Riset Menunjukkan Kita Tak Bisa Mengakali Penuaan dan Kematian

By Utomo Priyambodo, Rabu, 30 Juni 2021 | 20:30 WIB
Bagi sebagian orang, kematian adalah hal yang menakutkan. (Yuriria/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah riset memberikan wawasan baru tentang teori penuaan. Riset ini dipimpin oleh Fernando Colchero dari University of Southern Denmark dan Susan Alberts dari Duke University di North Carolina, yang melibatkan para peneliti dari 42 institusi di 14 negara. Mereka menyatakan bahwa setiap spesies memiliki tingkat penuaan yang relatif tetap.

"Kematian manusia adalah keniscayaan. Tidak peduli berapa banyak vitamin yang kita konsumsi, seberapa sehat lingkungan kita atau seberapa banyak kita berolahraga, pada akhirnya kita akan menua dan mati," ujar Fernando Colchero.

Fernando Colchero adalah seorang ahli dalam menerapkan statistik dan matematika untuk biologi populasi dan seorang profesor di Departemen Matematika dan Ilmu Komputer di University of Southern Denmark.

"Kami mampu menjelaskan hipotesis laju penuaan invarian dengan menggabungkan banyak data yang tidak terjsajikan dan membandingkan pola kelahiran dan kematian pada sembilan populasi manusia dengan informasi dari 30 populasi primata non-manusia, termasuk gorila, simpanse, dan babun yang hidup di alam liar dan di kebun binatang," papar Fernando Colchero.

 

Untuk mengeksplorasi hipotesis tersebut, para peneliti dalam riset ini menganalisis hubungan antara angka harapan hidup dan kesetaraan umur. Angka harapan hidup adalah usia rata-rata di mana individu meninggal dalam suatu populasi. Sementara kesetaraan umur adalah angka mengukur bagaimana kematian terkonsentrasi di sekitar usia yang lebih tua.

Hasil riset mereka menunjukkan bahwa, dengan meningkatnya angka harapan hidup, tingkat kesetaraan umur pun naik. Jadi, kesetaraan umur sangat tinggi ketika sebagian besar individu dalam suatu populasi cenderung meninggal pada usia yang hampir sama seperti yang diamati di Jepang atau Swedia moderen, yaitu sekitar 70-an atau 80-an tahun.

Namun, pada tahun 1800-an kesetaraan umur sangat rendah di kedua negara tersebut. Sebab, kematian kurang terkonsentrasi pada usia tua atau kesetaraan umurnya rendah sehingga mengakibatkan angka harapan hidup di sana juga lebih rendah.

Baca Juga: Empat Perubahan Gaya Hidup Ini Bisa Meningkatkan Angka Harapan Hidup

Orang-orang di Okinawa, Jepang, cenderung memiliki umur panjang. (mykeyruna/Getty Images/iStockphoto)

"Angka harapan hidup telah meningkat secara dramatis dan masih terjadi di banyak bagian dunia. Tetapi ini bukan karena kita telah memperlambat laju penuaan kita. Alasannya adalah semakin banyak bayi, anak-anak, dan remaja yang bertahan hidup dan ini meningkatkan rata-rata angka harapan hidup," beber Fernando Colchero, seperti dikutip dari laman resmi University of Southern Denmark.

Penelitian sebelumnya dari beberapa peneliti dalam riset terbaru in telah mengungkap juga keteraturan yang mencolok antara angka harapan hidup dan kesetaraan umur di antara populasi manusia dari negara-negara Eropa pra-industri, kelompok pengumpul pemburu, hingga negara-negara industri moderen.

Namun, dengan menjelajahi pola-pola ini di antara kerabat terdekat kita, yakni para primana non-manusia, riset terbaru ini menunjukkan bahwa pola ini mungkin universal di antara primata. Selain itu, riset ini juga memberikan wawasan unik tentang mekanisme yang menghasilkan keteraturan tersebut.

“Kami mengamati bahwa tidak hanya manusia, tetapi juga spesies primata lain yang terpapar lingkungan berbeda, yang berhasil hidup lebih lama dengan mengurangi kematian bayi dan remaja mereka. Namun, hubungan ini hanya berlaku jika kita mengurangi kematian dini, dan bukan dengan mengurangi laju penuaan," ungkap Fernando Colchero.

 

Baca Juga: Manusia Tertua Berusia Lebih Dari 100 Tahun, Sebenarnya Berapa Lama Kita Bisa Hidup?