Di Balik Cakrawala Biru

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:52 WIB
!break!

Semuanya ini mengasumsikan satu detail mendasar, kata Atholl Anderson, profesor prasejarah di Australian National University dan seperti Irwin, juga gemar berlayar: bahwa kaum Lapita telah menguasai seni yang tinggi dalam memanfaatkan angin . “Dan tak ada bukti bahwa mereka bisa melakukan hal tersebut,” kata Anderson. “Diasumsikan bahwa mereka tentu memiliki kemampuan tersebut dan orang membuat perahu untuk mengulangi pengarungan awal itu berdasarkan asumsi tersebut. Namun, tak seorang pun yang mengetahui bentuk perahu mereka dan bagaimana bentuk layarnya.”

Bagaimanapun cara mereka melakukannya, kaum Lapita menyebar ke sepertiga rentang samudra Pasifik, lalu berhenti karena alasan yang tidak kita ketahui. Di depan terbentang kehampaan Pasifik tengah yang maha luas, sementara mereka mungkin terlalu tersebar untuk bisa meneruskan perjalanan. Mereka mungkin tidak pernah berjumlah lebih dari beberapa ribu dan dalam migrasinya yang cepat ke arah timur, mereka menemukan ratusan pulau—di Fiji saja lebih dari 300. Dengan kekayaan yang melimpah ini, mereka dapat berhenti mengembara dan menikmati pulau-pulau yang saat itu menjadi surga terakhir di Bumi.

“Pasti sangat mengejutkan melihat tempat ini pada saat itu,” kata Stuart Bedford, arkeolog dari Australian National University yang bersama Matthew Spriggs memimpin penggalian di Éfaté. “Saat itu pulau-pulau ini memiliki keanekaragaman hayati yang jauh lebih banyak daripada saat ini.” Sebagai ilustrasi, dia mengambil cangkang siput lolak seukuran pinggan yang didapat dari parit uji pagi itu. “Terumbu karang saat itu dipenuhi ribuan binatang seperti ini, satu saja sudah mengenyangkan. Laut dipenuhi ikan, sementara burung besar yang tidak bisa terbang dapat ditemukan di dalam hutan hujan, sepertinya jinak karena satwa-satwa itu tak pernah melihat manusia. Kaum Lapita mungkin saja mengira mereka menemukan surga.”

Dan memang benar demikian. Namun kisah mereka adalah cerita tentang surga yang ditemukan lalu hilang lagi karena walaupun Lapita adalah masyarakat Neolitikum, mereka memiliki kapasitas zaman modern dalam hal mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Dalam tempo yang singkat—tak lebih dari beberapa generasi—cangkang siput lolak raksasa itu menghilang dari catatan arkeologi. Burung besar yang tak bisa terbang itu pun menemui nasib serupa, sebagaimana juga satu spesies buaya daratan. Secara keseluruhan, diperkirakan lebih dari seribu spesies punah di seluruh kepulauan Pasifik setelah manusia muncul di sana.

!break!

Meski begitu, lebih dari satu alaf berlalu sebelum keturunan Lapita, bangsa yang sekarang kita sebut Polinesia, mulai menyebar mencari kawasan baru. Para perintis yang meluncurkan abad penemuan kedua sekitar 1.200 tahun yang lalu itu menghadapi tantangan yang lebih besar daripada nenek moyang mereka. Kini mereka berlayar keluar dari perairan Melanesia dan Polinesia barat yang bertaburan pulau dan memasuki Pasifik tengah, di mana jarak diukur dalam ribuan kilometer, sementara pulau-pulaunya yang kecil mungil berjumlah sedikit dan berjauhan letaknya.

Seberapa sulit menemukan daratan di perairan tak bertuan ini? Bayangkanlah hal ini: saat armada Magellan melipir Pasifik pada 1520-21, berlayar tanpa panduan melintasi laut tak dikenal, mereka berlayar hampir selama empat bulan tanpa menemukan daratan. (Mereka terlewat Archipel de la Société, Tuamotu, dan Marquesas, dan beberapa kepulauan lain.) Banyak di antara pelaut malang itu yang meninggal kehausan, kurang gizi, skorbut, dan penyakit lainnya sebelum armada itu sampai di Filipina.

Bangsa Polinesia awal menemukan hampir semua pulau yang bisa ditemukan, walaupun mereka perlu berabad-abad untuk melakukannya. Kini, keberhasilan penjelajahan mereka diperingati dan dirayakan saat festival budaya di seantero Pasifik.

Saat itu menjelang petang dan suasana karnaval hadir di pantai di Tanjung Matira di Pulau Bora-Bora, Polinesia Prancis. Udara dipenuhi harum daging panggang dan ribuan penonton yang bersuka ria memenuhi pantai untuk menyaksikan final utama Hawaiki Nui Va‘a, lomba perahu bercadik sejauh 130 kilometer. Lomba meletihkan yang terbagi dalam tiga tahap tersebut seperti menghentikan kegiatan bangsa.

!break!

“Ini warisan budaya kami,” ujar Manutea Owen, mantan juara dan pahlawan yang dihormati di pulau asalnya, Huahine. “Bangsa kami datang ke sini melintasi laut dengan perahu. Terkadang saat sedang berlomba, saya mencoba membayangkan kesusahan yang mereka tanggung dan petualangan yang mereka alami saat melintasi jarak yang sangat panjang tersebut.”  Kini imajinasi merupakan satu-satunya cara untuk membayangkan pengarungan laut yang hebat itu. Sebagaimana nenek moyang Lapita mereka, bangsa Polinesia awal juga meninggalkan sangat sedikit artefak tentang kehidupan bahari mereka. Hanya beberapa puing dari sebuah perahu kuno yang pernah ditemukan di Huahine pada 1977. Sejauh ini, tidak ada contoh yang ditemukan dari perahu layar yang diperkirakan membawa perintis Polinesia melintasi samudra.

Para penjelajah Eropa meninggalkan uraian paling awal tentang perahu yang digunakan oleh penduduk pulau Pasifik. Di perairan Mikronesia yang lebih ramai, mereka menemukan perahu layar cucur yang ramping, jenis yang mungkin dibawa ke Pasifik dari dunia Arab atau China. Namun, di sudut-sudut terpencil Polinesia— Hawaii, Marquesas, dan Selandia Baru—para penjelajah hanya menemukan perahu sederhana. Atholl Anderson menduga inilah perahu pribumi yang sesungguhnya, jenis yang membawa pemukim Polinesia ke pulau-pulau nan jauh berabad-abad sebelumnya.

Anderson juga mempertanyakan pendapat umum tentang kemampuan berlayar bangsa Polinesia dengan mengutip penjelajah yang lebih belakangan, Kapten Cook. Walaupun Cook terkesan dengan kecepatan perahu Polinesia—perahu-perahu itu secara harfiah dapat berlayar memutari kapalnya—dia meragukan kemampuan penduduk pulau melakukan perjalanan laut yang panjang secara sengaja.

Dia mencatat berita tentang sekelompok orang Tahiti yang tak berdaya menghadapi angin haluan dan tak bisa mengarahkan perahunya pulang sehingga terseret ratusan kilometer di luar jalur dan terdampar di Aitutaki yang ada di Kepulauan Cook saat ini. Alih-alih memberikan segala kehormatan kepada kemampuan dan keberanian manusia, Anderson menganggap keberhasilan itu disebabkan nasib baik. El Niño, gangguan iklim yang sama dengan yang mengganggu Pasifik saat ini, mungkin membantu menyebarkan pemukim pertama ke ujung samudra, demikian pendapat Anderson. Data iklim yang diperoleh dari karang yang lambat tumbuh di seputar Pasifik dan dari endapan di dasar danau di Andes di Amerika Selatan menunjukkan bahwa serangkaian El Niño sangat sering terjadi, tidak seperti biasanya, di sekitar waktu ekspansi Lapita. Hal ini terulang lagi antara 1.600 dan 1.200 tahun lalu saat gelombang kedua pelaut perintis melanjutkan pengarungan mereka semakin ke timur, ke ujung terjauh Pasifik. Dengan membalik angin pasat yang biasanya bertiup dari timur-ke-barat selama beberapa minggu, “El Niño super” ini mungkin mempercepat pelaut purba Pasifik melakukan pengarungan panjang yang tak direncanakan, jauh ke balik cakrawala.

!break!

Rangkaian El Niño yang bersamaan waktunya dengan gelombang kedua pengarungan mungkin merupakan kunci penyebaran bangsa Polinesia di perairan terbuka nan luas antara Tonga yang menjadi tempat perhentian Lapita dan kepulauan Polinesia timur yang jauh. “Begitu mereka melintasi celah itu, mereka dapat melompat dari pulau ke pulau di sepanjang kawasan tersebut dan dari Marquesas, sebagian besar pengarungan dibantu angin ke Hawaii,” ujar Anderson. Baru 400 tahun kemudian para pelaut itu sampai ke Pulau Paskah yang terletak dalam arah berlawanan—menentang angin pada hari-hari biasa. “Sekali lagi ini terlaksana selama periode aktivitas El Niño yang sering terjadi.”

Seberapa besar peran El Niño dalam menyebarkan manusia di sepanjang Samudra Pasifik merupakan bahan perdebatan akademis yang hangat. Dapatkah nasib baik dan angin yang selalu berubah itu menjadi penyebab penyebaran penduduk di segenap penjuru Pasifik yang luasnya 168 juta kilometer persegi? Pada saat bangsa Eropa datang ke sana, bisa dikatakan semua daratan yang bisa dihuni, yang meliputi ratusan pulau dan pulau karang, telah ditemukan oleh pelaut pribumi—yang pada akhirnya mencapai Amerika Selatan. Para Arkeolog di Cile baru-baru ini menemukan tulang ayam purba yang mengandung DNA yang cocok dengan unggas awal Polinesia.

Mereka pun tidak datang sebagai orang terdampar nan kesepian yang segera punah. Mereka datang untuk menetap, secara berombongan, membawa hewan dan tanaman dari kampung halaman mereka sebelumnya.

“Menurut saya, perjalanan ini melibatkan hal lain di samping sekadar angin yang meniup perahu mereka,” ujar Irwin. Dia mencatat bahwa angin pasat mereda selama muson timur yang memungkinkan penduduk pulau dengan sengaja berlayar ke timur. Lagi pula, tambah Irwin, “Tradisi bahari yang canggih tertanam di setiap pulau. Apakah tradisi-tradisi itu berkembang secara terpisah di setiap pulau itu? Jika demikian, mengapa tradisi-tradisi ini memiliki demikian banyak kesamaan?” Namun, apa pun yang Anda yakini, bagian paling menarik dari kisah ini bukanlah metode yang mereka gunakan, tapi motif mereka. Kaum Lapita, misalnya, tidak perlu mencari rumah baru; tidak ada yang memaksa mereka, kampung halaman mereka tidak mengalami kelebihan penduduk.

“Mereka pergi,” ujar dia, “karena mereka ingin pergi dan melihat apa yang ada di balik cakrawala.”