Sang Raksasa Muda, Indonesia

By , Selasa, 17 Maret 2009 | 16:16 WIB

Angka-angka statistik mendukung pernyataannya. Sebagai contoh, di bawah penjajahan Jepang, hasil panen karet menurun hingga sekitar 20 persen, kopi hampir 30 persen, teh turun hingga 5 persen. Lalu, bayangkan sebuah permasalahan yang terkait erat dengan kemampuan bangsa tersebut dalam bekerja: kesehatannya. Di timur Jawa saja, 50 persen penduduk menggigil dalam sekurang-kurangnya satu serangan malaria per tahun. Hampir dua setengah juta menderita tuberkulosis, dan 600.000 buta—mayoritas disebabkan oleh trachoma.

Kekuatan medis seperti apa yang dimiliki oleh Indonesia untuk menghadapi situasi tersebut? Kurang lebih satu dokter untuk setiap 57.000 jiwa! Kurangnya personil terlatih berlaku di setiap bidang ekonomi—pengacara, ahli teknik, ahli pertanian, guru, tukang pipa, tukang listrik. Sebutkan saja, dan Indonesia belum memilikinya. Sebagian besar perencanaan rekonstruksi dan pembangunan Indonesia telah tertulis di atas kertas dan merupakan rencana yang baik. Masalahnya, siapa yang akan mengimplementasikannya, dan kapan?

Seluruh Indonesia BersekolahMungkin salah satu fakta terpenting tentang Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia sangat ingin belajar. Saya ingat orang-orang yang saya temui di seluruh Indonesia berupaya sebaik mungkin, melawan segala rintangan, untuk membantu diri sendiri dan negara mereka agar tumbuh dan menjadi dewasa. Saya teringat teman saya, Haroun el-Raschid, mantan Hakim Ketua Sumatra, yang kini menjabat sebagai kepala sekolah hukum yang didirikannya di Padang bersama lima guru lainnya. Gaji bulanannya tidak akan mencukupi untuk membeli sebuah ban mobil. Saya teringat seorang anak lelaki siswa sekolah menengah di Surakarta yang belajar di pagi hari dan kemudian mengajar di sore hari.

Melalui upaya-upaya orang seperti itulah Indonesia berhasil memotong tingkat buta hurufnya dari sekitar 93 persen menjadi 45 persen dan berharap (mungkin secara optimis) untuk mengentaskannya pada 1961. Indonesia telah berhasil meningkatkan jumlah sekolah dasar dari 18.000 tahun 1940 menjadi 32.000 hari ini, sekolah menengah dari 144 menjadi 2.700, siswanya dari 2 juta hingga lebih dari 8 juta. Jumlah buku cetak, peralatan laboratorium, dan guru masih sangat menyedihkan, dan kelas-kelas seringkali diadakan di gubuk-gubuk beratap daun nipah. Namun pencapaian Indonesia cukup mengesankan.!break!

Di bidang medis, saya teringat seorang dokter Borneo yang wilayah kerjanya meliputi sebuah hutan dengan kurang lebih 300.000 penghuni; untuk mencapai sektor utara ia harus berjalan ke arah hulu menggunakan perahu motor tempel selama enam jam. Dengan perawat-perawat tak berpengalaman, tanpa ahli anastesi, tanpa sinar X, sebuah tempat tidur lipat tua yang berfungsi sebagai meja operasi, dan sebuah lampu minyak sebagai alat penerang, tempat tidur tanpa seprai dan sebuah tungku arang untuk dapur, lelaki ini terus bekerja dengan efektivitas yang semakin meningkat.

Waktu Semakin Mendesak bagi IndonesiaDi beberapa daerah di Indonesia, jika Anda bertanya kepada seorang lelaki di sawah mengenai jarak yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah kota, ia akan menghitungnya menggunakan jumlah bakul nasi yang harus dimasak selama perjalanan. Ia mungkin pernah melihat sebuah jam tangan, tetapi waktu dalam konteks Barat masih sedikit aneh bagi pemahaman si lelaki.

Namun, dalam masyarakat Indonesia yang luas, sebuah kesadaran mengenai arti waktu bagi Republik yang masih muda menjadi semakin jelas kini. Mereka paham bahwa kemerdekaan saja tidak cukup untuk memberikan solusi. Mereka tahu bahwa sementara ekonomi mereka bergantung pada tanah subur yang menjadi fondasi konkretnya, superstruktur bisnisnya masih goyah, dan upaya menyelamatkannya harus segera dimulai, sebelum terlambat.

Seorang industrialis di Medan mengatakan, ”Kami tengah melakukan kemajuan. Perdagangan ekspor dan impor kami akhirnya mencapai titik keseimbangan. Namun untuk menanggulangi pokok permasalahannya dibutuhkan 25 tahun, atau mungkin seratus tahun. Saya bertanya pada diri sendiri, apakah dunia akan memberikan kami waktu barang lima tahun?”

Itulah pertanyaan yang paling kuingat ketika meninggalkan Indonesia. Di bandara Kemajoran, bendera-bendera dari 29 negara yang telah menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung yang bersejarah masih berkibar. ”Selamat djalan!” sahut teman-temanku. ”Semoga nasib baik menyertaimu di jalan!” Saya membalas, ”Selamat tinggal! Semoga nasib baik menyertaimu di sini.” Saya berharap mereka akan memperolehnya.