Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 16 Juni 2021 | 21:55 WIB
Hulptroepen yang terdiri dari pasukan lokal yang membantu militer Hindia Belanda dalam setiap ekspedisi penaklukan. (Peter Carey)

Nationalgeographic.co.id—Perang Jawa (1825-1830) mempertemukan dua seteru, Pangeran Dipanagara dan kolonial Hindia Belanda. Ketika perang usai, Pulau Jawa jatuh dalam kuasa kolonial, sementara Sang Pangeran bersama para pengikutnya ditahan.

Peter Carey mengatakan kemenangan Hindia Belanda atas Dipanagara tidak dapat terjadi tanpa hulptroepen (pasukan tulungan), pasukan pribumi yang mendukung mereka. Sebenarnya penggunaan hulptroepen sering dilakukan dalam ekspedisi penaklukan kolonial Hindia Belanda. Termasuk, Perang Padri di Sumatera Barat.

Umumnya, hulptroepen (baca: hulptrupe) berasal dari wilayah timur seperti Makassar, Madura, Bali, dan Minahasa. Tetapi ada juga beberapa hulptroepen yang berasal dari Pulau Jawa itu sendiri.

Carey memaparkan dalam kuliah umum yang diadakan Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Menurut Carey, penyebab mengapa ada kalangan lokal, khususnya dari Minahasa, bersedia membantu pemerintah kolonial lantaran perjanjian yang memikat mereka. Awalnya Minahasa tak sendiri tak sudi untuk membantu. Pasca Perang Tondano, sejumlah penguasa Minahasa bersedia memberikan pasukan sebagai jasa yang menguntungkan. 

Hampir sepuluh persen dari keseluruhan 15.000 hulptroepen yang dikerahkan Belanda pada masa akhir Perang Jawa (1829-1830), menurut Carey, adalah berasal dari Minahasa. Hulptroepen, dikenal dengan kemampuan yang luar biasa di situasi genting dan sulit. Bahkan, dianggap memiliki keunggulan dari tentara kolonial sendiri sebagai pasukan gerak cepat.

 

Luksian pensil bertajuk 'Alfoeres, auxiliaires des Mollucques' karya François Vincent Henri Antoine de Stuers, 1833. Pasukan yang didatangkan dari Maluku untuk menangkap Dipanagara. (KITLV)

 

Bahkan ungkapan ini tertuang oleh Errembault, salah satu komandan kolonial yang dikutip oleh Carey: "Bagi saya sendiri, saya lebih suka memimpin prajurit pribumi daripada prajurit Eropa; Saya tidak banyak menghadapi [prajurit] yang sakit-sakitan, dan kalau mereka dipimpin dengan baik, mereka bertarung sehebat [orang Eropa]."

Carey juga mengutip pendapat Paku Alam I terkait hulptroepen, "Sewaktu pasukan dari Sumenep saja sampai didatangkan ke Jawa, barulah kita sadar bahwa pemberontakan Pangeran Dipanagara adalah suatu hal yang penting."

 

Baca Juga: Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa

Busana Perang Jawa. Sebagian gambaran busana kedua belah pihak (dari kiri ke kanan). Laskar Dipanagara: Barisan Pinilih; Barisan Bulkiya; dan sosok keterlibatan petani. Serdadu Hindia Belanda Timur: Hulptroepen asal Maluku; Flankeur atau pasukan pengintai; dan Jayeng Sekar. (Zulfig Ardi Nugroho/National Geographic Indonesia)

 

Hulptroepen sebagai pasukan gerak cepat dan intel kolonial, terlibat dalam pertempuran besar terakhir di Siluk, sebelah barat Yogyakarta pada 17 September 1829. Pertempuran ini membuat Dipanagara kalah telak.

Giat mereka berlanjut hingga ke Sengir, Kecamatan Kokap, Kulon Progo. Hulptroepen menyergap dan memenggal kepala komandan senior pasukan Dipanagara, Pangeran Ngabehi (Joyokusumo I) bersama kedua anaknya, Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo pada 21 September.

Pada 11 November 1829, Dipanagara sendiri disergap di pegunungan Gowong. Pasukan Minahasa pun merebut tombak pusakanya, setelah sang pangeran melompat dari kuda ke lembah dan bersembunyi.

Selanjutnya, Dipanagara sendiri dikejar lima unit Pasukan Gerak Cepat yang memiliki hulptroepen yang mayoritas dari Minahasa. Perjalanan Dipanagara dari pegunungan Gowong sampai ke Banyumas selama November 1829 hingga Februari 1830.

Hingga akhirnya, mereka bisa melacak dan mengajak Dipanagara untuk melakukan negosiasi damai dengan Jenderal de Kock di Magelang.

"Awalnya dia [Dipanagara] jadi buronan, lalu dikawal pada April 1830. Di Menoreh, banyak para pengikutnya yang ikut seperti magnet untuk mengiring negosiasi dengan Jenderal de Kock," terang Carey.

Baca Juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara

Hermanus Willem Dotulong (1795-1888) mayor pasukan Minahasa dalam hulptroepen yang berperan untuk menangkap Pangeran Dipanagara dalam lukisan Raden Saleh. (Raden Saleh)

"Tetapi sampai Magelang, ia justru ditangkap, ditangkap dengan cara yang khianat."

Keberadaan hulptroepen juga terekam dalam dua lukisan peristiwa penangkapan Pangeran Dipanagara, baik oleh Raden Saleh maupun Nicolaas Pieneman.

Pemimpin pasukan dari Minahasa yang sangat jelas terpampang itu adalah Benjamin Thomas Sigar alias Tawjlin Sigar (1790-1879) dan Hermanus Willem Dotulong (1795-1888).

Peninggalan mereka pun masih tersisa dalam memorial atas Hermanus Willem Dotulong di Cilincing, Jakarta.

Hulptroepen kemudian dilanjutkan pada periode kolonial selanjutnya ketika Belanda membuat KNIL. Berpihaknya para orang lokal dalam militer Hindia Belanda, membuat sentimen para nasionalis dengan 'anjing Belanda' yang biasanya ditorehkan pada KNIL yang mayoritas dari kawasan timur koloni.

Baca Juga: Dipanagara, Benarkah Sebuah Nama Pembawa Sial?

Sampul majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014. Berkisah tentang suratan tragis Dipanagara dan kecamuk Perang Jawa 1825-1830. Dalam edisi ini pula ditampilkan rupa tulisan tangan Sang Pangeran dan peta pergerakan terakhir laskarnya di Tanah Mataram. (National Geographic Indonesia)