Pangan Murah Tinggal Sejarah

By , Jumat, 29 Mei 2009 | 13:09 WIB

INI ADALAH PERBUATAN PALING ALAMI DAN SEDERHANA, sama seperti bernapas dan berjalan. Yaitu, Kita duduk di meja makan, mengambil sendok, lalu mulai menyuap, tanpa menyadari besarnya konsekuensi global dari makanan di atas piring kita. Daging sapi kita berasal dari Selandia Baru. Gandum datang dari Australia, jeruk dari China, kedelai dari Amerika, sementara beras murah—bukan dari Kerawang Bekasi, tapi jauh-jauh dari Thailand. !break!

Kehidupan masyarakat modern telah membebaskan kita dari beban menanam, memanen, atau bahkan menyiapkan makanan kita sehari-hari. Sebagai gantinya, beban itu cukuplah berupa membayar makanan kita dengan uang. Kita baru tersadar hanya ketika harga-harga pangan naik dan konsekuensi dari kelalaian tersebut ternyata besar adanya.

Tahun lalu, harga pangan yang melangit menyadarkan seluruh planet ini. Antara 2005 hingga sekitar Agustus 2008, harga gandum dan jagung naik tiga kali lipat, sementara harga beras berlipat lima, menyulut kerusuhan pangan di sekitar 20 negara dan menjerumuskan 75 juta jiwa tambahan ke dalam jurang kemiskinan. Namun tak seperti kejutan-kejutan sebelumnya yang disebabkan kekurangan pangan jangka pendek, lonjakan harga kali ini terjadi pada saat petani dunia menuai panen terbanyak dalam sejarah. Agaknya, harga yang tinggi tersebut merupakan gejala dari masalah lebih besar, yang merundung jaringan pangan di seluruh dunia. Selain itu, masalah tersebut tak akan hilang dalam waktu dekat. Sederhananya: hampir sepanjang 10 tahun belakangan ini, dunia mengonsumsi lebih banyak pangan daripada yang dihasilkan. Setelah beberapa tahun digerogoti, pada 2007 cadangan pangan dunia turun hingga tinggal 61 hari konsumsi global, angka terendah kedua dalam sejarah.

“Pertumbuhan produktivitas pertanian hanya satu-dua persen per tahun. Ini terlalu rendah untuk mengimbangi perkembangan penduduk dan permintaan yang terus bertambah,” kata Joachim von Braun, direktur umum International Food Policy Research Institute di Washington DC mengingatkan adanya puncak krisis.

Harga yang tinggi merupakan sinyal terakhir yang menunjukkan bahwa permintaan melebihi pasokan, bahwa jumlah pangan memang tak cukup untuk semua orang. Agflasi—atau efek inflasi dari kenaikan harga pangan—seperti ini paling terasa oleh semiliar orang termiskin di planet ini karena pada umumnya mereka menghabiskan 50 hingga 70 persen pendapatan untuk membeli makanan. Meski harga sudah turun seiring melesunya ekonomi dunia, tetapi masih tetap tak jauh dari harga tertinggi dalam sejarah. Sementara itu, masalah rendahnya cadangan, pertambahan penduduk, dan melambatnya pertumbuhan produksi yang mendasarinya masih tetap ada. Perubahan iklim—dengan musim tanam yang lebih panas dan air yang semakin langka—diperkirakan akan mengurangi hasil panen mendatang di hampir seluruh dunia, menyebabkan momok yang disebut sebagian ilmuwan sebagai krisis pangan tak berkesudahan.!break!

Jadi, apa yang seyogyanya dilakukan oleh dunia yang lapar, sesak, dan panas ini?

Inilah pertanyaan yang kini digulati oleh von Braun dan para koleganya di Consultative Group on International Agricultural Research. Grup tersebut merupakan gabungan pusat-pusat penelitian pertanian terkemuka di dunia yang ikut melipatgandakan hasil rata-rata produksi jagung, beras, dan gandum dunia antara medio 1950-an hingga medio 1990-an, suatu prestasi yang hebat sehingga disebut sebagai revolusi hijau. Namun begitu, dengan bertambahnya penduduk yang akan mencapai sembilan miliar jiwa pada pertengahan abad ini, para pakar tersebut kini mengatakan bahwa kita harus mengulang performa tersebut, menggandakan produksi pangan sekarang di tahun 2030.

Dengan kata lain, kita perlu revolusi hijau lagi. Kali ini, tempo yang diperlukan harus setengah dari waktu sebelumnya.

SEJAK NENEK MOYANG KITA berhenti berburu dan meramu untuk beralih membajak dan bercocok tanam sekitar 12.000 tahun silam, populasi manusia meningkat sejalan dengan kemampuan pertaniannya. Setiap kemajuan—domestikasi hewan, irigasi, bersawah—mengakibatkan lonjakan populasi manusia. Setiap kali suplai pangan stabil, jumlah penduduk akhirnya juga stabil. Penulis Arab dan China masa silam mencatat hubungan antara populasi dan sumber pangan, tetapi baru pada akhir abad ke-18 ada seorang cendekiawan Inggris yang mencoba menjelaskan mekanisme hubungan di antara keduanya secara eksak—dan dia menjadi ilmuwan sosial yang mungkin paling sering dihujat dalam sejarah.

Thomas Robert Malthus, yang namanya dipakai dalam istilah “keruntuhan Malthus” dan “kutukan Malthus,” adalah matematikawan yang lembut, seorang pendeta—dan, sebagaimana kata para pengkritiknya, jenis orang yang benar-benar pesimistis. Saat beberapa filsuf Pencerahan, yang mabuk akibat keberhasilan Revolusi Prancis, mulai meramalkan perbaikan kondisi manusia yang terus-menerus tanpa terganggu, Malthus menjungkirkan teori mereka. Populasi enduduk menurut pengamatannya, meningkat menurut deret ukur, berlipat dua setiap 25 tahun jika tidak dikendalikan, sementara produksi pertanian meningkat menurut deret hitung—jauh lebih lambat. Manusia tak bisa lolos dari perangkap biologis ini.!break!

“Pertumbuhan populasi jauh lebih besar dari kemampuan bumi menghasilkan makanan bagi manusia,” tulis Malthus dalam Essay on the Principle of Population pada 1798. “Ini berarti ada kontrol populasi yang kuat dan selalu bekerja dengan terbatasnya pangan.” Malthus berpendapat bahwa kontrol tersebut dapat dilakukan sukarela seperti pengaturan kelahiran, berpantang sanggama, atau menunda pernikahan—atau terpaksa, melalui bencana perang, kelaparan, dan penyakit. Dia menganjurkan agar bantuan pangan hanya diberikan kepada kaum termiskin karena merasa bahwa bantuan seperti itu memperbanyak anak yang lahir dalam kemiskinan. Pendapatnya yang keras ini membuatnya jadi tokoh jahat dalam sastra Inggris, yang dikarang sendiri oleh Charles Dickens. Ketika Ebenezer Scrooge diminta memberi sedekah bagi orang miskin dalam kisah A Christmas Carol, bankir kejam ini berkata kepada para pekerja amal itu bahwa kaum papa seharusnya pergi ke rumah miskin atau penjara. Dan jika mereka memilih mati daripada pergi ke sana, “lebih baik mati saja, dan mengurangi surplus populasi.”

Revolusi industri dan pertanian di seluruh Inggris meningkatkan jumlah pangan di Inggris secara dramatis sehingga mencemplungkan Malthus ke dalam kotak sampah era Victoria. Namun, revolusi hijaulah yang benar-benar membuat pendeta itu menjadi olok-olok ekonom modern. Dari 1950 hingga sekarang, dunia mengalami pertumbuhan populasi terbesar dalam sejarah manusia. Setelah era Malthus, ada tambahan enam miliar manusia di meja makan planet ini. Namun, berkat metode produksi padi-padian yang lebih baik, sebagian besar manusia dapat diberi makan. Kita akhirnya menyingkirkan batas Malthus selamanya.Setidaknya, demikianlah anggapan kita.

PADA MALAM KE-15 bulan sembilan kalender Imlek, 3.680 penduduk desa yang hampir semuanya bermarga “He” duduk di bawah terpal bocor di alun-alun Yaotian, China, dan menikmati jamuan 13 jenis hidangan. Acara tersebut adalah jamuan tradisional untuk menghormati leluhur mereka. Mangkok sup yang mengepul beriring lewat, diikuti oleh pinggan mi, nasi, ikan, udang, sayur kukus, dim sum, bebek, ayam, akar teratai, burung dara, jamur kuping, serta daging babi yang dimasak dalam pelbagai cara, semuanya langsung tandas.