Nationalgeographic.co.id—Para insinyur di MIT dan Harvard University merancang masker-masker wajah baru yang dapat mendekteksi infeksi COVID-19 para pemakainya. Para peneliti mengklaim proses diagnosis atau deteksi ini dapat dilakukan dalam waktu sekitar 90 menit.
Dalam masker ini disematkan sensor kecil sekali pakai yang dapat dipasang ke masker wajah lain dan juga dapat disesuaikan untuk mendeteksi virus lain. Sensor didasarkan pada mesin seluler beku-kering yang sebelumnya dikembangkan oleh tim peneliti untuk digunakan dalam diagnosa kertas untuk virus seperti Ebola dan Zika.
Dalam laporan studi baru yang terbit di jurnal Nature Biotechnology pada akhir Juni, para peneliti menunjukkan bahwa sensor itu tidak hanya dapat dimasukkan ke dalam masker, tetapi juga ke dalam pakaian seperti jas lab. Inovasi ini berpotensi menawarkan cara baru untuk memantau paparan para petugas kesehatan terhadap berbagai patogen atau ancaman lainnya.
"Kami telah menunjukkan bahwa kami dapat membekukan berbagai sensor biologi sintetis untuk mendeteksi asam nukleat virus atau bakteri, serta bahan kimia beracun, termasuk racun saraf. Kami membayangkan bahwa platform ini dapat mengaktifkan biosensor yang dapat dipakai generasi berikutnya untuk para responden pertama, para personel perawatan kesehatan, dan para personel militer," kata James Collins, Profesor Teknik dan Ilmu Medis dari Institute for Medical Engineering and Science (IMES) di MIT yang menjadi penulis senior dalam studi ilmiah ini, seperti dilansir SciTechDaily.
Sensor masker wajah ini dirancang agar dapat diaktifkan oleh pemakainya saat mereka siap melakukan pengujian. Hasil diagnosis dari sensor tersebut hanya ditampilkan di bagian dalam masker untuk menjaga privasi penggunanya.
Sensor dan masker wajah diagnostik dibuat berdasarkan teknologi yang mulai dikembangkan Collins beberapa tahun lalu. Pada tahun 2014, ia menunjukkan bahwa protein dan asam nukleat yang diperlukan untuk membuat jaringan gen sintetis yang bereaksi terhadap molekul target tertentu dapat dimasukkan ke dalam kertas, dan ia menggunakan pendekatan ini untuk membuat diagnosa kertas untuk virus Ebola dan Zika. Bekerja dengan laboratoium Feng Zhang pada tahun 2017, Collins mengembangkan sistem sensor bebas sel lainnya, yang dikenal sebagai SHERLOCK, yang didasarkan pada enzim CRISPR dan memungkinkan untuk mendeteksi asam nukleat dengan sangat sensitif.
Komponen sirkuit bebas sel ini dibekukan dan tetap stabil selama berbulan-bulan, sampai direhidrasi. Ketika diaktifkan oleh air, mereka dapat berinteraksi dengan molekul target mereka, yang dapat berupa urutan RNA atau DNA, serta jenis molekul lainnya, dan menghasilkan sinyal seperti perubahan warna.
Baru-baru ini, Collins dan rekan-rekannya mulai bekerja untuk menggabungkan sensor-sensor ini ke dalam tekstil, dengan tujuan menciptakan jas laboratorium untuk para petugas kesehatan atau orang-orang lainnya yang berpotensi terpapar patogen.
Baca Juga: Studi Baru: Ada Jaringan Otak yang Hilang dari Para Penyintas COVID-19
Untuk membuat sensor-sensor yang dapat dipasang ke dalam tekstil, para peneliti menyematkan komponen-komponen beku-kering mereka itu ke dalam bagian kecil dari kain sintetis melingkupinya dengan cincin elastomer silikon. Kompartemenalisasi ini mencegah sampel menguap atau menyebar jauh dari sensor. Untuk mendemonstrasikan teknologi ini, para peneliti membuat jaket yang disematkan dengan sekitar 30 sensor tersebut.
Mereka menunjukkan bahwa percikan kecil cairan yang mengandung partikel virus, meniru paparan pasien yang terinfeksi, dapat menghidrasi komponen-komponen sel beku-kering dan mengaktifkan sensor. Sensor-sensor itu dapat dirancang untuk menghasilkan berbagai jenis sinyal, termasuk perubahan warna yang dapat dilihat dengan mata telanjang, atau sinyal fluoresens atau luminesens, yang dapat dibaca dengan spektrometer genggam. Para peneliti juga merancang spektrometer yang dapat diintegrasikan ke dalam kain, di mana alat itu dapat membaca hasilnya dan mengirimkannya secara nirkabel ke perangkat seluler.
"Ini memberi Anda siklus umpan balik informasi yang dapat memantau paparan lingkungan Anda dan mengingatkan Anda dan orang lain tentang paparan dan di mana itu terjadi," ujar Peter Nguyen, seorang ilmuwan peneliti dari Wyss Institute for Biologically Inspired Engineering di Harvard University yang menjadi penulis utama dalam studi ini.
Baca Juga: Empat Varian Covid-19 Ada di Jakarta, Perlukah Dosis Vaksinasi Ketiga?
Ketika para peneliti menyelesaikan pekerjaan mereka atas sensor-sensor yang dapat dipasang di pakaian ini pada awal tahun 2020, Covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia. Karena kondisi pandemi ini, mereka kemudian dengan cepat memutuskan untuk mencoba menggunakan teknologi mereka untuk membuat alat diagnostik virus SARS-CoV-2.
Untuk memproduksi masker wajah diagnostik mereka ini, para peneliti menyematkan sensor-sensor SHERLOCK beku-kering ke dalam masker kertas. Seperti halnya sensor yang dapat dikenakan, komponen-komponen beku-kering ini dikelilingi oleh elastomer silikon. Dalam hal ini, sensor-sensor ditempatkan di bagian dalam masker, sehingga dapat mendeteksi partikel virus dalam napas orang yang memakai masker.
Masker ini juga menyertakan reservoir kecil air yang dapat dilepaskan dengan menekan sebuah tombol saat pemakainya siap untuk melakukan tes. Air ini akan menghidrasi komponen-komponen beku-kering dari sensor SARS-CoV-2 tersebut, unutk kemudian menganalisis akumulasi tetesan napas di bagian dalam masker dan memberikan hasil diagnosinya dalam waktu 90 menit.
“Tes ini sama sensitifnya dengan tes PCR yang sangat sensitif, tetapi secepat tes antigen yang digunakan untuk analisis cepat Covid-19,” klaim Nguyen.
Para peneliti telah mengajukan paten atas teknologi ini dan mereka sekarang berharap untuk bekerja dengan perusahaan-perusahaan swasta untuk mengembangkan sensor-sensor ini lebih lanjut.
Baca Juga: Data Twitter Bisa Bantu Prediksi Wilayah yang Akan Terdampak COVID-19