Hari Mikrobioma Sedunia: Sains Mikrobioma & Tradisi Rempah Nusantara

By Fikri Muhammad, Minggu, 27 Juni 2021 | 09:10 WIB
Kita harus mengonsumsi rempah makanan yang kaya akan mikroba baik untuk menjaga tubuh kita tetap sehat. (Pete Gamlen)

Nationalgeographic.co.id—Mengapa mikrobioma menjadi penting? Kita umumnya percaya bahwa bakteri dan virus sudah pasti jahat bagi manusia. Namun "Kita tidak 100 persen manusia, lebih dari setengah sel kita adalah mikrobioma, yaitu kumpulan sel genetika dari sel bakteri, viru, jamur, dan juga arkea," ucap Sharlini Eriza Putri, Founder & CEO Nusantics di Bincang Redaksi-28 National Geographic Indonesia bertajuk Sains Mikroba dalam Tradisi Rempah Nusantara.

Banyak yang kita tidak ketahui mengenai mikrobioma. Ironinya, lanjut Sharlini, tanpa mereka yang beragam dan vervariasi imunitas kita berkompromi. Variasi mikrobioma dapat meningkat setelah diet yang tinggi variasi. Sayur lodeh atau gado-gado setidaknya amat baik bagi mikrobioma dan imunitas. 

"Kita memiliki tubuh yang terdiri dari beberapa warga negara yaitu mikrobioma. Kearifan Indonesia akan rempah mampu menanggulangi mikrobioma lebih seimbang," ucap Sharlini. 

 

 

Robin Marantz pernah menulis Kunci Kesehatan Tubuh di Triliunan Mikrob yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Januari 2020. Di sana dikatakan bahwa mikrobioma berpengaruh pada bayi yang baru lahir. 

Dari sampel 300 bayi, ada bakteri di dalam perut mereka dan memengaruhi karakter serta tempramen mereka. Bayi yang terlahir dengan normal dan caesar berbeda. Bayi yang normal akan bersentuhan dengan mikrobioma ibunya, menjadikanya lebih kuat. 

Sedangkan bayi yang terlahir caesar kurang bersentuhan dengan mikrobioma ibunya, maka muncullah kasus seperti alergi dan lainnya. 

"Mikrobioma mengikuti perjalanan kita dari lahir sampai menua," ucap Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia yang mempresentasikan tulisan Marantz.

Kita, menurut Didi, luput dengan hal-hal yang kecil. Bahwa mikrobioma membentuk siapa diri kita, ia membentuk sebuah proses dan membuat otak kita bereaksi. Organisme kecil ini berdampak atas tindakan kita. 

"Sebagian besar mikrobioma ada di usus besar kita, lalu kemudian banyak proses yang dipengaruhi mikrobioma. Jadi memang ketika mereka memberikan sinyal kepada otak dan melihat ada ancaman ada alert system dari mikrobioma. Jika kita sudah kenyang, sakit, atau senang juga bagian dari mikrobioma," tutur Didi. 

Baca Juga: Narasi Sepanjang Jalur Rempah, Perjalanan Upaya Demi Mencari Indonesia

Kayu manis merupakan sumber dari mangan, zat besi, kalsium, serat dan mengandung beberapa zat yang dibutuhkan tubuh kita. (Thinkstock)

Ingrid Suryanti Surono, Guru Besar bidang Teknologi Pangan Universitas Bina Nusantara, mengatakan bahwa istilah mikrobioma manusia dengan mikrobiota berbeda. Mikrobioma adalah kumpulan material genetik dari semua mikroba dan terkait dengan gen dan komposisi genetik.

Semua mikroba yang ada di dalam tubuh kita dan gen sendiri disebut mikroba manusia. 

Lalu, apa itu mikrobiota? ia adalah keseluruhan populasi dan berada di lokasi tertentu, misalnya ada di tubuh manusia, hewan, tanaman, dan lainnya. 

"Tubuh kita, kalau diibarat sebagai planet maka banyak sekali alien yang hidup. Ada lebih dari 100 triliun sel dan tubuh kita hanya 10 persen dari jumlah mikrobiota yang ada di tubuh kita. Jadi kita hanya 10 persen manusia, artinya sangat bergantung pada mahluk alien yang ada di tubuh kita," kata Ingrid. "Bagaimana kita mengatur untuk jadi sehat dan bahagia dan mengarah pada mikrobioma yang sehat?" Lanjutnya.

Baca Juga: Memahami Peran Mikrobioma dalam Kehidupan dan Tradisi Rempah Nusantara

 

 

 

Tidak ada satupun makanan yang seratus persen steril menurut Ingrid. Ada lebih dari 100 spesies sel dalam saluran cerna kita dan ini semua membentuk mikrobioma manusia. 80 persen sel imun, ada dalam saluran cerna manusia. Saluran cerna bisa mengatur otak kita. 

Mengarah pada mikrobioma yang sehat, kita bisa menghambat pertumbuhan mikroba jahat dengan rempah menurut Inggrid. "Makanya makanan tradisional awet karena kaya akan bumbu," ucapnya. 

Pangan fermentasi tradisional Indonesia secara umum didominasi oleh bakteri asam laktat dan difermentasi secara spontan, tutur Ingrid. "Kecuali kalau sudah dijadikan industri besar. Seperti misalnya tempe."

Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka

Tidak ada satupun makanan yang seratus persen steril menurut Ingrid. Ada lebih dari 100 spesies sel dalam saluran cerna kita dan ini semua membentuk mikrobioma manusia. 80 persen sel imun, ada dalam saluran cerna manusia. Saluran cerna bisa mengatur otak kita. (GENENGNEWS)

 

Dadih, adalah susu fermentasi tradisional berbahan susu kerbau yang kaya akan mikroba baik. Inggrid yang meneliti bakteri asam laktat dari dadih melihat, walaupun proses pembuatanya tidak higienis tapi bukan berarti itu adalah produk gagal.

Ingrid yakin tidak ada yang sakit mengonsumi dadih. Tandanya apa? berarti ada sesuatu yang amat kuat yang melindungi kita, mikroba yang secara spontan tumbuh bisa melawan semua bakteri cemaran atau cemaran patogen.

"Semakin banyak ragam mikrobiota yang ada di saluran cerna kita maka akan mengakibatkan kita semakin sehat. Dalam bakteri yang mengandung asam laktat akan menghasilkan senyawa bioaktif," tuturnya. 

Baca Juga: Kemukus, Si Emas Hitam yang Nyaris Hilang di Jalur Rempah Nusantara

Keterkaitan rempah dan mikrobioma nampaknya masih butuh banyak perhatian dengan penelitian-penelitian baru. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan mengatakan bahwa manusia dan lingkungan terkumpul pada satu elemen penting dari tradisi, yakni tentang pangan. 

"Jalur rempah membutuhkan interdisiplin. Tidak hanya terbatas pada institusi science moderen," ucap Hilmar.

Kebudayaan, manusia, dan lingkungan adalah hal yang tak terpisahkan. Banyak pola yang diteruskan yang kita sebuh sebagai tradisi. Elemen penting dari tradisi adalah tentang pangan menurut Hilmar. 

"Mengapa tradisi penting? tradisi adalah laboratory survival. Ia sudah diuji coba oleh berbagai generasi. Kenapa penting bagi kita mempelajari tradisi secara sungguh-sungguh," ucap Hilmar. 

Senada dengan pendapat di atas, Nurdiyansah Dalidjo, Penulis Buku Rumah di Tanah Rempah berkata bahwa makanan Indonesia kaya bukan semata-mata karena alamnya namun juga budayanya. Hal ini berproses lewat begitu banyak waktu di berbagai wilayah Nusantara. 

Lada misalnya, pada era pertengahan dikenal sebagai sebutan emas hitam. Karena transportasi dan keterhubungan antar bangsa amat langka dan sulitlah penyebab mahalnya harga lada.

Baca Juga: Ilmuwan Temukan Mikrob yang Bisa Mengurai Sampah Plastik, Seperti Apa?

Jenis-jenis mikroba yang kini hidup di usus manusia ternyata jauh kurang beragam dibandingkan 2.000 tahun yang lalu. (Thinkstockphoto)

Di era perdagangan rempah, satu genggam lada seharga satu rumah mewah di London tutur Nurdiyansah. "Dengan cerita mitos tentang lada, harganya semakin tinggi."

Budaya dan mitos sering beriringan. Plorentina Dessy, Founder Yayasan Arus Kualan, mengatakan bahwa di budaya Dayak, jika hendak berkegiatan di hutan, seperti mencatat tanaman obat atau jamur, ada kegiatan tertentu untuk menghormati roh hutan. 

Banyak tradisi rempah dalam obat-obatan ada dalam makanan tradisional Dayak. Resep ini diturunkan oleh para orang tua. "Banyak tumbuhan yang jadi obat walau tidak tahu kandungan tapi tahu khasiatnya. Masyarakat Dayak ada karena hutan, jika hutan hilang maka adatnya hilang," tutur  Plorentina. 

Rempah kaya akan mikroba baik. Mikroba baik harus lebih banyak daripada mikroba yang tidak kita kehendaki. Tidak ada namanya kelebihan mikroba tetapi harus di atur, tutur Inggrid.

"Lebih banyak mikroba yang tidak kita tak kehendaki di tubuh kita akan sakit. Kita harus mengonsumsi rempah makanan yang kaya akan mikroba baik," tutur Ingrid. 

Baca Juga: Kayu Manis, Bagaimana Kitab Suci dan Kita Memuliakan Rempah Ini?