Es Tertua dari Pegunungan Alpen Menyimpan 10.000 Tahun Memori Iklim

By Utomo Priyambodo, Jumat, 18 Juni 2021 | 22:00 WIB
Es tertua dari Pegunungan Alpen. (Riccardo Selvatico/CNR/Ca' Foscari University of Venice)

Nationalgeographic.co.idPara peneliti telah berhasil mengekstraksi es tertua dari wilayah Pegunungan Alpen. Es tersebut siap disimpan di Antarktika.

Apa yang membuat penyelamatan dan penyimpanan es ini begitu penting adalah sejarah iklim yang dicatatnya. Inti es dari Pegunungan Alpen berasal dari 10.000 tahun yang lalu, memberi para peneliti wawasan yang tak ternilai tentang bagaimana lingkungan telah berubah selama rentang waktu itu.

Langkah ini merupakan bagian dari proyek internasional yang sedang berlangsung yang disebut Ice Memory. Proyek ini bertujuan untuk melestarikan artefak alami ini sebelum pemanasan global dan pencairan es menyebabkan mereka menghilang. Ekstraksi es di Pegunungan Alpen adalah momen penting untuk proyek ini.

 

"Misi itu sukses: tim memperoleh dua inti es lebih dari kedalaman 80 meter [262 kaki] dari situs yang sangat penting, yang berisi informasi tentang iklim 10.000 tahun terakhir," kata Carlo Barbante, seorang profesor kimia analitik dari Ca' Foscari University of Venice di Italia, seperti diberitakan Science Alert.

"Tim bekerja dengan baik meskipun kondisi cuaca buruk, dengan hembusan angin dan salju yang kuat. Sekarang arsip berharga dari sejarah iklim Pegunungan Alpen ini akan dilestarikan untuk masa depan."

Ekstraksi es tersebut membutuhkan waktu lima hari bagi para peneliti pada ketinggian 4.500 meter atau 14.764 kaki di gletser Colle Gnifetti. Total ada empat inti es yang diambil dari wilayah Pegunungan Alpen tersebut. Tim tersebut berbasis di kamp penelitian ilmiah Capanna Margherita yang berusia 128 tahun, yang tertinggi di Eropa.

Baca Juga: Batu Hijau Kecil di Antartika Memberi Peringatan soal Masa Depan Bumi

Para peneliti mengekstraksi inti es dari Pegunungan Alpen. (Ca' Foscari University of Venice)

Gletser tempat es diambil adalah geltser terbesar kedua di wilayah Alpen. Luas keseluruhan gletser tersebut adalah sekitar 40 kilometer persegi atau 15,4 mil persegi. Para ilmuwan memperkirakan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, gletser itu telah kehilangan sekitar 40 persen dari total luasnya.

Dengan kata lain, tabung-tabung es ini –yang diperkirakan tidak tersentuh oleh pencairan selama sepuluh abad– telah diekstraksi tepat pada waktunya. Ini adalah misi ketiga yang dilakukan Ice Memory di Pegunungan Alpen.

"Jika kita kehilangan arsip-arsip seperti ini, kita akan kehilangan ingatan tentang bagaimana manusia telah mengubah atmosfer," kata Fabio Trincardi, direktur Department of Earth System Science and Environmental Technologies di Italian National Research Council.

"Mari kita coba melestarikannya untuk generasi mendatang yang akan mempelajarinya ketika kita tidak lagi di sini."

Diluncurkan pada tahun 2015 oleh para ahli glasiologi Prancis, Italia, dan Swiss, Ice Memory telah bermitra dengan para ilmuwan dan kelompok penelitian dari seluruh dunia dalam upaya melestarikan inti-inti es untuk studi di masa mendatang. Penelitian selanjutnya dari proyek ini akan tersedia dalam database akses terbuka.

Baca Juga: Gunung Es Terbesar Sedunia, Seluas Pulau Madura, Lepas dari Antarktika

Gletser Aletsch, merupakan gletser terbesar di Pegunungan Alpen. (Thinkstockhpoto)

Organisasi Ice Memory memperkirakan bahwa pada akhir abad ini, kita tidak akan memiliki lagi gletser yang tersisa di bawah 3.500 meter atau 11.483 kaki di Pegunungan Alpen dan di bawah 5.400 meter atau 17.717 kaki di Andes. Jadi akan ada banyak bukti ilmiah yang bisa hilang dari sana akibat pemanasan global.

Para peneliti mengharapkan bahwa pada tahun 2022 fasilitas penyimpanan gua salju Antartika akan selesai. Fasilitas penyimpanan es ini terletak di stasiun penelitian Concordia Prancis-Italia. Dengan suhu rata-rata minus 54 derajat Celsius atau minus 65 derajat Fahrenheit, gua ini tidak memerlukan pasokan energi dan harus aman dari pemanasan di masa depan yang terjadi di seluruh bagian planet Bumi ini.

"Iklim kita dalam keadaan darurat," kata Tiziana Lippiello, Rektor di Ca' Foscari University of Venice. "Untuk menghadapi krisis ini, kita perlu memahami penyebabnya dan menemukan solusi yang mungkin, sehingga penelitian dan pengajaran ini diperlukan."