Pria yang Bukan Darwin

By , Senin, 2 Maret 2009 | 09:58 WIB

Pulau Ternate adalah sebuah kerucut gunung api kecil nan anggun yang mencuatkan warna hijau daun ke atas permukaan laut di bagian timur-laut Indonesia. Meskipun pulau itu terpencil, terselip di antara pulau-pulau yang jauh lebih besar, Ternate pernah menjadi pusat perniagaan kerajaan Belanda, karena dari situlah rempah-rempah dan komoditas tropis berharga lainnya dikirim dengan kapal ke barat. Sekarang areal dermaganya yang sibuk, pasar buah dan pasar ikannya, mesjid-mesjidnya, benteng-benteng tuanya, istana sultannya, dan rumah-rumah betonnya yang tertata tampak tersusun seperti lampu komidi putar di sepanjang satu-satunya jalan lingkar yang menyusuri garis pantai. !break!

Kebanyakan lerengnya diselimuti rimba dan tidak berpenghuni. Di hutan itulah, jika beruntung, mungkin kita masih dapat menyaksikan burung yang cemerlang, berdada hijau terang dengan dua bulu putih yang panjang bergantung mirip jubah dari masing-masing bahunya. Nama ilmiah burung itu­­—Semioptera wallacii—disematkan untuk menghormati orang yang pertama kali memperkenalkannya kepada kalangan ilmuwan. Orang itu adalah Alfred Russel Wallace, seorang naturalis muda berkebangsaan Inggris yang melakukan penelitian lapangan di Nusantara pada akhir 1850-an dan awal 1860-an. Yang tidak akan kita lihat di Ternate adalah plakat atau patung megah untuk mengenang posisi Wallace dalam sejarah ilmu pengetahuan atau untuk memperingati kenyataan bahwa dari pulau kecil inilah, pada 9 Maret 1858, dia mengirimkan surat berisi kumpulan catatan dan makalah penelitiannya, melalui kapal pos Belanda bertenaga uap yang berlayar ke Eropa.

Surat itu dialamatkan kepada Charles Darwin. Bersama surat itu, Wallace melampirkan makalah singkat berjudul “On the Tendency of Varieties to depart indefinitely from the Original Type”. Makalah itu adalah hasil tulisan tangan yang tergesa-gesa selama dua malam, menyusul saat-saat Wallace, yang tengah dilanda demam, memahami arti penting temuannya. Lompatan pemahaman di tengah-tengah derita demam tersebut diperoleh setelah selama lebih dari sepuluh tahun dia berspekulasi dan melakukan penelitian yang cermat. Apa yang diuraikan dalam makalah itu adalah sebuah teori evolusi (meskipun tak dinamakan demikian) melalui seleksi alam (juga tidak menggunakan frasa itu) yang sangat mirip dengan teori yang sudah dikembangkan, tetapi belum dipublikasikan oleh Darwin yang di kala itu sudah menjadi seorang naturalis terpandang dengan reputasi yang biasa-biasa saja.

Ini adalah babak klasik dalam sejarah ilmu pengetahuan, kisah tentang sebuah kebetulan dan konsekuensinya yang berulang-ulang dikisahkan dalam banyak buku tentang bagaimana biologi evolusi terwujud: rumusan yang nyaris serempak tentang apa yang saat ini kita pikir sebagai teori Darwin yang merupakan karya Darwin sendiri dan seorang pemula yang masih muda, Alfred Russel Wallace. Klasik atau tidak, dewasa ini banyak orang yang tidak menyadari sejarah tersebut. Wallace yang semasa hidupnya terkenal sebagai mitra junior Darwin dan juga terkenal karena sumbangsihnya yang lain terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial, terlupakan setelah dia berpulang pada tahun 1913. Pada beberapa dasawarsa belakangan ini, kemasyhurannya dihidupkan kembali, baik oleh para cendekiawan yang menggali setiap aspek kehidupan Darwin—Wallace merupakan bagian yang amat penting—maupun oleh sejumlah penulis bacaan populer. Batu nisannya, di desa Broadstone, tidak lagi berdiri goyah dan dirambati dahan-dahan pohon. Fotonya kini digantung di samping foto lama Darwin di dalam ruang rapat Linnean Society di London.

Kepada perkumpulan ilmiah inilah penemuan-bersama Darwin-Wallace diumumkan 150 tahun lalu pada 1 Juli 1858 malam. Berbagai tulisan Wallace tentang beraneka pokok bahasan, dari teori evolusi dan keadilan sosial hingga kehidupan di Mars mulai hadir kembali dalam bentuk cetak ataupun muncul di internet. Wallace dikenal di kalangan ahli sejarah ilmu pengetahuan sebagai pendiri biogeografi evolusi (kajian tentang spesies apa tinggal di mana, dan mengapa), khususnya sebagai perintis biogeografi pulau (dari ilmu inilah tumbuh biologi pelestarian), sebagai ahli teori awal tentang mimikri adaptif, dan sebagai tokoh bijak melampaui zamannya yang menyerukan tentang apa yang sekarang ini kita kenal sebagai keanekaragaman hayati. Artinya, Wallace adalah tokoh yang sangat penting dalam transisi dari sejarah alam gaya-lama ke biologi modern. Selama tahun-tahunnya di lapangan, Wallace juga merupakan seorang kolektor yang produktif, penuai keajaiban alam yang tak kenal belas kasihan; spesimen serangga dan burung miliknya memperkaya koleksi museum dan ilmu taksonomi. Namun, tetap saja, kebanyakan orang yang mengenal Alfred Russel Wallace mengenalnya hanya sebagai mitra yang ada di bawah bayang-bayang Charles Darwin, orang yang bersama-sama menemukan teori evolusi oleh seleksi alam, tetapi tidak mendapatkan penghormatan yang setara.!break!

Kisah Wallace memang rumit, terkesan gagah berani, sekaligus membingungkan. Selain sebagai salah seorang ahli biologi lapangan paling hebat pada abad ke-19, Wallace adalah orang yang berpendirian keras dan temperamental, antusiasmenya sering berubah-ubah, jiwanya yang resah tidak pernah merasa puas dengan tempat tinggalnya, memercayai alam gaib dan pertemuan dengan ruh, penggemar frenologi (studi tentang kepribadian seseorang berdasarkan bentuk dan ukuran tengkorak), menjalani sambil lalu mesmerisme (hipnotisme), belakangan menolak teori Darwin dalam hal perkembangan otak manusia, penentang vaksinasi cacar air, dan pendukung gerakan nasionalisasi kepemilikan tanah pribadi yang luas. Semua hal tersebut dan berbagai sifat eksentrik lainnya menyebabkan para pencela Wallace memiliki alasan untuk meremehkannya sebagai orang aneh. Mereka memang meremehkannya. Pertanyaan yang tak seorang pun cendikiawan dan penyusun biografi menjawabnya secara memadai adalah: bagaimana memahami sekaligus berbagai prestasi yang luar biasa, pendirian yang radikal, dan fanatisme yang sembrono ada di dalam diri seorang manusia—sosok empirisis paripurna serta seorang naturalis lapangan? Seandainya saja dia ini, Alfred Wallace, bukan tokoh yang nyata, pastilah hanya seorang novelis ganjil yang bisa menciptakannya.

Hal mendasar pertama dalam biografi Alfred Wallace adalah bahwa baginya, sama seperti bagi Will Shakespeare (yang miskin), tetapi tidak demikian bagi Charles Darwin (yang berada), kemelaratan adalah pangkal dari penemuan. Dia adalah pemuda yang selalu ingin tahu, yang berasal dari keluarga tak berpunya. Pada usia 14, tahun 1837, setelah meninggalkan sekolah, dia bekerja. Darwin yang saat itu adalah seorang pemuda bangsawan berusia 28 tahun dengan ayah hartawan yang mendanai petualangan ilmiahnya, baru pulang dengan menumpang kapal Beagle.

Wallace bisa dikatakan otodidak, sering mengunjungi perpustakaan dan serikat pekerja selama kurun sepuluh tahun dia bekerja sebagai penyigi lahan, tukang bangunan, dan guru di kota Leicester. Pada mulanya dia berkenalan dengan kehidupan dan berbagai tulisan Robert Owen, pendiri sosialisme Inggris yang menjadi “guru pertamanya dalam filsafat sifat manusia,” demikian yang diingat Wallace di kemudian hari dan hal itu memengaruhinya dalam membangun pendirian sosialismenya sendiri. Pada masa penyigiannya yang terutama dia jalani di pedesaan Wales, Wallace tertarik pada alam lewat pengamatannya terhadap tetumbuhan. Dia sering berjalan jauh melintasi lahan tandus dan pegunungan, melatih dirinya sendiri untuk mengidentifikasi keluarga tumbuhan dengan bantuan buku panduan yang harganya murah. Pekerjaannya sebagai guru memberinya waktu untuk membaca berbagai jenis bahan bacaan, termasuk Personal Narrative of Travels karya Humboldt dan, tentu saja, Essay on the Principle of Population karya Malthus yang telah mengilhami pemikiran Charles Darwin tentang perjuangan untuk bertahan hidup dan yang kemudian juga mengilhami pemikiran Wallace. Meskipun Wallace menyadari bahwa dia tidak cocok menjadi guru, setahun di Leicester menghasilkan satu peristiwa yang terus dikenang: dia berteman dengan seorang pemuda bernama Henry Walter Bates, yang pernah magang sebagai pembuat kaus kaki, yang memperkenalkannya kepada kenikmatan mengoleksi kumbang.

Buku selalu penting bagi Wallace dan dia bersaksi bahwa dua buku telah membantunya menetapkan jalan hidupnya. Salah satu di antaranya adalah Jurnal karya Charles Darwin yang menceritakan perjalanannya dengan kapal Beagle. Jurnal itu berisi paparan kisah perjalanan semarak yang nyaris tidak menyinggung gagasan evolusi. Buku lain yang lebih revolusioner dan kontroversial adalah buku laris tanpa nama pengarang berjudul Vestiges of the Natural History of Creation,diterbitkan tahun 1844, yang menyampaikan visi evolusi tentang kehidupan di Bumi, meskipun tidak dalam bentuk yang menarik bagi sebagian besar pembaca yang berwawasan. Pandangan yang diterima dalam budaya Barat saat itu adalah bahwa Tuhan membentuk semua spesies melalui tindakan khusus penciptaan dan bahwa setiap spesies pada dasarnya ajek, tidak mampu berubah jauh dari tipe idealnya. Keadaan ajek tersebut bukan hanya menjadi dogma agama, tetapi juga menjadi keyakinan ilmiah; filsuf ilmu pengetahuan William Whewell, misalnya, belum lama menulis: “Spesies memiliki keberadaan yang nyata di alam dan transmutasi dari satu spesies menjadi spesies lain tidaklah ada.” Untuk menyanggah pandangan itu, Vestiges menyusun hipotesis “hukum perkembangan” pada makhluk hidup, di mana satu spesies secara bertahap bertransformasi menjadi spesies lain akibat keadaan eksternal, dari bentuk kehidupan sederhana menjadi bentuk kehidupan yang kompleks, hingga menjadi dan termasuk manusia. Hasilnya adalah adaptasi. Tuhan tetap memainkan peran, menurut Vestiges, tetapi hanya dari jarak jauh saja—sebagai perancang utama proses tersebut.!break!

Buku itu berisi campuran berbagai fakta menarik, pernak-pernik aneh tentang spesies tertentu, wawasan praktis, hipotesis yang yang lemah, dan lompatan liar dari satu teori ke teori lainnya, yang menimbulkan reaksi beragam atau menghibur para pembacanya, mulai dari Ratu Victoria, John Stuart Mill, hingga Florence Nightingale. Darwin menilai buku ini lemah, tetapi menarik. Wallace yang lebih muda dan lebih mudah terpukau menganggap ada “hipotesis yang orisinal dan cerdas” dalam buku itu, hipotesis yang masih harus dibuktikan kebenarannya, atau kekeliruannya, lewat penelitian lebih lanjut. Baginya, Vestiges menampilkan “rangsangan” untuk menggali data sejarah alam sekaligus mengemukakan hipotesis baru yang dapat digunakan untuk menguji kebenaran data baru. Karena merasa tergugah, Wallace dan temannya Bates menyusun rencana untuk berangkat menuju hutan hujan Amazon dalam rangka mencari data seperti itu.

Karena boleh dikatakan tidak punya uang, mereka mendanai biaya penelitian dengan mengirim berbagai spesimen sejarah alam ke Inggris untuk dijual ke sejumlah museum dan kolektor perorangan. Yang paling banyak diminati adalah kupu-kupu, kumbang, burung, dan jika semakin langka dan indah, semakin baik. Wiraniaga mereka adalah Samuel Stevens dari Jalan Bloomsbury di London, seorang lelaki jujur yang berperan penting dalam kehidupan Wallace, yang menghubungkannya dengan para pembeli dan pada akhirnya dengan para ilmuwan Inggris.

Petualangan Wallace selama empat tahun di Amazon—menjelajahi kawasan hulu sungai terpencil di sepanjang Rio Uaupés dan tempat lainnya (sementara Bates menempuh perjalanan yang berbeda), melakukan pengamatan, mengumpulkan spesimen, membuat catatan, menggambar sketsa—merupakan sebuah kemenangan dari ketekunan, sangat besar nilainya sebagai sebuah latihan, tetapi berakhir dengan malapetaka. Wallace berlayar pulang dari Pará (Belém), Brasil, Agustus 1852, menumpang kapal Helen yang kemudian terbakar dan karam. Wallace berhasil bertahan hidup dengan sekoci, tetapi semua koleksi bawaannya yang terdiri atas ribuan serangga dan mungkin ratusan kulit burung, musnah. Kemudian kapal yang menyelamatkannya, perahu yang diragukan kualitasnya, Jordeson, dilanda topan yang ganas dan juga nyaris karam. “Lima puluh kali aku bersumpah sejak meninggalkan Pará,” begitu Wallace menulis surat kepada temannya, “jika aku akhirnya mencapai Inggris, aku tak akan pernah lagi mengarungi lautan. Namun, niat baik itu dengan segera luntur.” Baru beberapa hari terpincang-pincang di darat, Wallace sudah mulai merencanakan perjalanan berikutnya. Kali ini dia akan menuju ke timur, ke dunia penuh pulau.

Ekspedisinya ke Nusantara yang berlangsung lama sungguh berbeda, jauh lebih banyak hasilnya dalam bentuk spesimen dan gagasan. Wallace tiba di Singapura pada bulan April 1854 dan dia menghabiskan waktu delapan tahun berikutnya berzigzag ke pulau-pulau di Nusantara, menggunakan segala macam kapal, mulai dari kapal pos bertenaga uap, sekunar milik saudagar, hingga sampan belongkang. Di darat, dia menjalani kehidupan sebagaimana penduduk setempat, tinggal di rumah-rumah beratap dedaunan kering dan menyantap makanan apapun yang dapat dia beli atau barter. Dia singgah di Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, Ternate, Bacan, Timor, Seram, kepulauan Aru di ujung timur kepulauan itu, dan di semenanjung Kepala Burung di Papua. Dia berlayar melipir Pulau Komodo (meskipun rajin mencari fauna ternama, dia tetap tidak menyadari keberadaan komodo). !break!