Paus Sikat: Yang Terpuruk, Yang Berkembang

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:07 WIB

Koridor yang dilintasi Calvin dan kawanan paus sikat Atlantik Utara lainnya menjadi semakin ramai oleh kegiatan penangkapan ikan dan rute pelayaran yang sibuk. Aliran bahan pencemar yang mengalir dari muara sungai dan suara berisik di bawah air yang dihasilkan dari lalu lintas pelayaran mungkin semakin menyulitkan paus dalam berkomunikasi dan menentukan posisi sesamanya. Meskipun tidak sekentara luka akibat lunas-muka kapal, bilah baling-baling, atau peralatan penangkap ikan yang membelit tubuh paus yang menggelepar, limpahan zat kimia dan polusi suara secara berangsur-angsur berdampak negatif terhadap kesehatan paus.

Pada kurun 1980-an, jumlah bayi paus yang dilahirkan setiap tahun berjumlah sekitar 12 ekor. Jumlah ini dua kali menurun tajam pada kurun 1990-an hingga hanya tampak satu anak paus pada tahun 2000. Sejak itu, jumlah rata-ratanya meningkat hingga lebih dari 20 anak paus setahun. Akan tetapi, jumlah ini masih tetap 30 persen lebih rendah dari tingkat potensi reproduksi paus. Mengapa demikian? Jika para ilmuwan harus memandu penyelamatan spesies ini, mereka membutuhkan lebih banyak data dan jawaban. Segera.

Pada suatu pagi bulan Agustus 2006, ketika lautan ibarat sehelai kain satin yang mengalun gemulai ditembusi benang-benang perak dari langit, saya bergabung dengan Scott Kraus, wakil ketua penelitian dari Akuarium New England, dan Rosalind Rolland, seorang dokter hewan dan ilmuwan senior di lembaga itu, untuk melakukan tugas yang tak lazim di Teluk Fundy. Ketika kawanan paus tampak di kejauhan pada riak permukaan air laut yang gemerlap, Kraus mengarahkan kapal searah dengan angin ke tempat kawanan paus itu muncul sesaat di permukaan laut, memberi saya lembar data untuk mencatat pergerakan kami, kemudian meluncur zigzag menembus tiupan angin sepoi-sepoi. Rolland beranjak ke haluan. Di sampingnya ada Fargo, anjing pelacak tinja-paus terhebat di dunia.

Fargo mulai berjalan mondar-mandir dari lambung kanan ke lambung kiri kapal, lubang hidungnya mengembang. Rolland memperhatikan ekor anjing rottweiler itu. Jika ekornya mulai bergerak-gerak, artinya Fargo mencium bau tinja paus—dan Fargo dapat mencium bau itu dari jarak satu mil laut. Hssh…hssh….guk, guk. “Lambung kanan,” seru Rolland ke arah Kraus. “Sedikit lagi. Tidak, jangan terlalu jauh. Kembali ke lambung kiri. OK, sudah tercium lagi.” Seperempat jam berlalu seperti arus air di teluk. Yang saya lihat hanyalah kumpulan rumput laut. Tiba-tiba, anjing itu duduk, lalu berbalik menatap Rolland. Kami berhenti dan dari garis cakrawala samudra yang terbentang luas muncul sebongkah tinja paus, terapung-apung dan sebagian besar berada di bawah permukaan air, nyaris hilang dari penglihatan atau nyaris seluruhnya tenggelam dalam hitungan menit.!break!

Kraus menyambar serok jaring, lalu menciduk bongkahan yang “wangi” itu. Gayanya seperti orang menciduk ikan yang menakjubkan. “Pada mulanya, orang sering ragu. Lalu, terlontar lelucon yang tak terhindarkan. Tetapi, ini,” begitu ujar lelaki yang telah memimpin penelitian paus sikat Atlantik Utara selama tiga dasawarsa, “benar-benar salah satu penelitian terbaik yang pernah kami lakukan.”

Dengan teknologi masa kini, DNA dari sel usus yang terdapat dalam sampel tinja dapat menunjukkan paus yang menghasilkannya. Residu hormon yang ada dalam tinja mengungkapkan kepada Rolland kondisi umum paus itu, kondisi reproduksinya—sudah dewasa? sedang bunting? sedang menyusui?—tingkat stres, serta ada atau tidak adanya parasit.

Meskipun jumlahnya hanya sedikit, paus sikat Atlantik Utara belum tentu merupakan paus besar yang paling langka. Mungkin hanya tersisa beberapa ratus ekor paus sikat Pasifik Utara, Eubalaena japonica, yang masih diharpun secara ilegal oleh para pemburu paus Uni Soviet pada 1960-an. Namun, di belahan bumi selatan, paus sikat selatan, Eubalaena australis, telah bertambah jumlahnya dari hanya beberapa ratus pada abad ke-19 menjadi sedikitnya 10.000 ekor. Jika kerabatnya di sepanjang Pantai Timur Amerika Utara adalah paus sikat “kota”, satwa raksasa dari belahan bumi selatan ini adalah paus liar yang memberikan gambaran tentang masa depan yang lebih aman untuk kedua spesies paus sikat lainnya.

Setelah makan di perairan yang kaya-plankton di sekitar Antartika, berbagai populasi E. australis bermigrasi ke kawasan tempat paus-paus tersebut melewati musim dingin di dekat Argentina, Afrika bagian selatan, Australia bagian barat dan selatan, dan Selandia Baru sub-Antartika. Spesies tersebut terus bertambah jumlahnya dengan laju hingga 7 persen setahun. Angka ini hampir menyamai angka maksimum yang mungkin dicapai paus yang memerlukan waktu kehamilan setahun penuh, sedikitnya setahun untuk merawat, dan setahun lagi untuk menggemukkan diri, sehingga paus hanya dapat menghasilkan satu anak setiap tiga tahun sekali.!break!

Pada bulan Juli 2007, saya, Rolland, dan Kraus bergabung dengan sebuah tim menuju Kepulauan Auckland, sekitar 500 kilometer ke arah selatan Selandia Baru, melalui kawasan yang penuh badai, untuk melakukan sensus dan mengambil sampel DNA. Di kala Evohe, perahu layar kami yang panjangnya 25 meter, berlayar menuju teluk yang terlindung di antara pulau-pulau, yang ada hanyalah sinar mentari yang membasuh geladak. Kemudian, seperti para penjelajah di masa lalu, kami mengamati penduduk asli mengayuh membelah air dan mengelilingi perahu kami. Hanya saja, penduduk asli yang ini mengayuh dengan bilah ekornya dan menyemprotkan air dari kepalanya.

Sejumlah paus sikat yang penuh rasa ingin tahu menyelidiki Evohe selama berjam-jam, sementara di samping raksasa-raksasa itu tampak penguin mata kuning melompat-lompat seperti lontaran kerikil di permukaan air. Suara napas paus yang bergemuruh mengalahkan suara ombak, teriakan burung laut, dan erangan singa laut muda Selandia Baru dari koloni mereka di pantai. Sejauh mata memandang, semakin banyak paus yang berkeliling dan meluncur. Raksasa-raksasa ini lebih besar daripada paus sikat utara. Lebih dari sepersepuluhnya berpola bercak-bercak putih dan warna lainnya, memperlihatkan bermeter-meter kulit putih yang halus. Inikah masa yang sudah lalu? Pemandangan ini lebih menyerupai pemandangan surgawi. Rolland dan Krause yang belum pernah menyaksikan paus sikat selatan, tampak sangat antusias.

“Ya Tuhan! Yang satu itu paus muda tergemuk yang pernah kulihat.” (Saat menilai kondisi paus sikat utara, para ilmuwan secara khusus memperhatikan bagian yang letaknya tepat di belakang lubang sembur, di mana hewan yang lebih montok mengembangkan sebuah tonjolan lemak. Ukuran tonjolan tersebut telah terbukti menjadi sebuah pertanda yang akurat tentang kemampuan si hewan dalam bertahan hidup.) “Kita bahkan belum punya kategori untuk paus yang memiliki tonjolan lemak sebesar itu .”

“Paus-paus ini begitu bersih! Tidak ada bekas luka sedikit pun.”