Pria yang Bukan Darwin

By , Senin, 2 Maret 2009 | 09:58 WIB

Di beberapa tempat seperti Serawak dan Aru, dia tinggal selama berbulan-bulan, menjaring kupu-kupu dan menangkap kumbang di hutan sekitar, menembak burung, atau sekadar mengolah spesimen dan kesan-kesannya, merawat kakinya yang terkena infeksi, memulihkan kesehatannya setelah terserang malaria, menunggu hujan reda atau angin berganti arah. Dia juga mempelajari bahasa Melayu sekadar cukup untuk memenuhi keperluan di daerah terpencil. Dia mempekerjakan seorang pemuda Kalimantan bernama Ali untuk membantunya berburu burung dan mengerjakan tugas-tugas lainnya. Pergi ke mana pun, Wallace mengumpulkan, menyiapkan, dan mengemas serangga, kulit burung, dan kulit mamalia dengan penuh kehati-hatian, selalu menjaganya sampai dia mencapai pelabuhan, kemudian mengapalkan barang konsinyasi itu kepada Samuel Stevens di London.

Dari Aru yang kecil saja, dengan cendrawasih dan satwa istimewa lainnya, Wallace berhasil membawa lebih dari 9.000 spesimen yang berasal dari 1.600 spesies, banyak di antaranya baru bagi ilmu pengetahuan. Dia memperkirakan, seluruhnya mungkin bernilai sekitar 500 pound sterling. Stevens menjualnya dengan harga dua kali lipat—yang nilainya sekitar 940.000.000 juta rupiah saat ini.

Jumlah spesimen yang diperoleh dari Aru, yang mencerminkan nisbah spesimen terhadap spesies nyaris sebesar enam berbanding satu, menyiratkan fakta penting yang menentukan tentang Alfred Wallace dan cara kerjanya. Karena berperan sebagai kolektor komersial sekaligus ahli sejarah alam, dia menghendaki banyak spesimen untuk satu spesies tertentu, bukan hanya satu atau dua spesimen saja yang mewakili spesies itu, terutama jika spesies itu terlihat mengesankan, seperti kupu-kupu sayap burung, kumbang sungut panjang, atau burung cenderawasih. Di Amazon, Wallace mengumpulkan 12 spesimen burung merah menyala yang menakjubkan, cock-of-the-rock Guyana (Rupicola rupicola) dan mengakui bahwa dia pasti sudah akan menangkap 50 ekor kalau saja burung itu tidak langka dan susah diperoleh.

Di Aru pun sama, dengan rakusnya dia mengumpulkan sebanyak-banyaknya spesimen cendrawasih kuning besar (Paradisaea apoda). Meski demikian, belakangan, sewaktu melakukan ekskursi di sepanjang Sungai Maros, Sulawesi, dia berhasil memperoleh enam spesimen Papilio androcles yang bagus, salah satu kupu-kupu jeruk terbesar, dengan ekor putihnya yang panjang terjurai seperti pita hias. Dari Pulau Waigeo, tepat di lepas pantai Kepala Burung Papua, dia memanen 24 ekor cendrawasih merah (Paradisaea rubra). Tujuan Wallace mengumpulkan banyak spesimen bukan hanya untuk mendapatkan persediaan spesies yang teramat cantik dalam jumlah banyak untuk dijual; tetapi juga karena hasratnya untuk mewakilkan setiap spesies dalam koleksi pribadinya dengan “seri yang bagus” dari setiap jenis.!break!

Konsekuensi dari aktivitas pengumpulan yang berlebihan seperti itu adalah Wallace melihat dan mengenali—yang jika dibandingkan, Charles Darwin lebih lambat dalam melihat dan mengenali—sesuatu yang penting tentang makhluk di alam liar: bahwa di antara individu dalam setiap spesies memiliki variasi yang sangat beragam. Tidak setiap spesimen Papilio androcles mempunyai ekor yang sama panjangnya dan sama putihnya dengan sesamanya. Tidak setiap burung cendrawasih kuning besar sama besarnya dengan sesamanya. Setiap individu bervariasi secara genetis dari saudara kandung dan sepupunya dalam berbagai hal yang sepertinya membuktikan ketidakadilan fisiologis dan nyata.

Wawasan ini krusial bagi gagasan tentang evolusi melalui seleksi alam. Variasi individual memberikan materi yang berbeda agar seleksi bisa berlangsung. Darwin mengakui adanya variasi seperti itu pada spesies yang dipelihara manusia, tetapi baru menyadari adanya kelaziman dalam hal tersebut di alam pada saat melakukan proyek yang panjang tentang klasifikasi teritip. Ini adalah sebuah penyimpangan selama delapan tahun di dalam perjalanannya yang lamban untuk menerbitkan teorinya. Wallace membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mencapai hal tersebut karena dalam keadaan terpaksa membiayai hidupnya sebagai kolektor komersial, dia terus-menerus menyaksikan keragaman dalam kumpulan koleksinya.Pola penyebaran spesies dalam ruang dan waktu memberikan berbagai petunjuk lain yang menuju sebuah teori evolusi. Pola-pola tersebut tidak terlalu banyak mengungkapkan kepada Wallace tentang bagaimana proses evolusi itu mungkin terjadi, tetapi menegaskan kembali hipotesisnya (diturunkan dari buku Vestiges) bahwa spesies memang mengalami evolusi, dari satu spesies menjadi yang lain, melalui semacam proses pewarisan dan transformasi alamiah.

Meskipun Wallace tidak menggunakan istilah “biogeografi”, sudah sejak 1852 dia menerapkan cabang ilmu pengetahuan tersebut. Setelah kembali dari Brasil, Wallace menerbitkan makalah berjudul “On the Monkeys of the Amazon” dan dalam tulisan itu dia menguraikan penyebaran spesies monyet di bagian hulu Basin Amazon dan menunjukkan bahwa setiap spesies menghuni salah satu sisi dari tiga sungai besar yang saling bertemu: sungai utama Amazon, sungai Negro, dan sungai Madeira. Fakta ini sangat menarik perhatiannya. Jika Tuhan menciptakan semua spesies dari nol dan menempatkan mereka di lokasinya yang sesuai, mengapa Tuhan tidak menempatkan monyet di kedua sisi sungai?

Tiga tahun kemudian di Kalimantan, tatkala sedang menunggu berakhirnya musim hujan di sebuah rumah kecil yang sepi di dekat muara Sungai Serawak, tanpa teman kecuali kokinya yang orang Melayu, Wallace teringat pada beberapa buku yang pernah dibacanya (seperti Treatise on the Geography and Classification of Animals karya Swainson, Travels karya Humboldt, jurnalnya Darwin) dan sejumlah katalog museum yang pernah dia periksa. Semua sumber itu menyajikan banyak sekali data mentah tentang penyebaran satwa di dunia—spesies dan kelompok spesies mana yang ada di suatu tempat, tapi tidak ada di tempat lain. Burung kolibri hanya terdapat di Amerika; burung madu hanya di Dunia Lama, dari Afrika barat terus ke arah timur. Burung tukan adalah famili burung Amerika tropis; burung enggang kira-kira menempati ceruk yang sama dengan tukan, tetapi di Afrika tropis, Asia, dan kepulauan timur. Pola yang sama juga terlihat pada serangga, ikan, reptil, mamalia, dan tumbuhan. Wallace sangat penasaran, ingin tahu mengapa demikian. Menurut perkiraannya, begitu tulisnya kemudian, “fakta ini belum pernah dimanfaatkan secara patut sebagai petunjuk tentang cara spesies menjelma.”!break!

Dia juga ingat, setelah membaca tiga jilid opus karya Charles Lyell tentang geologi dan rekaman fosil, bagaimana spesies yang bermiripan tampak muncul berturutan dengan berjalannya waktu. Dengan menggabungkan kedua bentuk bukti ini, secara geografis dan geologis, Wallace merumuskan apa yang dinamakannya “hukum” asal-usul spesies: “Setiap spesies menjelma secara serta-merta di dalam ruang dan waktu bersama spesies sebelumnya yang berkerabat dengannya.” Dia menyusun makalah yang membahas gagasan itu dan melayangkannya ke London. Pokok bahasan yang tersirat, yang jelas tetapi tidak dinyatakan, adalah evolusi—spesies yang “berkerabat erat” (mirip) muncul berdampingan dalam ruang geografi dan dalam waktu geologi karena mereka diturunkan dari leluhur yang sama. Wallace saat itu yakin akan fakta dasar evolusi tersebut. Namun, dia masih belum dapat mengemukakan mekanisme yang melatarbelakangi transformasi itu.

Makalahnya langsung dimuat dalam sebuah jurnal sejarah alam yang bermutu, tetapi kebanyakan orang yang membacanya, termasuk Darwin, tidak menyadari bahwa isi makalah itu adalah perwujudan langkah besar kedua dari seorang naturalis muda yang belum dikenal menuju teori asal-usul evolusi. Alih-alih umpan balik positif dan perdebatan ilmiah yang sebenarnya diharapkan Wallace, dia malah mendapatkan pesan dari Samuel Stevens yang menyampaikan bahwa beberapa orang naturalis menggerutu bahwa Wallace yang masih muda itu sebaiknya berhenti berteori dan berpaku pada kegiatan pengumpulan fakta saja.

Wallace mengabaikan saran yang meremehkan dirinya itu. Dalam persinggahannya di pulau Bali dan Lombok yang dipisahkan oleh selat yang dalam, tetapi sempit, dia mengamati adanya serangkaian pola ada-dan-tiada lainnya. “Di Bali ada burung letuk-letuk, murai, dan pelatuk,” begitu tulisnya. Di Lombok, “ketiga spesies ini sudah tidak terlihat lagi, tetapi banyak sekali burung kakatua, burung isap madu, dan burung gosong, yang sama sekali tidak ada di Bali atau di pulau lain yang lokasinya lebih ke barat.” Dia kemudian juga menyaksikan disparitas yang serupa di antara pulau-pulau yang lebih besar, yakni Kalimantan dan Sulawesi yang lokasinya tepat di bagian utara dan saling berhadapan dengan dipisahkan oleh selat lain yang juga dalam. Kalimantan, pulau yang terletak di sebelah barat, dihuni oleh berbagai jenis monyet, kucing liar, rusa, musang, linsang, dan bajing yang sangat beraneka ragam. Sulawesi, yang terletak di sebelah timur, dihuni oleh beberapa mamalia asli, salah satu di antaranya kuskus berkantung, yang spesies “kerabatnya” (kuskus yang berbeda, dan mamalia berkantung atau marsupilia pada umumnya) dapat ditemukan ke arah timur, di seluruh Maluku, Papua, dan Australia. Semua fakta ini cocok dengan visi evolusi biogeografi secara lebih meyakinkan daripada dengan dogma religius tentang penciptaan khusus.

Langkah ketiga untuk menuju teorinya adalah langkah yang diambilnya pada tahun 1858 di suatu tempat di Ternate atau di sekitarnya, ketika dia secara tiba-tiba menggabungkan berbagai petunjuk dari biogeografi dengan fenomena keragaman intra-spesies, yakni wawasan Malthus tentang pertumbuhan populasi secara berlebihan, fakta bahwa makanan dan habitat bersifat terbatas, meski di saat laju reproduksi tidak terbatas, dan kenyataan bahwa kebanyakan anak yang lahir dari suatu spesies tidak dapat bertahan hidup. “Jika secara samar-samar direnungkan dampak dari kehancuran yang luar biasa dan terus-menerus ini, mau tak mau aku bertanya dalam hati, Mengapa ada sebagian yang mati dan sebagian sanggup bertahan hidup?” Jawabannya adalah bahwa varian yang paling cocok dengan keadaanlah yang sanggup bertahan hidup. “Antelop berkaki lebih pendek atau lebih lemah pastilah lebih rentan terhadap serangan keluarga kucing karnivora,” demikian katanya. Lebih lanjut, proses ini pasti menghasilkan perubahan arah yang adaptif dalam spesies itu secara keseluruhan. Mengapa jerapah berleher panjang? Karena yang berleher pendek tidak berhasil melahirkan keturunan yang sanggup bertahan hidup.Dengan penuh semangat, Wallace mengirimkan naskahnya kepada Darwin yang dikenalnya sebagai seorang yang bersahabat, meskipun merupakan sahabat pena dalam urusan ilmu pengetahuan yang suka menjaga jarak. Dalam surat pengantarnya, Wallace mengatakan bahwa dia berharap gagasan tersebut akan mencengangkan Darwin, sebagaimana yang juga dirasakannya.!break!