Nationalgeographic.co.id—Berabad-abad lampau, rempah-rempah Bumi Pertiwi telah melecut para petualang Eropa mengarungi samudera. Ada yang berhasil mengarah ke mandala Nusantara, ada yang tersesat ke belahan Bumi yang lain.
Ketenaran rempah menjadi daya dorong banyak pelaut datang, sekaligus mengaburkan kekayaan alam yang lain. Padahal pulau-pulau yang tersebar di Khatulistiwa ini begitu berlimpah. Lambat laun, keberlimpahan itu disadari bangsa Eropa. Dari rempah, bangsa Belanda lantas melirik ke sumber daya alam yang lain: pertanian, perkebunan, emas, timah, perak dan minyak bumi.
Minyak bumi telah dikenal dan dimanfaatkan para leluhur. Berita dari tangan kedua memuat kisah warga Nusantara telah memanfaatkan minyak bumi sejak dahulu kala. Alkisah, utusan Sriwijaya datang ke negeri Tirai Bambu membawa berbagai tanda mata. Salah satu di antaranya, berbuli-buli minyak bumi. Kisah ini terekam dalam catatan Cina pada 972. Konon, cairan itu juga diyakini ampuh untuk obat rematik dan penyakit kulit.
Ada juga kisah heroik perihal minyak bumi pada abad ke-16. Para pejuang angkatan laut Aceh dikabarkan mampu menghalau armada Portugal yang dipimpin Alfonso D’Albuquerque.
Di perairan Selat Malaka, pejuang Aceh menghujani kapal-kapal laut musuh dengan bola-bola api. Bola-bola berapi ini terbuat dari gumpalan kain yang dilumuri minyak tanah. Api melalap dua kapal Portugal yang hendak mendarat buat mencari rempah-rampah. Kali ini Portugal melarikan diri. Penulis cum petualang Belanda, Jan Huygen van Linschoten, mencatat adanya minyak bumi di Kesultanan Langkat.
Sementara belum ada kabar yang lain, zaman terus bergerak, peradaban manusia terus bergegas. Melompat hingga 1859, minyak bumi telah memasuki era baru.
Di dataran benua yang lain, terbetik kabar bahwa Edwin L. Drake mengebor minyak di Titusville, Pennsylvania. Meski menghadapi berbagai rintangan, Drake yang bekerja di Seneca Oil Company, New York, Amerika Serikat, itu berhasil menembus kandungan minyak di perut Bumi. Inilah babak baru: industri modern minyak bumi.
Sementara itu, John D. Rockefeller mendirikan Standard Oil—perusahaan minyak yang menguasai 80 persen dari distribusi produk minyak utama, terutama minyak tanah—pada 10 Januari 1870.
Baca Juga: Riwayat Industri Hulu Minyak Indonesia: Dari BPM Sampai Permina
Seorang ahli kimia di perusahaan tersebut menemukan proses kilang yang dapat memisahkan kadar belerang dari produk minyak, terutama minyak tanah yang menyebabkan minyak dengan kadar belerang tinggi dapat digunakan. Penemuan itu tercatat pada 1888.
Sekalipun telah terbentuk perusahaan induk, Standard Oil of New Jersey, yang merupakan respon terhadap undan-undang anti monopoli (Sherman Act) tahun 1890, pemerintah AS tidak senang terhadap konsentrasi kekuatan perusahaan.
Akhirnya, pada 1909, pengadilan Federal mengeluarkan keputusan bahwa Standard Oil harus dibagi menjadi perusahaan terpisah. Akan tetapi, perintah ini baru terlaksana pada 1911. Standard Oil terbagi menjadi 34 perusahaan.
Sebelum gandrung minyak melanda dunia, kira-kira pada 1850, pemerintah kerajaan Belanda membentuk sebuah komisi, utamanya untuk pertambangan di Hindia Belanda.
Baca Juga: Desa Wisata Energi Migas Wonocolo, 'Texas' di Bumi Nusantara
Dari laporan komisi pimpinan W.R. van Hovell itu, terbit Aturan Pertambangan, Koninklijke Besluit, pada 1850. Pada masa-masa ini, misalnya, sudah ada perusahaan tambang timah pemerintah di Bangka.
Meski globalisasi kala itu berjalan lambat nian, toh kabar keberhasilan Drake merembet ke seluruh dunia, dan tak luput mendarat pula di Nusantara. Kabar ini tentu disambut gembira pemerintah kolonial.
Pada 1869 saja, pemerintah Hindia Belanda telah mencatat sedikitnya 53 tempat minyak bumi merembes ke luar. Tentu saja, informasi minyak bumi bisa dibor, diciduk dan diangkut kian merangsang pemerintah.
Baca Juga: Gaylord Nelson, Peristiwa Tumpahan Minyak, dan Sejarah Hari Bumi
Telinga Jan Reerink agaknya mendengar kabar baik itu. Pada 1871 lelaki Belanda ini secara mandiri mencoba mengebor sumber minyak di Cibodas Tangat, Maja, Majalengka, Jawa Barat. Pengeboran Reerink berjalan tersendat-sendat. Selain pengalaman yang minim, alat pengeboran yang digunakan juga masih tradisional.
Untuk menembus lapisan tanah, Reerink memutar pengebornya dengan tenaga hewan—seperti menggiling tebu. Setahun kemudian, upaya pertama itu berhenti. Tak jauh dari titik lubang pertama, Reerink mencoba kembali.
Kendati tak bisa dikatakan berhasil, sumur kedua ini menghasilkan minyak bumi, sekitar 108 kilogram sehari. Sialnya, hasil itu terus menurun, dan Reerink mengakhiri usahanya. Pada masa itu, berburu minyak memang dilakukan secara coba-coba, menebak-nebak letak jantung minyak berada.
Meski begitu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan konsesi pengusahaan minyak bumi untuk Reerink pada 1873. Minyak benar-benar telah memikat hati Reerink.
Baca Juga: Sejarah Perusahaan Global dalam Eksplorasi Minyak di Hindia Belanda
Pengalaman pahit itu merangsangnya untuk belajar lebih jauh ihwal pengobaran minyak bumi. Selama sekira setahun, dia menimba ilmu pengetahuan di Amerika Serikat, yang telah menguasai teknologi eksplorasi.
Kemudian, dia membawa alat yang lebih canggih: bor bermesin uap, setara 15 tenaga kuda. Reerink mencoba kembali menggelar pengeboran di Cirebon pada 1874. Sepanjang tahun itu mata bor berputar relatif lebih cepat.
Sayangnya, hingga akhir 1874 Reerink belum menemukan tanda-tanda kandungan minyak. Keberuntungan rupanya enggan berpihak kepada Reerink. Pengeboran dihentikan. Kendati demikian, Jan Reerink dikenang sebagai pengusaha, pelopor industri perminyakan Hindia Belanda.
Baca Juga: Sepotong Jejak Budaya dan Sejarah Tarakan, Kota Minyak Hindia Belanda