Mengubah Sisi Gelap Industri Kecantikan Lewat Kecantikan Berkelanjutan

By Utomo Priyambodo, Rabu, 9 Juni 2021 | 11:00 WIB
Sampah produk kosmetik turut mencemari lingkungan. Mempercantik wajah konsumennya, tapi memperburuk wajah lingkungan. (Lutfi Fauziah)

Nationalgeographic.co.idIndustri kecantikan di dunia telah berkembang pesat dibanding periode-periode sebelumnya. Namun industri kecantikan memiliki sisi gelap tersendiri jika kita berbicara tentang isu lingkungan.

Menurut sebuah studi di jurnal Law Review yang diterbitkan oleh Universitas Pelita Harapan (UPH) pada November 2020, industri kecantikan menghasilkan 120 miliar kemasan setiap tahunnya dan kebanyakan kemasan tersebut tidak dapat didaur ulang. Jadi, produk-produk kecantikan ini membuat cantik wajah konsumen, tapi turut membuat buruk wajah lingkungan.

Studi bertajuk "Sustainable Beauty: Kesiapan Konsumen di Indonesia dalam mengintegrasikan Konsep Keberlanjutan dalam Pengelolaan Sampah Kemasan Plastik Produk Industri Kecantikan" itu dibuat oleh Jerry Shalmont, mahasiswa  Fakultas Hukum UPH.

Studi tersebut menyoroti bahwa banyak konsumen di dunia, termasuk di Indonesia, saat ini menuntut adanya konsep keberlanjutan dalam produk kecantikan. Konsep ini biasa disebut sebagai "sustainable beauty" atau "kecantikan yang berkelanjutan".

Beberapa brand produk kecantikan sudah menunjukkan beberapa upaya untuk memenuhi permintaan konsumen tersebut. Beberapa brand juga telah mengintegrasikan konsep keberlanjutan dalam proses produksi mereka.

Misalnya, untuk memenuhi permintaan dari konsumen tersebut, beberapa perusahaan telah mulai mengganti wadah produk kosmetik mereka. Dari plastik menjadi bahan lain yang jauh lebih mudah terurai di lingkungan.

Meow Meow Tweet adalah salah satu contoh perusahaan yang melakukan hal tersebut. Setelah resah terhadap masalah lingkungan akibat sampah plastik, Tara Pelletier sang pemilik Meow Meow Tweet kemudian mencari jenis wadah lain sebagai pengganti plastik untuk produk deodorannya.

Baca Juga: Mendefinisikan 'Kecantikan', Mengapa Banyak Orang yang Memujanya?

Menurut Aristoteles, kecantikan bergantung pada ukuran dan penataan, dengan standar sosialnya masing-masing. Sementara Immanuel Kant yang menyebutkan bahwa kecantikan adalah sesuatu yang menyenangkan secara universal, tanpa sebuah konsep. (Kindlab/Pinterest)

Setelah mempertimbangkan banyak jenis alternatif bahan untuk wadah kemasan produk, Tara akhirnya menemukan solusi yang lebih baik daripada plastik. Ia telah mempelajari banyak jenis kemasan, mulai dari kaca hingga kertas. Ia juga sempat melirik penggunaan toples kaca, bioplastik, hingga plastik bio-degredable, tapi kemudian menemukan kekurangannya masing-masing untuk bisa terurai di lingkungan.

Setelah berbulan-bulan mencari, dia akhirnya menemukan perusahaan yang membuat tabung kertas kokoh yang membungkus produk dengan rapi. Akhirnya, solusi itu ia temukan, pikirnya.

Tara dan rekan-rekan kerjanya harus mengisi produk deodoran ke setiap tabung kertas itu dengan tangan secara manual. Margin keuntungan mereka tipis karena tabung karton itu berharga 60 kali lipat dari pilihan plastik umum yang diproduksi secara massal. Dan tabung itu juga tidak senyaman wadah plastik yang biasa digunakan oleh sebagian besar konsumen.

Tapi itu sepadan, kata Tara sebagaimana yang pernah diberitakan oleh National Geographic pada 2019. Bukan hanya karena masuk akal secara etis, melainkan juga untuk membantu menunjukkan kepada orang lain di seluruh industri bahwa ada alternatif—alternatif yang bisa diterapkan, fungsional, dan kreatif untuk mengganti penggunaan plastik yang telah menyusup ke setiap aspek perdagangan moderen.

Baca Juga: Charles Darwin Ungkap Bagaimana 'Kecantikan' Dapat Terbentuk

Namun pertanyaannya, apakah para konsumen terutama di Indonesia telah siap untuk berpartisipasi dalam tren keberlanjutan ini? Lalu bagaimanakah kemasan produk kecantikan dapat dikelola dengan baik dilihat dari sisi sistem pengelolaan sampah di Indonesia?

"Pada dasarnya konsep keberlanjutan tidak hanya terbatas pada proses produksi melainkan juga mencakup bagaimana konsumen mengelola sampah kemasan produk kecantikan mereka," tulis Jerry dalam laporan studi yang telah disebutkan sebelumnya.

"Dalam hal ini, beberapa pemangku kepentingan memiliki kepentingan serta perannya masing-masing untuk memastikan konsep ini berjalan dengan baik dari sisi pembuat kebijakan, sektor swasta, dan juga konsumen," katanya lagi.

Dalam rangka mendukung sustainable beauty, menurut studi tersebut, akan lebih baik lagi jika konsumen mampu mengedukasi dirinya sendiri dengan mulai mencari tahu mengenai konsep keberlanjutan ini beserta aspek-aspeknya. Konsumen perlu tahu dan turut mendukung produsen kosmetik mana saja menerapkan konsep keberlanjutan ini.

Produsen yang demikian adalah mereka yang secara terbuka menginformasikan bahwa proses produksi maupun produk kosmetik mereka itu ramah lingkungan. Begitu pula kemasan yang mereka pakai. Semua material untuk produk maupun kemasannya merupakan bahan alami, tidak merusak lingkungan, dan mudah terurai di alam atau bahkan bisa didaur ulang.

Baca Juga: Memuja Kecantikan Alam Raya Sembari Menjaga Keseimbangan Semesta

Patung Venus de Milo, yang kerap menjadi simbol kecantikan. Seiring perkembangan zaman, kecantikan mulai didefiniskan ulang. Kini, atas pemahaman lingkungan yang lebih baik, kaum perempuan mulai mencari produk kecantikan keberlanjutan. (De Agostini/Getty Images)

Kita sebagai konsumen perlu menerapkan konsumsi yang sadar lingkungan atau consious consumption. "Sebagai bagian dari conscious consumption, beberapa hal yang bisa diimplementasikan, yaitu: (1) dalam rangka pengurangan sampah, sebagai konsumen, ada baiknya untuk mencari tahu apakah brand tertentu sudah secara transparan mengintegrasikan sustainability (cara mendapatkan bahan mentah, produksi, pengemasan bahkan sampai dengan pengiriman) karena bahan-bahan yang digunakan tentunya bisa didaur ulang; dan (2) dalam rangka penanganan sampah, yakni sebagai lanjutan dari pengurangan sampah, diperlukan juga kepedulian untuk memilah sampah-sampah kemasan produk kecantikan yang dapat dikirimkan ke tempat-tempat daur ulang," tulis studi tersebut pada bagian kesimpulannya.

Pada akhirnya, penerapan konsep kecatikan berkelanjutan ini sangat dipengaruhi oleh dukungan para konsumen. Meski begitu, keputusan akhir tetap ada di tangan konsumen.

Bagaimanapun, "gaya hidup untuk mengintegrasikan konsep keberlanjutan bukan hal yang mudah namun tidak mustahil," tulis studi tersebut. "Kepedulian pada dasarnya merupakan titik awal dalam hal ini karena kecantikan tidak perlu mengorbankan lingkungan."