Pemanasan Global: Sebagian Wilayah Asia Akan Sepanas Gurun Sahara

By Utomo Priyambodo, Rabu, 23 Juni 2021 | 09:25 WIB
Gurun Sahara, Libia. Tempat-tempat di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Australia yang dihuni sepertiga dari populasi dunia akan sepanas Gurun Sahara saat ini. (Thinkstockphoto)

 

Nationalgeographic.co.id—Pada musim panas 2003, Prancis diterpa gelombang panas berhari-hari. Suhu di negara itu terus naik dan mencapai puncaknya selama delapan hari pada suhu 40 derajat Celsius atau 104 derajat Fahrenheit. Seiring panas yang meningkat, satu per satu orang di sana mulai meninggal.

Banyak dokter dan rumah sakit kewalahan. Kamar-kamar mayat penuh, dan truk-truk berpendingin dan freezer pasar makanan mengisi kekurangan tempat penampungan mayat itu. Para pengasuh lansia menemukan klien-klien mereka merosot di lantai atau meninggal di kursi. Pada saat itu hanya beberapa persen rumah tangga Prancis yang memiliki AC.

Para polisi kemudian dipanggil untuk mendobrak pintu, "hanya untuk menemukan mayat di belakang mereka," kenang Patrick Pelloux, presiden asosiasi dokter ruang gawat darurat Prancis. “Itu benar-benar mengerikan,” katanya kepada National Geographic. Banyak mayat tidak ditemukan selama beberapa minggu.

Sampul majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2021. (National Geographic Indonesia)

Prancis akhirnya mengaitkan lebih dari 15.000 kematian itu dengan gelombang panas. Italia bernasib lebih buruk, dengan hampir 20.000 kematian yang terjadi akibat gelombang panas.

Di seluruh benua, lebih dari 70.000 orang meninggal dunia. Kebanyakan dari mereka adalah kaum miskin, terisolasi, dan lanjut usia. Para ilmuwan kemudian kemudian menyebut musim panas itu sebagai musim panas terpanas di Eropa dalam 500 tahun. Dan menurut mereka, fenomena tersebut jelas terkait dengan perubahan iklim.

Di antara banyak ancaman iklim yang diasosiasikan para ilmuwan dengan pemanasan global—badai yang lebih kuat dan merusak, kekeringan, naiknya permukaan laut, musim kebakaran yang lebih lama— peningkatan gelombang panas adalah yang paling intuitif dan langsung. Karena gas rumah kaca yang dilepaskan oleh aktivitas manusia terus meningkat di atmosfer, gelombang panas akan menjadi lebih panjang dan hari-hari yang akan kita rasakan menjadi lebih panas.

Baca Juga: Gunung Es Terbesar Sedunia, Seluas Pulau Madura, Lepas dari Antarktika

 

Gelombang panas 2018 yang menyerang hampir semua negara di dunia membuat Bumi tampak seperti bola api. (Climate Change Institute)

Secara global, enam tahun terakhir, 2016-2021 adalah tahun-tahun terpanas yang pernah tercatat. Di barat daya Amerika Serikat, hari-hari dengan suhu tiga digit tiba beberapa minggu lebih awal daripada seabad yang lalu dan bertahan tiga minggu lebih lama. Dan di Eropa, musim panas yang mengerikan tahun 2003 telah terbukti bukan hanya kesalahan statistik: Gelombang panas besar telah melanda benua itu lima kali sejak itu, dan 2019 membawa rekor suhu sepanjang masa di enam negara Eropa barat, termasuk suhu 114,8 derajat Fahrenheit di Prancis.

Solusi utama untuk pemanasan global, tentu saja, adalah mengurangi emisi gas rumah kaca kita secara drastis. Jika kita gagal sama sekali untuk melakukan itu, pada tahun 2100 korban tewas terkait panas bisa meningkat di atas 100.000 orang per tahun di AS. Di tempat lain, ancamannya jauh lebih besar. Di India, misalnya, jumlah korban tewas bisa mencapai 1,5 juta orang, menurut hasil penelitian terbaru.

Panas ekstrem memiliki efek merusak bahkan ketika tidak mematikan. Para peneliti menghubungkan suhu yang lebih tinggi dengan insiden yang lebih besar dari bayi prematur, berat badan kurang, dan lahir mati. Selain itu, kelelahan akibat panas mempengaruhi suasana hati, perilaku, dan kesehatan mental.

 

 

Cuaca yang lebih panas membuat orang lebih kejam, di seluruh tingkat pendapatan. Gelombang panas juga menurunkan nilai ujian anak-anak dan menyusutkan produktivitas.

Organisasi Buruh Internasional memperkirakan bahwa tingkat panas yang tinggi, pada tahun 2030, akan memangkas total jam kerja sebesar 2,2 persen. Angka ini setara dengan kehilangan 80 juta pekerjaan penuh waktu, yang sebagian besar akan terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah.

Di negara-negara kaya, para pekerja luar ruangan berupah rendah —di bidang konstruksi atau pertanian, misalnya— juga akan terpukul keras. Pada tahun 2050, panas dan kelembapan yang tinggi di Amerika Tenggara kemungkinan akan membuat seluruh musim tanam “tidak aman untuk pekerjaan pertanian dengan praktik kerja saat ini,” menurut para peneliti dari University of Washington.

Manusia, bersama dengan tanaman dan ternak mereka, berevolusi selama 10.000 tahun terakhir di ceruk iklim yang agak sempit, berpusat pada suhu rata-rata tahunan sekitar 55 derajat Fahrenheit atau hampir 12,8 derajat Celsius. Tubuh kita siap beradaptasi dengan suhu yang lebih tinggi, tetapi ada batasan seberapa banyak panas dan kelembapan yang bisa kita toleransi.

Bahkan orang-orang yang paling cocok dan terbiasa dengan panas akan mati setelah beberapa jam terpapar suhu "bola basah" 95 derajat. Suhu bola basah adalah ukuran gabungan suhu dan kelempaban yang mempertimbangkan efek dingin dari penguapan.

Baca Juga: Gambar Cadas Purbakala di Sulawesi Terancam Rusak oleh Perubahan Iklim

Gelombang panas 2018 yang menyerang hampir semua negara di dunia membuat Bumi tampak seperti bola api. (Climate Change Institute)

 

Pada titik 95 derajat ini, udara sangat panas dan lembap sehingga tidak bisa lagi menyerap keringat manusia. Berjalan jauh dalam kondisi seperti ini, apalagi memanen tomat atau mengisi lubang jalan raya, bisa berakibat fatal. Model iklim memprediksi bahwa suhu bola basah di Asia Selatan dan sebagian Timur Tengah akan, dalam kira-kira 50 tahun, secara teratur melebihi patokan kritis terseut.

Pada saat itu, menurut sebuah studi tahun 2020 yang mengejutkan di Proceedings of the National Academy of Sciences, sepertiga dari populasi dunia, yakni di Afrika, Asia, Amerika Selatan, dan Australia, akan tinggal di tempat-tempat yang terasa seperti Sahara saat ini. Rata-rata suhu tinggi di musim panas di Sahara sekarang mencapai 104 derajat Fahrenheit. Sebagai gambaran, suhu udara tertinggi di Jakarta pada siang hari biasanya hanya mencapai 30 derajat Celsius atau 86 derajat Fahrenheit, tapi banyak orang sudah mengeluh betapa panasnya ibu kota kita ini.

Baca Juga: Gunung Es Seluas Pulau Bali dan Seberat 1 Triliun Ton Mencair Hilang

 

Akibat banyaknya wilayah dunia sudah sepanas Sahara itu, kelak miliaran orang akan menghadapi pilihan yang sulit: Bermigrasi ke wilayah dengan iklim yang lebih dingin, atau tetap tinggal dan beradaptasi. Mengurung diri di dalam dalam ruang ber-AC adalah salah satu solusi yang jelas. Namun AC itu sendiri, dalam bentuknya saat ini, turut berkontribusi pada pemanasan planet ini. Selain itu, harga AC juga tidak terjangkau bagi banyak orang yang paling membutuhkannya.

Masalah panas ekstrem terkait erat dengan masalah sosial yang lebih besar, termasuk akses ke perumahan, air, dan perawatan kesehatan. Ini seperti masalah dari neraka. Jadi jika kita masih meremehkan dampak pemanasan global dan tak kunjung berusaha mencegahnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, perlahan-lahan kita akan menghadapi masalah neraka itu dan generasi keturunan kita akan lebih menanggung akibatnya pula.