Penggunaan Ivermectin sebagai Obat COVID-19 Sedang Diuji oleh Oxford

By Utomo Priyambodo, Rabu, 23 Juni 2021 | 16:00 WIB
Ilustrasi uji klinis. ()

Nationalgeographic.co.id—Para peneliti di Inggris sedang mencari tahu apakah ivermectin yang biasanya digunakan sebagai obat cacing parasit dapat juga digunakan untuk mengobati mereka yang terinfeksi COVID-19.

Di Indonesia, polemik penggunaan ivermectin untuk pengobatan COVID-19 sedang mengemuka menyusul ucapan Menteri BUMN Erick Thohir yang memperkenalkan ivermectin sebagai obat pencegahan dan terapi COVID-19 yang telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM kemudian membantah dan mengatakan bahwa izin edar ivermectin adalah untuk obat cacing, bukan obat COVID-19.

Dalam sebuah studi percontohan (pilot study), ivermectin tercatat dapat mengurangi viral load dan durasi gejala pada pasien dengan Covid-19 ringan. Obat tersebut juga dapat mengurangi replikasi virus corona, menurut analisis di laboratorium.

Para peneliti dari University of Oxford kemudian ingin mengecek studi percontohan itu dengan melakukan studi yang lebih besar. Studi bertajuk Principle, yang dipimpin oleh University of Oxford ini, akan melihat kemanjuran pengobatan menggunakan ivermectin yang telah dilakukan di Amerika Latin dan Afrika Selatan selama pandemi.

Penggunaan ivermectin telah menjadi kontroversial karena ada "sedikit bukti ... untuk menunjukkan bahwa itu dapat mempercepat pemulihan dari penyakit atau mengurangi rawat inap" dalam studi acak skala besar, menurut para peneliti Oxford.

Baca Juga: Studi Baru: Ada Jaringan Otak yang Hilang dari Para Penyintas COVID-19

Profesor Chris Butler, dari Nuffield Department of Primary Care Health Sciences di University of Oxford, mengatakan penelitian ini akan menguji kemanjurannya. “Ivermectin sudah tersedia secara global, telah digunakan secara luas untuk banyak kondisi menular lainnya sehingga ini adalah obat terkenal dengan profil keamanan yang baik, dan karena hasil awal yang menjanjikan dalam beberapa penelitian, itu sudah banyak digunakan untuk mengobati Covid-19 di beberapa negara," ujar Butler seperti dilansir Evening Standard.

“Dengan memasukkan ivermectin dalam uji coba skala besar seperti Principle, kami berharap dapat menghasilkan bukti kuat untuk menentukan seberapa efektif pengobatan ini terhadap Covid-19, dan apakah ada manfaat atau bahaya yang terkait dengan penggunaannya.”

Studi ini merupakan bagian dari studi yang lebih luas yang mengevaluasi metode-metode pengobatan yang dapat membantu orang-orang berusia di atas 50 tahun utuk pulih lebih cepat dari infeksi virus corona dan mencegah orang-orang yang terpapar virus corona itu mengalami kondisi perburukan sehingga harus masuk rumah sakit. Ivermectin adalah obat ketujuh yang dianalisis dalam studi Principle ini.

Dalam studi ini, para peserta akan diberikan pengobatan dengan ivermectin selama tiga hari dan kemudian ditindaklanjuti selama 28 hari dengan perbandingan yang diambil terhadap mereka yang telah diberikan perawatan standar National Health Service (NHS), badan kesehatan Inggris.

Baca Juga: Alfa hingga Delta: Bagaimana Bisa Virus Corona Memiliki Banyak Varian?

 

 

Ide penggunaan ivermectin sebagai obat COVID-19 tidak hanya mengemuka di Indonesia dan Inggris, tapi juga di Amerika Serikat. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (U.S. Food and Drug Administration/FDA) menyatakan tidak menganjurkan penggunaan ivermectin ini karena belum lolos uji klinis.

"Mengingat jumlah kematian yang terjadi akibat penyakit (COVID-19) ini, mungkin tidak mengherankan bahwa beberapa konsumen mencari pengobatan yang tidak konvensional, tidak disetujui atau disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA)," tulis FDA dalam laman resmi mereka.

"Meskipun ini dapat dimengerti, harap berhati-hati," tegas mereka. "Tugas FDA adalah dengan hati-hati mengevaluasi data ilmiah pada suatu obat untuk memastikan bahwa itu aman dan efektif untuk penggunaan tertentu, dan kemudian memutuskan apakah akan menyetujuinya atau tidak. Menggunakan pengobatan apa pun untuk COVID-19 yang tidak disetujui atau disahkan oleh FDA, kecuali bagian dari uji klinis, dapat menyebabkan bahaya serius."