Cerita Syafiq, Tim Relawan Penjemput Jenazah Covid-19 Yogyakarta

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 9 Juli 2021 | 12:00 WIB
Pemakaman yang dilakukan oleh relawan MCCC kepada jenazah pasien Covid-19 pada 27 Juni 2021. (MDMC)

Nationalgeographic.co.id - Akhir Maret tahun 2020, pagebluk Covid-19 sudah merebak di Indonesia. Banyak masyarakat berinisiatif menutup kawasan tempat tinggalnya, agar virus tak masuk bersama tamu yang datang.

Inisasi itu banyak dilakukan oleh warga di Yogyakarta, walau dilarang oleh Sultan dan Pemerintah Provinsi DIY. Tindakan warga itu pun mendulang pujian di media sosial atas inisiatifnya, dan masyarakat Indonesia lainnya terkagum.

Inisiasi juga dimiliki oleh Muhammad Syafiq Abdan Syakuri, seorang mahasiswa Universitas Mercu Buana jurusan psikologi. Dia bergabung dalam tim Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) sejak awal dan mengikuti ragam kegiatan, termasuk dekontaminasi hingga pemakaman.

Syafiq rela pergi sementara dari keluarganya di Pakem, Kabupaten Sleman, untuk tinggal lama di kantor MCCC di Kotagede, atau di kantor BPBD DIY. Sedangkan untuk bertemu orangtua, ia harus memanfaatkan waktu lowong, dan hasil hasil tes usap yang negatif.

 

"Selama pandemi udah sampai 30-an kali kayaknya, Mas, dites [usap]," ujarnya sambil terkekeh saat dihubungi National Geographic Indonesia, Rabu (07/07/2021). "Masalahnya yang mengkhawatirkan itu bukan penularan sesama tim, Mas. [Justru] penularan kepada keluarga."

Untuk istirahat malam, mereka harus tidur seadanya seperti di matras, atau sleeping bag. Walau sebenarnya tersedia kasur ranjang di kantor, Syafiq dan tim tak pernah menggunakannya demi fleksibilitas.

Sejak Juli 2020, masyarakat mulai menanyakan tentang pemakaman jenazah wabah kepada mereka. Syafiq bersama timnya pun memfokuskan diri pada penanganan jenazah hingga kini.

Syafiq mengabarkan bahwa personil dalam timnya mayoritas diisi oleh mahasiswa pula seperti dirinya. Selama tugasnya sebagai yang mengurus jenazah, bersamaan dengan perkuliahan dilakukan secara daring, semua dilakukan di dalam kantor.

Saat ada panggilan tugas menjemput jenazah, biasanya dilakukan pada malam hari. Lantaran, kala siang harus berbagi tugas dengan tim lainnya dari pihak provinsi.

Baca Juga: Mengapa Perempuan Lebih Menderita Secara Finansial Selama Pandemi?

Muhammad Syafiq Abdan Syakuri yang biasa dipanggil Syafiq, sedang melakukan persiapan di kantornya untuk menjemput jenazah yang segera dimakamkan. (koleksi foto pribadi)

Namun, berhubung aktivitas perkuliahan ditutup pada Desember 2020, bersamaan dengan peraturan di DIY mengalami perubahan, mahasiswa dari luar Yogyakarta memilih untuk pulang ke kampungnya masing-masing.

"Akhirnya DIY minim personil, yang awalnya bisa support tiga tim, kita paling jadi dua tim. Dari yang jumlah personilnya 40-an yang aktif, [kini] jadi 20-an," jelas Syafiq. Solusinya, mereka harus merekrut warga sebagai relawan sebagai tenaga tambahan. 

"Sebelumnya kita sudah ikut pemakaman juga, karena dulu sehari sekali, sehari dua kali (jenazah yang dimakamkan), dan itu enggak setiap hari. Berbeda dengan hari ini yang 10-15 kali dalam sehari," terangnya.

Cara kerja tugas tim pemakaman jenazah itu dilakukan dari penjemputan di rumah sakit atau di rumah warga. Mereka biasanya mendapatkan panggilan terlebih dahulu, dan bergandengan dengan BPBD DIY.

Setelah mendapatkan jenazah dan mendapatkan lokasi pemakaman, di sinilah kesulitan yang dialaminya terjadi. Banyak penolakan dari warga setempat untuk menerima jenazah setempat.

Terkadang, APD yang terlalu menutup dan susah bernafas, menyebabkan psikis personil bisa mengantarkan pada tindakan ceroboh, Syafiq berpendapat.

Tentu kegiatan ini merupakan hal yang melelahkan. Pekerjaannya yang ditambah permasalahan di lapangan membuat mereka harus membuat manajemen waktu dan pembagian tim yang jelas, termasuk tata kerjanya bersama BPBD.

Walau tanpa tunjangan apapun yang diberikan, Syafiq berkata bahwa timnya ikhlas sebagai relawan tanpa mengharapkan hasil materi.

"Karena yang kita lakukan ini panggilan hati, inisiatif kami sendiri," terangnya.

Baca Juga: Bagaimana Krisis Oksigen di Gelombang Kedua Pagebluk Bisa Terjadi?

Gelombang kedua

Maret hingga Mei 2021, Indonesia mengalami penyusutan kasus pagebluk dari gelombang pertamanya yang terjadi pada Desember 2020 dan Januari 2021. Saat itu pemerintah melarang mudik lebaran, dilanjutkan aturan tambahan pengetatan perjalanan.

Meski demikian, Irma Hidayana dari Lapor Covid menjelaskan regulasi yang dilakukan tidak dilakukan secara ketat. Bahkan pintu turis dari luar negeri dibuka, sehingga mengakibatkan penularan varian virus yang dapat terjadi, dan melonjaknya gelombang kedua seperti saat ini.

Ditambah lagi Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Mei 2021 mengajak masyarakat untuk Work From Bali demi memperkuat perekonomian. Kemudian bulan Juni, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga mengkampanyekan Work From Raja Ampat dengan tujuan serupa.

Berbeda dengan yang dilakukan Syafiq dan kawan-kawannya. Ketika masa jeda dari gelombang pertama, mereka mendapatkan peringatan dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) untuk mempersiapkan peralatan dan personil karena adanya kemungkinan gelombang kedua.

"Yang kita lihat dari ke-chaosan itu kemudian landai, itu yang kita waspadain adalah lonjakannya. Karena di DIY sendiri dari prokes menurun, itu yang benar-benar kita khawatirkan akan ada lonjakannya," kenang Syafiq.

Baca Juga: Alfa hingga Delta: Bagaimana Bisa Virus Corona Memiliki Banyak Varian?

Tim BPBD DIY bersama beberapa organisasi masyarakat seperti MCCC melakukan dekontaminasi di kota Yogyakarta pada 22 Juni 2021. (MDMC)

Ketika gelombang kedua terjadi, lonjakan kematian pun turut meningkat. Beberapa antaranya meninggal karena minimnya akses atas fasilitas kesehatan, seperti yang terjadi di RSUP Dr Sardjito di Kabupaten Sleman awal Juli ini.

Pihak rumah sakit sendiri mengklaim bahwa kematian yang terjadi berjumlah 33 pasien. Tetapi kabar lain mengatakan jumlahnya mencapai 63 pasien akibat tak tersedianya oksigen.

Perihal ini, Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X membantah kematian tersebut akibat tak terjangkaunya oksigen.

Syafiq melaporkan bahwa adanya warga yang melakukan isolasi mandiri tewas gantung diri di Gamping, Sleman, pada Selasa (29/06/2021). Warga tersebut tewas diperkirakan karena tekanan yang dihadapi.

Ada pula yang pasien yang melakukan isolasi mandiri yang meninggal akibat minimnya akses fasilitas kesehatan. Hal itu bisa berdampak pada kondisi kejiwaannya.

"Mungkin awalnya kondisinya baik-baik saja, tetapi ketika mereka (pasien) melakukan isolasi mandiri tanpa support oleh orang sekitarnya, apa lagi yang tinggalnya sendirian, psikisnya bisa kena," terang Syafiq.

Hingga saat ini, Syafiq menjelaskan bahwa pihaknya membentuk pusat layanan aduan untuk isolasi mandiri. Tujuannya agar membantu dan memfasilitasi kebutuhan seperti alat kesehatan, hingga menyiapkan isolasi mandiri.

Tak sendirian, mereka bergandengan dengan beberapa universitas yang terafiliasi, seperti Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), UMY, dan UAD. Dengan demikian, fasilitas tempat isolasi mandiri dan personil tenaga tambahan tersedia melayani masyarakat.

Baca Juga: Efek Transplantasi Tinja pada Pasien COVID-19 Akan Diuji Klinis