.

"Dari semua itu, lama kelamaan upacara itu ditarik keluar dari maksud dulu. Karena dulu upacara-upcara itu hanyalah dalam rangka agama, dalam rangka Aluk Todolo. Sekarang makin lebih terarah ke menonjolkan status dan kekayaan," tegasnya.

Baca Juga: Pesan di Balik Pemakaman, Kebersamaan, dan Pluralisme di Toraja

Bagi banyak orang, upacara Rambu Solo di Toraja maupun di Mamasa ini mungkin terkesan agak menghambur-hamburkan uang hanya untuk orang yang sudah meninggal. Namun begitu, Ucup melihat adanya nilai-nilai toleransi dan gotong royong yang begitu kuat yang masih dipegang oleh masyarakat di Mamasa saat mengadakan tradisi perayaan menuju keabadian ini.

Banyak orang di Mamasa sebenarnya telah menganut agama samawi seperti Kristen. Namun setiap ada orang di sana yang meninggal dan kemudian ada upacara Rambu Solo, semua orang tersebut tetap ikut berpartisipasi.

"Tidak melihat agamanya apa, tapi masih mempertahankan tradisi leluhurnya," ucap Ucup mencontohkan nilai toleransi tersebut.

"Kegotong-royongan itu juga masih kental," tambah Ucup, karena ritual Rambu Solo selalu melibatkan banyak orang. Mereka semua terlibat dengan sukarela, bukan diminta oleh pihak keluarga mendiang.

Setiap ada orang yang meninggal di sana, keluarga yang berduka "tidak perlu lagi memanggil orang lain untuk datang. Di sana dengan sendirinya orang-orang Mamasa itu datang untuk berduka," ujar Ucup.

"Mencari kayu untuk peti mate [peti untuk menyimpan jenazah] pasti butuh tenaga orang banyak. Ritual Rambu Solo yang berlangsung antara dua sampai tiga hari itu juga butuh keterlibatan banyak orang," katanya lagi.