Gelombang kedua
Maret hingga Mei 2021, Indonesia mengalami penyusutan kasus pagebluk dari gelombang pertamanya yang terjadi pada Desember 2020 dan Januari 2021. Saat itu pemerintah melarang mudik lebaran, dilanjutkan aturan tambahan pengetatan perjalanan.
Meski demikian, Irma Hidayana dari Lapor Covid menjelaskan regulasi yang dilakukan tidak dilakukan secara ketat. Bahkan pintu turis dari luar negeri dibuka, sehingga mengakibatkan penularan varian virus yang dapat terjadi, dan melonjaknya gelombang kedua seperti saat ini.
Ditambah lagi Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Mei 2021 mengajak masyarakat untuk Work From Bali demi memperkuat perekonomian. Kemudian bulan Juni, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga mengkampanyekan Work From Raja Ampat dengan tujuan serupa.
Berbeda dengan yang dilakukan Syafiq dan kawan-kawannya. Ketika masa jeda dari gelombang pertama, mereka mendapatkan peringatan dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) untuk mempersiapkan peralatan dan personil karena adanya kemungkinan gelombang kedua.
"Yang kita lihat dari ke-chaosan itu kemudian landai, itu yang kita waspadain adalah lonjakannya. Karena di DIY sendiri dari prokes menurun, itu yang benar-benar kita khawatirkan akan ada lonjakannya," kenang Syafiq.
Baca Juga: Alfa hingga Delta: Bagaimana Bisa Virus Corona Memiliki Banyak Varian?
Ketika gelombang kedua terjadi, lonjakan kematian pun turut meningkat. Beberapa antaranya meninggal karena minimnya akses atas fasilitas kesehatan, seperti yang terjadi di RSUP Dr Sardjito di Kabupaten Sleman awal Juli ini.
Pihak rumah sakit sendiri mengklaim bahwa kematian yang terjadi berjumlah 33 pasien. Tetapi kabar lain mengatakan jumlahnya mencapai 63 pasien akibat tak tersedianya oksigen.
Perihal ini, Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X membantah kematian tersebut akibat tak terjangkaunya oksigen.
Syafiq melaporkan bahwa adanya warga yang melakukan isolasi mandiri tewas gantung diri di Gamping, Sleman, pada Selasa (29/06/2021). Warga tersebut tewas diperkirakan karena tekanan yang dihadapi.
Ada pula yang pasien yang melakukan isolasi mandiri yang meninggal akibat minimnya akses fasilitas kesehatan. Hal itu bisa berdampak pada kondisi kejiwaannya.
"Mungkin awalnya kondisinya baik-baik saja, tetapi ketika mereka (pasien) melakukan isolasi mandiri tanpa support oleh orang sekitarnya, apa lagi yang tinggalnya sendirian, psikisnya bisa kena," terang Syafiq.
Hingga saat ini, Syafiq menjelaskan bahwa pihaknya membentuk pusat layanan aduan untuk isolasi mandiri. Tujuannya agar membantu dan memfasilitasi kebutuhan seperti alat kesehatan, hingga menyiapkan isolasi mandiri.
Tak sendirian, mereka bergandengan dengan beberapa universitas yang terafiliasi, seperti Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), UMY, dan UAD. Dengan demikian, fasilitas tempat isolasi mandiri dan personil tenaga tambahan tersedia melayani masyarakat.
Baca Juga: Efek Transplantasi Tinja pada Pasien COVID-19 Akan Diuji Klinis