Selidik Perayaan Menuju Keabadiaan di Mamasa, Sulawesi Barat

By Utomo Priyambodo, Selasa, 8 Juni 2021 | 10:00 WIB
Keluarga yang memakai bsuana adat sedang mengantar tamu menuju tempat upacara Rambu Solo' di permakaman Sombo, Rarreappalla. Setiap rombongan tamu akan dijemput dan diantar bersama iringan kerbau. (Yusuf Wahil/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Masyarakat penganut kepercayaan Aluk Todolo atau Alukta di Mamasa, Sulawesi Barat, memiliki ritual khusus dalam mengubur jenazah keluarga mereka yang meninggal. Mereka mengadakan perayaan menunju keabadian bagi sang mendiang. Perayaan itu disebut Rambu Solo, mirip seperti yang ada di Tana Toraja.

Yusuf Wahil, kontibutor National Geographic Indonesia di Makassar, Sulawesi Selatan, telah mengikuti dan memotret sejumlah kisah ritual Rambu Solo di sejumlah daerah di Mamasa selama dua tahun sejak tahun 2019. Ucup, sapaan akrab Yusuf, menjahit kisah-kisah yang ia dapat selama dua tahun itu menjadi sebuah jalinan cerita yang ia tulis untuk Majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2021.

Sebelum datang ke Mamasa, Ucup mengerjakan riset pustaka terlebih dulu dengan membaca sejumlah literatur menganai adat istiadat dan ritual di Mamasa. Salah satu literatur yang ia telaah adalah buku karya Kees Buijs, antropolog dari Belanda yang bertahun-tahun tinggal di Mamasa.

Dari hasil kajian literatur itulah ia kemudian mengetahui ada tradisi leluhur yang unik dan masih bertahan di Mamasa. Ia pun kemudian mantap untuk datang ke sana.

"Di Mamasa ada ritus purba yang mirip dengan yang ada di Tana Toraja. Berawal dari situ saya membuat cerita ini. Menurut saya, apa yang saya lihat di Toraja Mamasa ini sangat unik dan masih mempertahankan keasliannya," ujar Ucup dalam acara Bincang Redaksi-27 National Geographic Indonesia: Cerita Sampul dan Selidik Edisi Juni 2021 pada Sabtu, 5 Juni 2021.

Salah satu "keaslian" yang Ucup temukan pada Rambu Solo di Mamasa dan agak berbeda dengan Rambu Solo di Tana Toraja adalah terkait jumlah kerbau yang disemblih untuk ritual tersebut. Menurutnya, jumlah kerbau yang dikurbankan di Mamasa tidak sedahsyat yang ada di Toraja.

Baca Juga: Mengikuti Ritual Rambu Solo di Mamasa, Apa Bedanya dengan di Toraja?

 

Jumlah kerbau untuk Rambu Solo di Toraja bisa puluhan sampai ratusan karena sudah terpengaruh dengan hingar bingar untuk menonjolkan kekayaan dan kerap disorot sebagai bagian atraksi pariwisata di wilayah setempat. Adapun jumlah kerbau di Mamasa lebih rasional karena masih berfokus untuk untuk mempertahankan nilai tradisi saja.

Kees Buijs, antropolog asal Belanda yang kini telah fasih berbahasa Indonesia itu, mengatakan bahwa tradisi Rambu Solo di Mamasa tampaknya lebih tua di Mamasa dibanding di Tana Toraja. "Menurut saya tradisi purba lebih lama disimpan di Mamasa." Meski begitu, sebenarnya tidak ada perbedaan pada ritual rambo solo di antara kedua wilayah tersebut.

Berdasarkan sepengetahuannya, jumlah kerbau yang dikurbankan di Mamasa memang tidak sebanyak di Toraja. "24 ekor itu sudah banyak sekali. Saya tidak pernah mendengar ada korban sampai ratusan ekor terjadi di Mamasa."

Terkait jumlah kerbau yang begitu banyak dikorbankan dalam Rambu Solo di Toraja, menurut Kees itu dipengaruhi oleh keinginan "mencari pengakuan status kaya". Jadi sebanyak apa kerbau yang dikurbankan itu tergantung apakah keluarga mendiang tersebut "mau menonjolkan kekayaan keluarga atau tidak".

"Soal mencari status itu menurut saya tidak teralu menonjol di Mamasa," kata Kees.

Namun begitu, Kees menyoroti bahwa kini pemerintah di Mamasa juga mulai hendak menjadikan ritual Rambu Solo di sana sebagai atraksi pariwisata untuk menarik banyak turis seperti yang terjadi di Toraja.

"Pemerintah itu yang juga mendorong orang untuk mengadakan pesta besar. Makin besar, makin banyak turis mau datang. Dan masalah itu sudah mulai sedikit terjadi juga di Mamasa. Pemerintah sudah mencoba juga untuk memperkenalkan pesta kematian itu supaya turis-turis bisa ditarik juga ke daerah Mamasa," tutur Kees.

"Dari semua itu, lama kelamaan upacara itu ditarik keluar dari maksud dulu. Karena dulu upacara-upcara itu hanyalah dalam rangka agama, dalam rangka Aluk Todolo. Sekarang makin lebih terarah ke menonjolkan status dan kekayaan," tegasnya.

Baca Juga: Pesan di Balik Pemakaman, Kebersamaan, dan Pluralisme di Toraja

Bagi banyak orang, upacara Rambu Solo di Toraja maupun di Mamasa ini mungkin terkesan agak menghambur-hamburkan uang hanya untuk orang yang sudah meninggal. Namun begitu, Ucup melihat adanya nilai-nilai toleransi dan gotong royong yang begitu kuat yang masih dipegang oleh masyarakat di Mamasa saat mengadakan tradisi perayaan menuju keabadian ini.

Banyak orang di Mamasa sebenarnya telah menganut agama samawi seperti Kristen. Namun setiap ada orang di sana yang meninggal dan kemudian ada upacara Rambu Solo, semua orang tersebut tetap ikut berpartisipasi.

"Tidak melihat agamanya apa, tapi masih mempertahankan tradisi leluhurnya," ucap Ucup mencontohkan nilai toleransi tersebut.

"Kegotong-royongan itu juga masih kental," tambah Ucup, karena ritual Rambu Solo selalu melibatkan banyak orang. Mereka semua terlibat dengan sukarela, bukan diminta oleh pihak keluarga mendiang.

Setiap ada orang yang meninggal di sana, keluarga yang berduka "tidak perlu lagi memanggil orang lain untuk datang. Di sana dengan sendirinya orang-orang Mamasa itu datang untuk berduka," ujar Ucup.

"Mencari kayu untuk peti mate [peti untuk menyimpan jenazah] pasti butuh tenaga orang banyak. Ritual Rambu Solo yang berlangsung antara dua sampai tiga hari itu juga butuh keterlibatan banyak orang," katanya lagi.