Selepas Jepang bertekuk lutut, seperti telah banyak diketahui, Belanda menggelar dua kali Agresi Militer I dan II, dibarengi dengan berbagai perundingan. Hakikatnya: Belanda berniat kembali menguasai Indonesia. Selama masa awal kemerdakaan dan zaman Agresi, kaum pergerakan merespon dengan menguasai industri minyak yang ditinggalkan Jepang.
Sumatera bagian Utara para pejuang Laskar Minyak mengambil alih lapangan minyak milik Bataafsche Petroleum Maatschappij. Jepang menyerahkan Pangkalan Brandan—yang dibangun De Koninlijke—kepada Residen Abdul Karim MS dan Luat Siregar sebagai wakil Republik Indonesia. Laskar Minyak lantas membentuk Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia, yang mengoperasikan instalasi yang telah dikuasai.
Geliat penguasaan lapangan minyak terus berlangsung. Di Aceh, Perusahaan Minyak Republik Indonesia atau Permiri, memegang kendali kilang Langsa dengan kapasitas 40 ton sehari. Permiri menangguk minyak bumi dari lapangan Rantau, Serang Jaya, Julu Rajeu Darat, Pelaga Said, Rantau Panjang, Perlak, Arubai Uebong dan Pase. Nasib berbeda dialami kilang Plaju, Sumatera Selatan. Kilang untuk mengolah minyak dari lapangan seputar Palembang ini dihancurkan pejuang Indonesia dalam pertempuran sengit dengan tentara Belanda.
Begitu juga, Angkatan Pemuda Indonesia Minyak juga menguasai kilang Sungai Gerong. Nasib tambang-tambang minyak di Jawa tak jauh beda dengan yang di Sumatera. Panitia 15 mengambil alih ladang minyak di Cepu dan sekitarnya. Perusahaan Tambang Minyak Negara mengelola ladang minyak di Ledok, Nglobo, Kawengan, dan Semanggi. Sementara itu, Belanda bisa menguasai kembali kilang minyak Wonokromo.
Situasi Indonesia saat itu belum benar-benar tertata. Belanda masih saja menghendaki kembalinya ladang-ladang minyaknya yang dulu. Setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949, kilang minyak Cepu dan lapangan Kawengan, Ledok, Semanggi dan Nglobo dikembalikan kepada Bataafsche Petroleum Maatschappij sebagai pemilik awal.
Meski begitu, Perusahaan Tambang Minyak Negara masih memegang kendali lapangan minyak yang lain. Hingga akhirnya, Republik Indonesia menguasai dua wilayah industri perminyakan: Permiri di Langsa dan Cepu Barat.
Setelah melewati berbagai pergolakan, pemerintah Indonesia membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan pada 1951. Salah satu tugas Panitia Negara itu adalah memberi pertimbangan tentang sengketa dalam tambang minyak. Pada awal 1956, pemerintah Republik Indonesia menghapus perjanjian Konferensi Meja Bundar. Panitia Negara bertugas memberi pertimbangan soal Tambang Minyak Sumatera Utara.
Pada tahun itu juga, Indonesia mengatur pengawasan tambang minyak di Aceh dan Sumatera Utara, yang dikenal sebagai Tambang Minyak Sumatera Utara itu. Demi kepentingan rakyat banyak, pemerintah pusat mengambil alih urusan Tambang Minyak Sumatera Utara. Lantas pemerintah, lewat Angkatan Darat, membentuk PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PT ETMSU). Ibnu Sutowo sebagai pemegang saham atas nama pemerintah. Tak lama kemudian, PT ETMSU berubah nama menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT Permina).