Di Balik Cakrawala Biru

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:52 WIB

Petunjuk yang sangat menarik berasal dari uji kimiawi terhadap gigi beberapa kerangka. Saat itu, seperti juga sekarang, makanan dan air yang kita konsumsi pada masa kanak-kanak menyimpan oksigen, karbon, strontium, dan unsur-unsur lain di dalam gigi-tetap yang sedang tumbuh. Tanda isotop unsur-unsur ini berbeda sedikit di masing-masing tempat, sehingga jika Anda dibesarkan katakanlah di Medan, lalu menghabiskan masa dewasa Anda di Jakarta, uji isotop gigi Anda akan selalu mengungkapkan asal Sumatra Anda.

Analisis isotop menunjukkan bahwa beberapa orang Lapita yang dikuburkan di Éfaté tidak dibesarkan di sini, tapi berasal dari tempat lain. Walaupun isotop tidak bisa memastikan pulau asal mereka, jelas bahwa: pada satu titik dalam kehidupan mereka, orang-orang ini meninggalkan kampung halaman, mengarungi lautan dengan perahu, dan tak pernah kembali.

DNA yang diperoleh dengan susah payah dari tulang-tulang purba ini mungkin juga membantu menjawab salah satu pertanyaan yang paling membingungkan dalam antropologi Pasifik: apakah semua penduduk pulau Pasifik berasal dari nenek moyang yang sama atau dari banyak nenek moyang? Apakah hanya ada satu perpindahan keluar dari satu tempat tunggal di Asia ataukah beberapa perpindahan dari beberapa tempat? “Ini mewakili kesempatan terbaik yang kita miliki sejauh ini,” tutur Spriggs, “untuk mengetahui siapa kaum Lapita sebenarnya, dari mana asalnya, dan siapa keturunan terdekat mereka saat ini.”

!break!

Ada satu pertanyaan mengusik lainnya yang belum ditemukan jawabannya oleh arkeologi: bagaimana kaum Lapita menuntaskan hal yang pada masa purba itu setara dengan pendaratan di bulan, bahkan berulang kali? Belum ada yang menemukan perahu atau tiang layar mereka, yang dapat menunjukkan cara perahu mereka berlayar. Tak ada pula sejarah atau tradisi lisan dari kaum Polinesia setelahnya yang memberi pemahaman karena banyak terjalin dalam mite, jauh sebelum sejarah dan tradisi lisan itu mencapai masa Lapita.

“Yang dapat kami sampaikan dengan pasti adalah kaum Lapita memiliki perahu yang mampu mengarungi samudra dan mereka mampu melayarkannya,” ujar Geoff Irwin, profesor arkeologi di University of Auckland yang gemar berlayar. Kemampuan berlayar itu, ujar Irwin, berkemban dan diwariskan selama ribuan tahun oleh pelaut masa lebih awal yang bersusah payah berlayar melintasi kepulauan di Pasifik barat dengan penyeberangan jarak pendek dari satu pulau ke pulau lain yang saling terlihat. Petualangan yang sesungguhnya belum dimulai, hingga keturunan Lapita mendekati ujung rantai gugus pulau Solomon, karena inilah batas dunia mereka. Daratan terdekat, Kepulauan Santa Cruz, hampir 370 kilometer jauhnya dan pada sekurangnya 240 kilometer, pelaut Lapita tak bisa melihat daratan, hanya cakrawala kosong di sekelilingnya.

Namun, perjalanan pada sekitar 1200 SM itu baru berupa aktivitas pemanasan karena Santa Cruz dan Vanuatu adalah tempat yang ditemukan paling awal dan paling  mudah oleh Lapita.

Untuk mencapai Fiji sekitar satu abad kemudian, mereka harus menyeberangi samudra 800 kilometer lebih, terus berlayar hari demi hari menembus kehampaan Pasifik yang biru. Apa yang memberi mereka keberanian untuk melakukan pengarungan berbahaya seperti itu?

!break!

Penyebaran kaum Lapita ke Pasifik mengarah ke timur, berlawanan dengan arah angin pasat, ujar Irwin. Angin haluan yang menghambat itu, menurut dia, mungkin kunci keberhasilan mereka.

“Mereka dapat berlayar selama berhari-hari ke daerah yang tidak dikenal dan melakukan survei awal dengan perasaan aman karena tahu jika mereka tidak menemukan apa-apa, mereka dapat kembali dan pulang dengan cepat memanfaatkan angin pasat. Hal itulah yang membuat upaya mereka menjadi efektif.” Begitu berada di tengah laut, pelaut ulung dapat mendeteksi petunjuk yang berlimpah yang mengarahkan mereka ke daratan: burung laut dan penyu, kelapa dan ranting yang terbawa air pasang ke laut, serta gumpalan awan sore hari di cakrawala yang sering menunjukkan adanya pulau di kejauhan.

Beberapa pulau mungkin melansir keberadaannya dengan tanda yang jauh lebih samar dibandingkan gumpalan awan. Beberapa letusan terdahsyat yang terjadi dalam 10.000 tahun terakhir  di Bumi terjadi di Melanesia yang letaknya rentan di salah satu wilayah gunung api paling aktif di muka Bumi. Bahkan letusan yang tidak terlalu spektakuler pun membubungkan gumpalan asap hingga ke stratosfer dan menyebabkan hujan abu dalam radius ratusan kilometer. Mungkin saja kaum Lapita melihat tanda dari pulau-pulau yang jauh ini dan kemudian hari berlayar ke arah tersebut, memahami bahwa mereka akan menemukan daratan.

Bagi penjelajah yang pulang, berhasil maupun gagal, bentuk geografi kepulauan mereka menyediakan jaring pengaman sehingga mereka tidak akan melampaui pelabuhan asalnya tanpa disengaja dan tersasar ke laut yang tak bertepi.

Vanuatu, misalnya, terentang sepanjang 800 kilometer dari barat laut ke tenggara, puluhan pulaunya yang berada dalam jarak pandang membentuk penghalang bagi pelaut yang pulang mengikuti angin pasat.