Efek Transplantasi Tinja pada Pasien COVID-19 Akan Diuji Klinis

By Utomo Priyambodo, Kamis, 8 Juli 2021 | 21:30 WIB
Sampel untuk transplantasi tinja. (Micropia)

Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan di Polandia akan segera memulai uji klinis yang tepat untuk melihat apakah transplantasi tinja benar-benar dapat membantu orang-orang pulih dari COVID-19. Keputusan itu didorong oleh hasil yang aneh dari dua pasien rumah sakit baru-baru ini di Polandia.

Kedua pasien tersebut adalah seorang pria berusia 80 tahun dengan pneumonia dan seorang pemuda berusia 19 tahun dengan imunosupresi. Keduanya menerima transplantasi tinja untuk menyembuhakan mereka dari infeksi C. difficile yang parah.

Tanpa diketahui pada saat itu, kedua pasien ini juga menderita COVID-19. Gejala-gejala COVID-19 ini mulai muncul pada mereka tak lama setelah keduanya menerima transplantasi tinja tersebut. Namun meskipun kedua orang itu sangat rentan terhadap SARS-CoV-2, kasus COVID-19 yang mereka alami hanya ringan dan demam mereka hilang hanya dalam beberapa hari.

Tidak ada cara untuk mengetahui bagaimana keduanya akan mengatasi penyakit COVID-19 tanpa transplantasi tinja tersebut. Jadi sulit untuk menentukan pemulihan cepat mereka hanya disebabkan oleh satu hal. Konon, kebetulan itu cukup menarik bagi para ilmuwan untuk menyelidiki lebih lanjut.

 

Lagi pula, ini bukan pertama kalinya para ahli mengusulkan penggunaan transplantasi tinja untuk mengobati COVID-19. Mikrobiota usus seseorang terkait erat dengan sistem kekebalannya, dan COVID-19 dapat menyebabkan gangguan yang berbeda pada saluran pencernaan.

Beberapa laporan awal lainnya menunjukkan transplantasi tinja agak dapat mengembalikan keseimbangan bakteri usus setelah mengalami COVID-19. Namun belum ada yang melakukan penelitian keras tentang apakah pengobatan itu berguna secara klinis atau bahkan aman.

Pada dasarnya, kotoran yang digunakan dalam transplantasi tinja telah disaring dengan hati-hati untuk mengobati infeksi tertentu. Namun begitu, selalu ada kemungkinan beberapa patogen berbahaya menyelinap masuk, dan dalam pandemi global prospek itu bahkan lebih berisiko.

Baca Juga: Kepunahan Massal di Usus Manusia Terungkap Berkat Kotoran 2.000 Tahun

Clostridium difficile. Bakteri yang dapat menginfeksi usus dan menyebabkan diare. Infeksi paling sering menyerang orang yang baru saja diobati dengan antibiotik. Bakteri ini dapat menyebar dengan mudah ke orang lain. (HARVARD HEALTH)

Namun demikian, para peneliti berpikir dua pemulihan cepat di Polandia cukup menjanjikan untuk mendapat eksplorasi lebih lanjut. Sebagian besar pasien yang menderita COVID-19 menunjukkan bukti virus dalam tinja mereka selama kira-kira 28 hari. Namun dalam dua kasus di Polandia baru-baru ini, materi virus itu menghilang dari sampel tinja mereka jauh lebih cepat.

Pasien pemuda berusia 19 tahun itu misalnya, meski memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, bahkan tidak perlu dirawat meski telah terinfeksi SARS-CoV-2. Pemuda itu menjadi lebih baik dengan sendirinya dalam sehari.

Sementara itu, pasien berusia 80 tahun itu telah mulai menjalani pengobatan mutakhir yang biasanya memakan waktu sekitar 10 hari. Dua hari setelah menerima transplantasi tinja, demamnya turun dan tidak pernah kambuh lagi.

Baca Juga: Fosil Tinja Berusia 6.800 Tahun Ungkap Jenis Tumbuhan yang Dimakan Moa

“Kesimpulan utama kami dari kasus-kasus ini adalah bahwa transplantasi mikrobiota tinja tampak aman dan memiliki kemanjuran yang sebanding dalam mengobati infeksi C. difficile berulang pada pasien yang juga mengindap COVID-19,” tulis para peneliti dalam sebuah laporan studi yang menjelaskan kasus tersebut. Laporan studi kasus itu telah terbit di jurnal Gut pada Juli 2021.

"Pertanyaan lebih lanjut yang lebih spekulatif adalah apakah transplantasi mikrobiota tinja dapat memengaruhi perjalanan klinis COVID-19," kata mereka seperti dilansir Science Alert.

Ada kemungkinan, misalnya, transplantasi tinja dapat meningkatkan sistem kekebalan pada mereka yang mengidap COVID-19. Transplantasi tinja tersenut memicu serangkaian perubahan molekuler dari keberadaan bakteri tertentu.

Baca Juga: Cek Kotoran Pertama Bayi Anda untuk Tahu Apakah Dia Punya Alergi

Beberapa penelitian bahkan menunjukkan mikrobioma usus dapat berdampak pada sistem pernapasan. Pada gilirannya, ini dapat meningkatkan daya tahan paru-paru terhadap COVID-19.

Sejauh ini, kita baru tahu sedikit tentang bagaimana usus memengaruhi sistem kekebalan, atau bagaimana transplantasi kotoran pada akhirnya dapat berkontribusi pada proses tersebut. Namun perlu diselidiki apakah metode pengobatan ini benar-benar dapat membantu kita dalam menyembuhkan infeksi virus yang parah. Para penulis studi kasus unik ini bermaksud untuk segera melakukan uji klinis metode ini dengan merekrut banyak sukarelawan terlebih dulu.