Kiprah Tionghoa dalam Perkembangan Institut Teknologi Bandung

By Eric Taher, Rabu, 7 Juli 2021 | 19:00 WIB
Foto Technische Hoogeschool te Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) yang diambil sekitar tahun 1930. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Sejarah dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tidak lepas dari kontribusi orang Tionghoa. Selain membantu pendiriannya, orang Tionghoa juga membantu sebagai tenaga pengajar dari masing-masing ilmu yang didalaminya.

Kiprah Tionghoa di ITB menjadi bahasan oleh Roemah Bhinneka dalam webinar Seabad Jejak Tionghoa di ITB. Webinar ini mendatangkan sejumlah alumni ITB sebagai pembicara.

Jejak pembangunan ITB dapat ditelusuri dari pembentukan Het Financieel Comite voor de Stichting eener Technische Hoogeschool, atau Komite Finansial Pembangunan Sekolah Tinggi Teknik. Organisasi ini diketuai oleh Residen Batavia Hendrik Rijfsnijder, dan merupakan bentukan dari Indiesche Universiteits-Vereeniging (IUV), atau Perhimpunan Universitas di Hindia. 

"Ada tiga tokoh Tionghoa yang menjadi anggotanya," jelas Dali S. Naga, mantan Rektor Universitas Tarumanagara yang juga alumnus Teknik Elektro ITB tahun 1960. "Mereka adalah Phoa Keng Hek, Hok Hoei Kan, dan Nio Hoey Oen."

Ketiga orang Tionghoa ini memiliki latar belakang yang beragam. Phoa Keng Hek dikenal sebagai salah satu pendiri lembaga pendidikan Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tahun 1901. Sementara itu, Hok Hoei Kan merupakan anggota dari Dewan Batavia. Adapun Nio Hoey Oen sendiri adalah Kapten Tionghoa yang saat itu menjabat di Batavia.

 

 

"Ketiga tokoh tersebut berjasa besar menyiapkan pendirian ITB mulai 1914 dengan mengumpulkan uang sebesar 500 ribu gulden," jelas Djoko Gabriel. Ia merupakan alumnus yang masuk Teknik Industri ITB pada 1976, dan sempat menjadi Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Djoko mengungkapkan, dana pendirian tersebut dikumpulkan dari kontribusi masyarakat, khususnya orang Tionghoa. Dari usaha mereka, berdirilah Technische Hoogeschool te Bandung (THS) pada tahun 3 Juli 1920, yang sekarang diperingati sebagai dies natalis (hari lahir) ITB.

Pada awal pendiriannya, THS hanya membuka jurusan teknik sipil. Mereka menampung 28 mahasiswa yang menjadi angkatan pertama di THS. Empat di antaranya merupakan orang Tionghoa. Akan tetapi, posisi tenaga pengajar baru diisi oleh akademisi Belanda saja.

Baca Juga: Nikmati Wisata Bandung Tempo Dulu: dari Jalanan Kaya Akan Sejarah Hingga Kuliner Nan Renyah

Phoa Keng Hek, pendiri Tiong Hoa Hwee Koan, saat dianugerahi Ridder in de Order van Oranje-Nassau, 1937. (Wikipedia)

Setelah 22 tahun, kehidupan akademik di THS sempat terhenti oleh pendudukan Jepang di Hindia-Belanda. Oleh Jepang, THS diganti namanya menjadi Bandung Kogyo Daigaku. Tidak banyak catatan yang terekam pada kehidupan kampus di masa pendudukan ini.

Kegiatan THS baru kembali normal setelah Proklamasi kemerdekaan. Oleh pemerintah Indonesia, THS diubah menjadi Fakulteit Teknik, yang bersama dengan Fakulteit Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) menjadi bagian dari Universiteit Indonesia (UI) cabang Bandung.

"Pada saat itu, [jumlah perguruan tinggi] hanya segelintir dan dapat dihitung dengan jari," kata Dali. Oleh karenanya, banyak orang Tionghoa yang memilih menjadi mahasiswa di UI, termasuk di Bandung. Para mahasiswa Tionghoa dapat ditemukan di 11 jurusan UI Bandung saat itu, seperti Farmasi, Apoteker, dan Teknik Kimia.

Baca Juga: Jejak Cina Timor: Dari Cendana, Kuomintang, Hingga Masa Kini

 

Tren itu berlanjut bahkan setelah nama Institut Teknologi Bandung diresmikan pada 1959. Dalam periode 1959-1964, muncul peningkatan mahasiswa Tionghoa di jurusan Teknik Elektro dan Teknik Mesin.

Pada saat itu, mahasiswa Tionghoa lebih aktif di organisasi eksternal. Beberapa bergabung di organisasi Ta Hsueh Hsueh Sheng Hui, yakni organisasi mahasiswa peranakan Tionghoa. Adapun yang lainnya bergabung di organisasi keagamaan, seperti Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). "[Organisasi] internalnya baru aktif setelah Emil Salim membentuk Dewan Mahasiswa," kata Dali.

Baca Juga: Tanggul Laut Ramah Lingkungan dari Sabut Kelapa Ala Peneliti ITB

The Pik Sin, dosen astronomi ITB yang juga menjadi Direktur Observatorium Bosscha pada 1959-1968. (Langit Selatan)

 

Adapun beberapa dari lulusan ITB kembali mengajar ke almamater mereka. Sejumlah akademisi yang dikenal meliputi The Pik Sin, dosen jurusan astronomi yang juga merupakan Direktur Observatorium Bosscha periode 1959-1968. Begitu pun dengan Liem Keng Kie atau Ken Liem Laheru yang mengajar Teknik Mesin ITB pada 1961, serta mendirikan subjurusan Teknik Penerbangan bersama Oetarjo Diran pada 1962.

"Dari catatan yang ada, akademisi Tionghoa ini hadir di setiap fakultas di ITB," jelas Djoko. Masing-masing akademisi menjadi fondasi dari lahirnya cendekia-cendekia baru ITB, yang berperan penting dalam perkembangan sains dan teknologi di Indonesia.

Baca Juga: Temuan Fosil Stegodon trigonocephalus di Sumedang Siap Direkonstruksi