Mengenal Tionghoa Padang dan Proses Asimilasinya di Sumatra Barat

By Eric Taher, Rabu, 9 Juni 2021 | 16:52 WIB
Klenteng See Hin Kiong di Kota Padang, sekitar 1910. Klenteng tertua di Kota Padang ini berada di kawasan kota tua. Catatan sejarahnya, klenteng berdiri pada 1841. See Hin Kiong pernah mengalami kebakaran pada 1861 dan gempa besar pada 2009. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Keberadaan orang Tionghoa dapat ditelusuri di seluruh penjuru Nusantara. Persebaran mereka yang luas tidak semata-mata membuatnya tetap menjadi etnis yang homogen dan totok.

Proses akulturasi yang terjadi selama beratus-ratus tahun melahirkan karakteristik unik dari orang Tionghoa di masing-masing daerah, salah satunya di kota Padang. Bermula sebagai pedagang, etnis Tionghoa perlahan-lahan mulai terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Padang. 

Topik inilah yang dibahas oleh webinar bertajuk Keliling Indonesia, Yuk! Tionghoa Sumatera Barat pada Senin, 7 Juni 2021. Webinar ini diselenggarakan oleh Roemah Bhinneka, dan menjadi pertemuan ke-42 dari seri webinar Nggosipin Tionghoa Yuk! sejak Agustus 2020.

Simak laporan kami.

Sebuah prosesi Tionghoa di Padang, Sumatra Barat, sekitar awal abad ke-20. (Tropenmuseum)

 

 

Keberadaan Tionghoa di Padang dapat ditelusuri dari abad ke-17. Pada masa itu, Padang di bawah administrasi VOC mulai berkembang pesat sebagai daerah perdagangan. Aktivitas perdagangan yang ramai mengundang pendatang dari mancanegara, baik dari bangsa Eropa, Arab, India, dan juga Tionghoa.

"Pada awalnya [Tionghoa] yang datang itu bergantung pada alam, mereka menunggu siklus muson setiap 6 bulan," kata Erniwati, dosen jurusan sejarah di Universitas Negeri Padang. Setelah siklus muson ini berbalik arah ke dataran Asia, beberapa memilih untuk kembali ke negara asalnya. Akan tetapi, banyak juga yang memilih untuk tinggal menetap di sekitar pantai Padang. "Mereka berinteraksi dan menjadi bagian dari masyarakat, banyak juga yang kawin campur dan menjadi mualaf," lanjutnya.

Menurut Erni, etnis Tionghoa di Padang telah menetap selama delapan generasi. Seiring waktu, mereka mulai menetap di sisi sungai, hingga kemudian menyebar ke pedalaman.

Proses ini membuat Tionghoa Padang membentuk sebuah identitas lokal yang unik. Mereka mulai mengadopsi nilai-nilai lokal yang berasal dari orang Minangkabau yang menjadi mayoritas di Padang.

Gapura kehormatan di jembatan yang bertuliskan 'Selamat Datang di Padang' untuk menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Limburg Stirum di Pantai Barat Sumatra pada 1916. (Tropenmuseum)

 

Secara kebetulan, orang Tionghoa dan Minang memiliki kemiripan latar belakang sosial budaya. Selain memiliki masyarakat yang bersifat kolektif, mereka juga memiliki tradisi migrasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

"Mereka juga memiliki tiga kemiripan nilai, yakni dalam etos berdagang, sifat situasional [dan pragmatis], serta fleksibilitas dalam beradaptasi," ungkap Riniwaty Makmur, penulis buku Orang Padang Tionghoa. Menurut Rini, kemiripan nilai-nilai dan fleksibilitas melahirkan relasi yang baik antara kedua kelompok tersebut. Selain itu, kemiripan etos dagang Tionghoa dan Minang juga menciptakan sebuah simbiosis dagang yang mutual dan saling menguntungkan.

"Kemiripan latar belakang sosial budaya bisa mendukung efektivitas komunikasi, dan hubungan yang relatif harmonis," kata Rini. Ia menambahkan, bahwa rasa senasib sepenanggungan antara orang Tionghoa dan orang Minang juga membuat relasi mereka jauh dari konflik.

Dalam perjalanannya, kehidupan masyarakat Tionghoa di Padang melalui banyak lika-liku. Kebijakan-kebijakan yang disahkan dari pemerintahan Belanda hingga Orde Baru membuat mereka harus beradaptasi dengan fleksibel.

Baca Juga: Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia

Kampung Cina di padang, sekitar 1890. (C. Nieuwenhuis/KITLV)

Pada tahun 1835, pemukiman etnis Tionghoa mulai dilokalisasi ke satu daerah melalui kebijakan wijkenstelsel oleh Belanda. Daerah tersebut kemudian dikenal dengan nama Kampung Pondok, yang sampai sekarang masih menjadi pecinan di Padang. Kebijakan stratifikasi kolonial juga semakin memisahkan komunitas Tionghoa dan lokal. 

Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan identitas Tionghoa yang mencolok. Kampung Pondok menjadi pusat dari aktivitas masyarakat Tionghoa, yang tercermin dari keberadaan Kelenteng See Hien Kiong, Pasar Tanah Kongsi, serta berbagai organisasi perkumpulan. Dalam perkembangannya, hanya ada dua perkumpulan besar yang masih bertahan hingga kini, yakni Himpunan Tjinta Teman/Hok Tek Tong (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh/Heng Beng Tong (HBT).

 

Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan

Klenteng See Hin Kiong di Kota Padang, sekitar 1900. Klenteng tertua di Kota Padang ini berada di kawasan kota tua. Catatan sejarahnya, klenteng berdiri pada 1841. See Hin Kiong pernah mengalami kebakaran pada 1861 dan gempa besar pada 2009. (KITLV)

Akan tetapi, pembentukan budaya tersebut akhirnya direset akibat kebijakan asimilasi Orde Baru. Orang Tionghoa pun beradaptasi kembali, dan perlahan-lahan warisan bahasa dan budaya Tionghoa mulai terasimilasi dengan budaya setempat.

"Bisa dikatakan orang Tionghoa telah menempuh jalan panjang penuh pengorbanan untuk bisa bertahan," kata Rini. Ia menambahkan, kebijakan asimilasi ini menciptakan hibriditas kebudayaan. Salah satu wujud hibriditas ini terlihat dari munculnya panggilan kekerabatan khas Tionghoa Padang, seperti cidang (cici gadang) untuk memanggil perempuan yang lebih tua. Selain itu, muncul pula makanan-makanan peranakan seperti gulai dan udang balado. "Cara bicara orang Padang Tionghoa juga sudah seperti orang Minang, lantang dan keras," ujarnya.

Baca Juga: Memahami Dunia Tionghoa Indonesia, Antara Totok dan Peranakan

Klenteng See Hin Kiong di Kota Padang, sebelum peristiwa gempa hebat pada 2009. (Ricky Martin)

Proses interaksi ini juga melahirkan percabangan bahasa Minang yang dikenal dengan nama Minang Pondok. Dalam bahasa Minang Pondok, pengucapan kosakata Minang lebih mengikuti dialek Tionghoa, seperti aia (air) menjadi aek, dan batuak (batuk) menjadi batok. "Bahasa Minang Pondok menjadi benang merah yang menyatukan seluruh konstruksi sosial masyarakat Tionghoa di kota Padang," jelas Rini.

Setelah berakhirnya Orde Baru, kebudayaan Tionghoa sudah mulai dirayakan secara terbuka di Padang. Walaupun demikian, orang Tionghoa Padang dihadapkan kepada sejumlah tantangan baru, seperti isu-isu rasial dan meningkatnya retorika politik identitas.

"Diperlukan kerja keras dari semua pihak, baik masyarakat Tionghoa dan masyarakat Minang, untuk merawat dan menjaga pencapaian [kerukunan] ini," ungkap Rini.

Baca Juga: Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia