Bagi Martinus Miroto, penari dan pengajar di ISI Yogyakarta, pagebluk Covid-19 membawa perdebatan tentang penggunaan teknologi dalam pementasan seni. Dalam presentasinya, ia mencontohkan sebuah dilema di ranah seni tari yang ditekuninya.
"Di jurusan tari, penciptaan karya tari tugas akhir mahasiswa diarahkan dalam format tari virtual," kata Miroto. Dalam pengamatannya, tari virtual membutuhkan sinematografi dan transmisi menggunakan media komputer. Hal ini tentu berbeda dengan pertunjukan tari di panggung, yang menampilkan penari secara nyata dan berhadapan langsung dengan khalayak di tempat dan waktu yang sama.
"Sampai sekarang ini masih terjadi perdebatan akademis, apakah tari virtual merupakan seni tari atau film?" ungkapnya.
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
Oleh karenanya, ia melihat bahwa dunia seni sedang berada di persimpangan jalan. Mengutip teori perubahan dari psikolog Kurt Lewin, ia menjelaskan bahwa disrupsi ini membawa perubahan yang dibagi ke dalam tiga tahap, yakni unfreezing, changing, dan refreezing.
Baginya, disrupsi pagebluk berdampak pada mencairnya paradigma seni yang ada pada saat ini. Hal ini kemudian berdampak pada eksplorasi dan improvisasi di kalangan seni, termasuk "tari virtual".
Tahap kedua ini kemudian membawa pro dan kontra. Dalam konteks tari virtual, ia melihat bahwa akan ada kelompok yang pro dengan penggunaan teknologi, sementara ada pula kelompok konservatif yang mengkhawatirkan dampak perubahan ini. "[Perdebatan] ini menarik sekali karena memang setiap perubahan itu membawa ketidaknyamanan," tutur Miroto.
Baca Juga: Kisar, Pulau Terdepan di Indonesia yang Memiliki Kekayaan Gambar Cadas